Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa mengingat Allah ‘Azza wa Jalla di setiap waktunya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)[1]
Demikianlah Nabi kita yang agung, beliau senantiasa ingat kepada Allah di setiap waktu, dalam segala hal, dan dalam kondisi apa pun. Hal ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits yang lalu, betapa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak pernah lepas dari mengingat Allah. Dari sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi, beliau selalu mengingat Allah. Bahkan, ketika tidur pun beliau masih tetap ingat kepada Allah, dimana beliau hanya tidur matanya namun tidak tidur hatinya. Bagi beliau, tiada waktu tanpa mengingat Allah atau berdzikir kepada-Nya.
Kebiasaan dan keadaan Nabi yang senantiasa mengingat Allah ini, berbanding lurus dengan apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur‘an,
“… Yaitu orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan tidurnya.” (Ali Imran: 190-191)
Adapun praktik dari mengingat Allah, caranya bermacam-macam. Bisa dengan berdzikir menyebut nama-Nya atau sebagian dari nama-nama indah-Nya, mengucap-kan kalimat laa ilaaha illallaah, mengucapkan tasbih, tahmid dan sebagainya, mengawali sesuatu dengan membaca bismillah, senantiasa beristighfar, membaca Al-Qur‘an, berdoa, mengerjakan shalat, berpuasa, dan melakukan berbagai amal kebaikan dalam berbagai bentuknya. Namun yang lebih spesifik sebagaimana dimaksud oleh ayat dan hadits di atas, ialah dengan cara mengucapkan kalimat thayyibah, atau bisa juga dengan senantiasa mengingat Allah di dalam hati tanpa mengucapkannya melalui lisan.
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan firman Allah,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ
“Aku bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyebut-Ku. Maka apabila dia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku pun akan menyebutnya dalam diri-Ku. Dan jika dia menyebutku di tengah banyak orang, maka Aku akan menyebutnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka.” (Muttafaq Alaih)[2]
* * *
[1]Lihat; Shahih Muslim, Kitab Al-Haidh, Bab Dzikrillah Ta’ala fi Hal Al-Janabah (2073); dan Sunan Abi Dawud, Kitab Ath-Thaharah, Bab fi Ar-Rajul Yadzkurullah ‘Ala Ghairi Thuhr (17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar