Kamis, 22 Juli 2010

Pemikiran Pendidikan KH Ahmad Dahlan

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha[1]

Prolog
Banyaknya lembaga pendidikan berlabelkan Muhammadiyah dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi juga pesantren, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bukan KH. Ahmad Dahlan pendirinya. Akan tetapi, ormas bernama Muhammadiyah yang menaungi semua lembaga pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan lah yang mendirikannya.
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tak bisa lepas dari sosok Ahmad Dahlan. Dan berbicara tentang Ahmad Dahlan, tak bisa lepas dari perannya di dunia pendidikan. Wajar jika sebagian kalangan menilai, bahwa Ahmad Dahlan lah sejatinya bapak pendidikan Indonesia, bukan Ki Hajar Dewantoro yang nasib lembaga pendidikan Taman Siswanya tak jelas, bagaikan hidup segan mati tak mau.
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, pendidikan telah menjadi trade-mark gerakan Muhammadiyah. Sebagai pendirinya, Ahmad Dahlan mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ini. Sangat wajar, jika kemudian Ahmad Dahlan ditahbiskan sebagai seorang tokoh pembaru pendidikan oleh sebagian kalangan. Sepeninggalnya, pemikiran-pemikirannya tentang dan dalam dunia pendidikan diteruskan oleh para murid dan generasi pelanjutnya.
Prof. DR. H. Abuddin Nata, MA. berkata,
“KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru pendidikan Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat. Dialah tokoh yang berusaha memasukkan pendidikan umum ke pendidikan madrasah, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum.”[2]

Riwayat Hidup
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Dalam silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah: Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.[3]
Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri.
Setelah menimba ilmu pada sejumlah guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama dan bahasa Arab. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dunia Islam, seperti; Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab,[4] Syaikh Jamalaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad Darwisy begitu terobsesi pada pemikiran pembaruan tokoh-tokoh ini. Pemikiran untuk mengembalikan umat Islam kepada sumber utamanya, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Selain itu, Darwisy juga sangat anti taklid, bid’ah, khurafat, dan takhayul, yang saat itu sangat merajalela di Tanah Air. Gerakan dan pemikirannya inilah yang kemudian membuat orang menganggapnya sebagai seorang pembaru dan modernis.
Tahun 1888 M, pada usianya yang ke-20 tahun, Muhammad Darwisy kembali ke kampung halaman dan –tanpa sebab yang jelas dia– mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Dia diangkat menjadi khatib di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Ketika itu, pada usia yang masih muda, ia membuat heboh masyarakat dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurutnya, letak masjid yang tepat menghadap barat adalah keliru, sebab letak kota Makkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana, Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di Masjid Agung itu tidak tepat, dan oleh karena itu harus dibetulkan.[5] Namun tak lama setelah itu, penghulu kepala (HM. Kholil Kamaludiningrat) yang bertugas menjaga Masjid Agung menyuruh orang untuk membersihkan lantai masjid dan menghapus tanda shaf yang dibuat oleh Ahmad Dahlan.[6]
Pada tahun 1902 M, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dan selesai haji, Ahmad Dahlan tidak langsung pulang. Ia memperdalam kembali ilmu agamanya kepada sejumlah ulama di Makkah dan beberapa ulama asal Indonesia yang bermukin di sana, seperti; Syaikh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi,[7] Kyai Nawawi Al-Bantani, Kyai Mas Abdullah, dan Kyai Fakih Kembang.
Pada kepergiannya yang kedua kali ke Makkah ini, Dahlan memperdalam bacaan dan analisanya terhadap kitab-kitab klasik karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Selain tentu saja berinteraksi kembali secara lebih intens dengan pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Wawasan Dahlan tentang universalitas Islam pun semakin terbuka dan pemikirannya mulai kritis. Ahmad Dahlan kembali ke Indonesia pada tahun 1904 M.[8]
Ide pembaruan yang sedang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi jika melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sangat stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa perlu merealisasikan ide-ide pembaruannya. Dan, pada tanggal 18 November 1912 M atau bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, bersama dengan teman-teman seperjuangannya; Haji Sujak, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani; KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Di atas adalah salah satu faktor yang banyak diungkap di beragai literatur tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah. Padahal sesungguhnya, ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu keinginan Ahmad Dahlan dan kawan-kawan untuk menciptakan masyarakat yang damai adil makmur dan sejahtera berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ahmad Dahlan ingin mewujudkan masyarakat yang bernafaskan keadilan, kejujuran, persaudaraan, gotong-rotong, dan saling menolong. Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian ini, Muhammadiyah pun didirikan dengan berdasarkan ayat:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . [آل عمران : 104]
"Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan itulah mereka orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)[9]
Di samping kesibukannya mengajar dan berorganisasi, Ahmad Dahlan mesti menghidupi keluarganya. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain sebagai khatib di lingkungan Kraton Yogyakarta dan mengajar di berbagai sekolah milik pemerintah, Ahmad Dahlan juga berdagang kain. Dia sering bepergian dan mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang lain, termasuk dengan sejumlah pedagang dari Arab. Dan di sela-sela aktifitasnya berdagang itulah Ahmad Dahlan sering memberikan pengajian dan pengajaran kepada masyarakat.[10]
Layaknya seorang kyai, Ahmad Dahlan pun menikahi lebih dari seorang istri. Istri pertamanya, yaitu Siti Walidah, masih sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak, yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.
Istri keduanya yaitu Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Dan beberapa istri beliau yang lain, yaitu Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak; Nyai Yasin Pakualaman; dan Nyai Aisyah, adik adjengan penghulu Cianjur. Dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah, beliau punya anak Dandanah.[11]
KH. Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada tanggal 23 Februari tahun 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta.

Kiprah di Dunia Pendidikan
Membaca kisah hidupnya, KH. Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik, muballigh, dan organisatoris sejati.[12] Namun dalam masalah ide dan pemikiran, tampaknya Ahmad Dahlan tidak sehebat yang digambarkan oleh warga Muhammadiyah yang hampir-hampir mengultuskannya. Mungkin dikarenakan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah dan mengajar, –sepengetahuan kami– tidak ada satu buku pun yang ditulis oleh Ahmad Dahlan sebagai peninggalan karya ilmiah intelektualnya.
Prof. Abuddin berkata,
“Ahmad Dahlan bukan seorang penulis sebagaimana Muhammad Natsir. Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku dibanding sebagai pemikir."[13]
Sebagaimana kata Prof. Abuddin, Ahmad Dahlan memang seorang pelaku atau praktisi. Dia mendirikan sendiri model lembaga pendidikan yang diinginkannya; sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam sekaligus ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1910, bertempat di ruang tamu rumahnya sendiri yang berukuran 2,5 m x 6 m, sekolah itu pun terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan delapan orang siswa di mana Ahmad Dahlan sendiri bertindak sebagai guru.
Semula, proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitar, para siswa yang hanya delapan orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali. Dan pada tahun 1911, sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa, dan enam bulan bertambah menjadi 62 orang.[14] Ini adalah sekolah pertama yang didirikan Ahmad Dahlan sekaligus cikal bakal sejumlah sekolah yang di kemudian hari juga beliau dirikan bersama Muhammadiyah.
Kemudian, pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Selanjutnya, pada tahun 1913[15] Ahmad Dahlan mendirikan sekolah di Karangkajen, Yogyakarta. Lalu, pada tahun 1915 mendirikan sekolah di Lempuyangan, Yogyakarta. Tahun 1916 mendirikan sekolah di Pasargede (sekarang Kotagede). Dan pada tahun 1918 mendirikan sekolah bernama Al-Qismul Arqa di Kauman Yogyakarta. Sekolah terakhir ini selanjutnya pindah ke Patangpuluhan dan berganti nama menjadi Hogere Muhammadijah School, kemudian berubah lagi menjadi Kweekschool Islam, dan menjadi Kweekschool Muhammadijah, yang akhirnya pada tahun 1941 berganti nama menjadi Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah sampai sekarang. Berikutnya, pada tahun 1920, Ahmad Dahlan mendirikan gerakan kepanduan bernama Padvinders Muhammadiyah, di mana kemudian atas usul KRH Hadjid,[16] nama pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon.[17]
Namun demikian, sekalipun Ahmad Dahlan banyak mendirikan sekolah, bukan berarti Ahmad Dahlan "mewajibkan" warga Muhammadiyah agar bersekolah di lembaga pendidikan yang dia dirikan. Justru Ahmad Dahlan mengatakan,
"Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Jadilah guru, kepada Muhammadiyah. Jadilah meester, insinyur, dan lain-lain dan kembalilah kepada Muhammadiyah."[18]

Pendidikan Tak Sekadar Teori
Memberikan teladan bagi pendidik adalah suatu keniscayaan. Tak ada pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si pendidik. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan demikian pula yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan.
KRH. Hadjid menuturkan bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian, yaitu [1] belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal, yakni mengerjakan atau mempraktikkan. Menurut Ahmad Dahlan, semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.[19]
Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada para muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan berulang-ulang mengajarkan surat Al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan.
Dihimpit oleh rasa bosan karena sang guru terus-menerus mengajarkan surat Al-Ma’un, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja’, bertanya mengapa Kyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran selanjutnya. Namun Kyai Dahlan balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?” H. Syuja’ menjawab bahwa ia dan teman-temannya sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kyai Dahlan bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?” H. Syuja’ menjawab, “Ya, kami sering membaca surat ini sewaktu shalat.”
Kyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat Al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat Al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. Lalu Ahmad Dahlan berkata, “Oleh karena itu, setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.”[20] Menurut Ahmad Dahlan, istilah mengamalkan bukan saja sebatas menghafal dan menjadikan surat pendek dalam al-Qur`an itu dibaca dalam setiap shalat, melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita tentang bagaimana Ahmad Dahlan mengajarkan para santrinya, rasanya masih sangat relevan dengan tuntutan sekarang ini, di mana pada saat ini betapa sudah semakin semarak ayat-ayat Al-Qur`an dijadikan bahan pelajaran, didiskusikan dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di kampus-kampus. Tetapi setelah acara usai digelar, tak tampak adanya gerakan yang signifikan untuk mengimplementasikannya. Misalnya, dalam bentuk pengentasan kemiskinan sebagaimana dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan tersebut.

Pendidikan Tauhid
Tauhid di atas segalanya. Demikianlah seharusnya. Allah menciptakan manusia dan jin tak lain hanya untuk menyembah-Nya. Menyembah Allah harus mentauhidkan-Nya. Manusia sama sekali tak menyertakan makhluk lain selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah syirik, di mana pelakunya tak diampuni oleh-Nya jika belum bertaubat hingga ajal menjemput. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, harus ikhlas hanya diperuntukkan kepada-Nya.
KH. Ahmad Dahlan mengatakan, bahwa manusia dilarang menghambakan diri kepada siapa pun atau benda apa pun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu musyrik namanya. Barangsiapa yang mengikuti kebiasaan yang menyalahi hukum Allah Yang Maha Agung, itulah yang disebut menyembah hawa nafsunya. Padahal kita manusia, tidak diperbolehkan menaruh rasa cinta kepada siapa pun juga melebihi rasa cinta kasihnya terhadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.[21]

Pendidikan Kepribadian
Memisalkan dengan Sayyid Ahmad Khan (tokoh pembaru Islam di India), Prof. Abuddin menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang sama dalam hal pentingnya pembentukan kepribadian dalam pendidikan.
Menukil dari H. Suja'i, Prof. Abuddin berkata,
Sebagaimana halnya Ahmad Khan, Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirar kecuali orang yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadits. Maka, dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi."[22]

Pembekalan Ketrampilan
Ahmad Dahlan berpandangan, bahwa untuk mencapai tujuan materil, bekal ketrampilan juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh siswa didik, selain ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup.
Dengan demikian, secara tak langsung sesungguhnya Ahmad Dahlan telah mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.[23]

Pemikiran Pendidikan
Menurut Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.[24] Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan:
1. Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad.[25]
2. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan dunia-akhirat) merupakan hal yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.[26]
3. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.[27]
4. Model Mengajar
Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
- Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal seperti sekolah Belanda.
- Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
- Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.[28]
5. Ijtihad Sistem Pengajaran
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.
Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka ideal yang demikian, menurut Ahmad Dahlan disebut sebagai proses ijtihad, yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid (modernisasi) yang strategis dalam memahami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah secara proporsional.[29]

Epilog
KH. Ahmad Dahlan adalah seorang manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia bisa benar dan juga bisa salah. Tanpa Muhammadiyah, mungkin nama Ahmad Dahlan tak sebesar dan seharum sekarang.
Kebesaran nama Ahmad Dahlan tak kepas dari perhatian dan komitmennya yang tinggi dalam dunia pendidikan yang membuat namanya selalu disebut-sebut saat berbicara tentang pendidikan di Indonesia. Dan tampaknya, warga Muhammadiyah sangat memahami benar akan hal ini. Betapa banyak tulisan-tulisan dan bahasan-bahasan di lingkungan Muhammadiyah yang khusus mengkaji masalah pendidikan. Wallahu a'lam bish-shawab.

* * *

Daftar Pustaka

Al-Qur`an Al-Karim.
Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, cet. I, th 2005.
__________, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, penerbit Raja Grafindo Persada: Jakarta, cet. 3, th. 2005.
Deliar Noer Prof. DR., Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985.
Haiban Hadjid KRH, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur`an, penerbit LPI PPM: Yogyakarta, cet. III, th 2008.
Hamdan Hambali Drs. H., Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008.
Malik Fadjar, Prof. Drs. HA. MSc. dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, penerbit Pustaka Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. I, th 2003.
Margono Poespo Suwarno, Drs., Gerakan Islam Muhammadiyah, Penerbit Persatuan Baru: Yogyakarta, Cet. V, th 2005 M.
Samsul Nizar, DR. H. MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002.
* * *


[1] Makalah ini ditulis sebagai pelaksanaan tugas dari Prof. DR. H. Abuddin Nata, MA., mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia, pada Program S2 Jurusan Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor.
[2] Prof. DR. H. Abuddin Nata, MA., Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, penerbit Raja Grafindo Persada: Jakarta, cet. 3, th. 2005, hlm 98.
[4] Ada satu fenomena menarik, banyak sekali tulisan tentang Ahmad Dahlan yang kami dapatkan di internet (termasuk dalam buku Prof. Abuddin) yang tidak menyebutkan nama Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab di antara para tokoh pembaru yang turut mempengaruhi corak pemikiran Ahmad dahlan. Padahal dulu waktu masih belajar kemuhammadiyahan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (sekolah yang didirikan sendiri oleh KH. Ahmad Dahlan dan merupakan sekolah kader Muhammadiyah yang berada langsung di bawah PP Muhammadiyah), nama Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab senantiasa disebut-sebut. Wallahu a’lam, sejak kapan tren penghilangan nama Ibnu Abdil Wahhab dalam biografi Ahmad Dahlan ini dimulai.
[5] Faktanya, arah kiblat Masjid Agung Kauman saat itu memang keliru. Sampai sekarang dapat kita saksikan, bahwa Masjid Agung Kauman memakai garis tanda shaf yang agak miring ke arah kanan, sebagaimana yang dulu dibuat oleh Ahmad Dahlan.
[6] Prof. DR. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985, hlm 85.
[7] Syaikh Muhammad (Ahmad) Khatib Al-Minangkabawi juga merupakan salah seorang guru dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Lihat; http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan.
[9] Drs. H. Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008, hlm 6-7.
[10] Prof. DR. Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, cet. I, th 2005, hlm 250.
[12] Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan pernah aktif di Jami’at Al-Khairiyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo, dan Sarekat Islam (SI). Lihat; http://www.muhammadiyah.or.id/sejarah.php.
[13] Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm 99.
[15] Pada tahun ini Muhammadiyah sudah berdiri.
[16] KRH. Hadjid adalah murid termuda KH. Ahmad Dahlan.
[18] Prof. Drs. HA. Malik Fadjar, MSc. dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, penerbit Pustaka Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. I, th 2003, hlm 180.
[19] KRH. Haiban Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur`an, penerbit LPI PPM: Yogyakarta, cet. III, th 2008, hlm 29.
[21] Pelajaran KHA. Dahlan, hlm 46.
[22] Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, hlm 102.
[23] Ibid.
[26] DR. H. Samsul Nizar, MA., Filsafat Pendidikan Islam; Pendidikan Historis Teoritis, penerbit Ciputat Press: Jakarta, cet. I, th 2002, hlm 100.
[27] Ibid, hlm 107.
[28] Ibid, hlm 204.

2 komentar:

  1. Izin share ya ustadz Abduh..
    Smg Alloh membalsnya dgn kebaikan..

    BalasHapus
  2. ya silakan pak.. amin..
    barakallahu fik..

    BalasHapus

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...