Kamis, 21 April 2011

Muwazanah Para Imam dan Ulama Salaf

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 241-264. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]
 
Sekilas Antara Muwazanah dan Al-Jarh wa At-Ta’dil
            Sebetulnya antara prinsip muwazanah dan metode al-jarh wa at-ta’dil terdapat keterkaitan yang cukup erat. Bahkan, bisa dibilang bahwa prinsip dari al-jarh wa at-ta’dil adalah muwazanah itu sendiri. Sebab, dalam menjarh dan menta’dil seseorang, biasanya para ulama senantiasa menampilkan sisi kelebihan dan kekurangan seorang perawi secara seimbang. Misalnya perkataan Yahya bin Main (w. 233 H) tentang Hajjaj bin Nushair (w. 214 H),[1]
        صَدُوْقٌ ، لَكِنْ أَخَذُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فِي حَدِيْثِ شُعْبَةَ .
            “Dia jujur. Tetapi orang-orang mencatat beberapa kesalahan padanya dalam meriwayatkan hadits dari Syu’bah.”[2]
            Atau perkataan Amr bin Ali Al-Fallas (w. 249 H) tentang Aban bin Abi Ayyasy,[3]
        مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، يُكْنَى بِأَبِي إِسْمَاعِيْلَ .
            “Haditsnya ditinggalkan. Namun dia adalah seorang lelaki yang shalih. Dia bergelar Abu Ismail.”[4]
            Atau perkataan Ibnu Sa’ad (w. 230 H)[5] tentang Laits bin Abi Sulaim (w. 148 H),
        كَانَ لَيْثٌ رَجُلاً صَالِحاً عَابِداً ، وَكَانَ ضَعِيْفًا فِي الْحَدِيْثِ ، يُقَالُ كَانَ يَسْأَلُ عَطَاءً وَطَاوُوْساً وَمُجَاهِداً عَنِ الشَّيْءِ فَيَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ فَيَرْوِيْ أَنَّهُمْ اتَّفَقُوْا ، مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدٍ لِذَلِكَ .
            “Laits adalah seorang laki-laki yang shalih lagi ahli ibadah, tetapi dia lemah dalam masalah hadits. Diceritakan bahwa dia pernah bertanya kepada Atha`, Thawus, dan Mujahid tentang suatu hal dimana mereka berselisih pendapat dalam hal tersebut. Namun dia meriwayatkan bahwa mereka bersepakat, tanpa ada kesengajaan.”[6]
            Atau perkataan Ibnu Hibban (w. 354 H) tentang Khashif bin Abdirrahman (w. 137 H),[7]
        كَانَ خَصِيْفٌ شَيْخاً صَالِحاً فَقِيْهاً عَابِداً إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخْطِئُ كَثِيْراً فِيْمَا يَرْوِىْ وَيَنْفَرِدُ عَنِ الْمَشَاهِيْرِ بِمَا لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ ، وَهُوَ صَدُوْقٌ فِي رِوَايَتِهِ .
            “Khashif adalah seorang syaikh yang shalih, faqih, dan ahli ibadah. Namun dia sering salah dalam meriwayatkan hadits, dimana dia berbeda dengan para imam yang masyhur sehingga haditsnya tidak bisa diikuti. Tetapi dia jujur dalam periwayatannya.”[8]
            Atau perkataan Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (w. 327 H) yang menukil dari ayahnya[9] tentang Yusuf bin Asbath (w. 195 H),
        كَانَ رَجُلاً عَابِداً ، دَفَنَ كُتُبَهُ ، وَهُوَ يَغْلِطُ كَثِيْراً ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، لَا يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ .
            “Dia adalah seorang laki-laki ahli ibadah. Dia telah mengubur kitab-kitabnya,[10] sehingga sering melakukan kesalahan. Namun dia seorang yang shalih, hanya saja haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.”[11]
            Terkadang juga para ulama hanya menjarh saja tanpa menta’dil. Dan, tidak disebutkannya ta’dil ini biasanya dikarenakan dua hal atau salah satunya, yaitu: Pertama; Karena merasa cukup dengan hanya menyebutkan inti kekurangannya saja tanpa penjelasan lebih lanjut.[12] Dan kedua; Karena memang orang tersebut dianggap tidak memiliki kebaikan atau kelebihan yang layak disebutkan. Yang terakhir ini, biasanya dikarenakan si perawi mempunyai pemahaman menyimpang yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, atau memiliki akhlaq yang buruk. Dan yang semacam ini pun juga termasuk muwazanah. Sebab, yang disebutkan hanya inti jarhnya saja. Misalnya apa yang dikatakan Imam An-Nasa`i dalam kitabnya “Adh-Dhu’afa` wa Al-Matrukin” tentang para perawi yang dianggap cacat :

Selasa, 19 April 2011

Muwazanah: Manhaj Ahlu Sunnah dalam Menilai Seseorang


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 191-240. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]

 
                Telah kami sampaikan sebelumnya, bahwa Al Ustadz Fulan - - - dan kelompoknya adalah orang-orang yang sangat anti terhadap manhaj muwazanah, dimana kita harus adil dan objektif dalam menilai seseorang. Sebagai ‘tandigan’nya, kelompok ‘salafi’ versi beliau ini memblow up istilah al-jarh wa at-ta’dil yang biasa dipakai oleh para ulama masa lalu untuk menilai seorang perawi, yang intinya berujung pada apakah hadits yang diriwayatkannya bisa diterima atau ditolak, atau diterima dengan catatan tertentu. Akhirnya, karena pada saat ini tidak ada seorang pun perawi yang masih hidup, maka terjadilah pemaksaan kehendak. Metode al-jarh wa at-ta’dil pun kembali dihidupkan oleh mereka untuk menjatuhkan para ulama dan syuhada yang tidak sependapat dengan mereka. Padahal, jelas-jelas mereka (para ulama dan syuhada) tersebut bukanlah para perawi hadits dan juga bukan ahlu bid’ah pengusung paham sesat.
                Ringkas kata, Al Ustadz Fulan dan kelompoknya ingin menjatuhkan para ulama dan syuhada tertentu dengan cara menafikan segala kelebihan dan kebaikan yang terdapat pada diri mereka, diiringi dengan membeberkan sebanyak mungkin daftar ‘dosa-dosa’nya, tanpa peduli apakah ‘dosa-dosa’ tersebut termasuk dalam masalah ijtihadiyah dan khilafiyah ataukah tidak. Sehingga, yang ada pun akhirnya bukan lagi al-jarh wa at-ta’dil,[1] melainkan al-jarh wa al-jarh;[2] sebuah metode baru (baca: bid’ah) yang merupakan ‘plesetan’ dari manhaj al-jarh wa at-ta’dil.
                Untuk mematahkan manhaj muwazanah yang dibencinya, Al Ustadz Fulan membuat satu bab khusus yang merupakan bab terpanjang dalam MDMTK, “Metodologi Al-Jarh wat Ta’dil versi Abduh ZA,” dimana sebagian isinya telah kita bahas. Dan kali ini, kita akan membahas sekaligus membuktikan seperti apa sesungguhnya manhaj al-jarh wa at-ta’dil versi Al Ustadz Fulan. Beliau berkata,
“Setelah kita mengikuti bersama jawaban permasalahan pertama,[3] maka sekarang kita memasuki jawaban permasalahan yang kedua, yaitu menanggapi pernyataan saudara Abduh ZA: “… Apalagi dengan menafikan segala kebenaran yang ada pada diri seseorang yang didiskreditkan. …”[4] (hal. xxiii, cetak tebal dari kami).”[5]

                Dari perkataan dan nukilan di atas, tampak jelas bahwa memang Al Ustadz Fulan tidak mau dan tidak suka menyebutkan (apalagi mengakui) berbagai kelebihan dan kebaikan pada diri orang yang sedang dijarh. Bahkan, menyebutkan kebenarannya pun beliau tak sudi. Padahal, jelas-jelas yang kami sebutkan (dalam kalimat yang dinukil Al Ustadz Fulan) adalah kata “KEBENARAN,” yang tentu saja kebenaran yang berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah. Bukan ‘sekadar’ kelebihan ataupun kebaikan yang bisa jadi bersifat subjektif.
                Jadi, sangat bisa dimaklumi jika suatu kebenaran saja beliau berani menafikannya, maka bukan hal yang aneh apabila berbagai kesalahan manusiawi ataupun pendapat-pendapat yang dianggap menyalahi kelompoknya, dengan mudahnya beliau beberkan dengan disertai penyematan gelar yang dianggap cocok atau dicocok-cocokkan. Dan, yang semacam inilah yang beliau sebut sebagai metode al-jarh wa at-ta’dil. Meski sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai al-jarh wa al-jarh, dikarenakan beliau sendiri mengakui menafikan kebenaran orang yang dijarh, sehingga tidak ada lagi at-ta’dil di dalamnya. Dengan demikian, secara tidak sadar (semoga beliau sadar), Al Ustadz Fulan mengakui metodenya sebagai metode al-jarh wa al-jarh, bukan al-jarh wa at-ta’dil.

Jumat, 15 April 2011

Sejarah Arab Pra-Islam


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha [*]

Prolog
            Terasa ada yang kurang jika membahas Sirah Nabawiyah namun tidak menengok ke belakang, melihat latar belakang kondisi budaya sosial masyarakat bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, atau sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan, secara tegas Syaikh Al-Buthi mengatakan dalam kitab Sirah-nya, bahwa untuk menyingkap hikmah Ilahiyah di balik diutusnya Nabi di tanah Arab, pertama-tama kita harus mempelajari terlebih dahulu tentang karakteristik dan akar budaya bangsa Arab sebelum Islam. Selain itu, kita juga mesti mengetahui letak geografis tempat tinggal mereka serta wilayah di sekitarnya.[1]
            Sementara Abdul Hameed Siddiqui mengatakan,
“No history of pre-Islamic Arabia would be complete without an account of the religion of the Arabs. Unfortunately the material which we possess does not enable us to form a complete and vivid picture of the religion of the ancient Arabs.”[2]

Letak Geografis
            Secara geografis, negeri Arab atau jazirah Arabia atau semenanjung Arab tempat di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus, letaknya sama saja antara sebelum dan setelah datangnya Islam. Bahkan tetap sama dengan masa sekarang ini. Tidak ada yang berubah dari segi tempat. Saat ini ia adalah negara Saudi Arabia atau kerajaan Arab Saudi yang terletak di benua Asia, yang merupakan salah satu negara Timur Tengah.
            Tanah Arab beriklim gurun. Sebagian besar wilayahnya adalah padang pasir yang tandus. Kata “Arab” sendiri mempunyai makna padang pasir, dan tanah gundul yang kering lagi gersang yang tak ada air maupun tanaman di sana. Sebutan “Arab” ini sudah sejak lama sekali dilekatkan untuk jazirah Arab. Sama persis dengan nama-nama negeri atau daerah lain yang diberikan karena karakter tertentu dari daerah tersebut.[3]

Kamis, 14 April 2011

Perbedaan Pendapat Adalah Sunnatullah


 [Dinukil seperlunya dari buku kami: “Debat Terbuka Ahlu Sunnah Vs Inkar Sunnah” hlm 99-100. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/5]

 
Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

………….. Adapun apabila yang dimaksud oleh orang-orang inkar Sunnah adalah adanya berbagai madzhab fikih dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka yang pertama kali harus dimengerti adalah, bahwa para imam madzhab sama sekali tidak pernah menolak Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kedua, para imam madzhab tidak pernah menolak suatu hadits yang terbukti keshahihannya bersumber dari Nabi. Ketiga, dan ini yang terpenting, bahwasanya para imam madzhab (dan para pengikutnya) hanya berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang bersifat furu’iyah (cabang) saja, bukan dalam masalah-masalah yang prinsipil.
DR. Muhammad Abul Fath Al-Bayanuni menyebutkan empat sebab –secara global– terjadinya ikhtilaf (perbedaan) pendapat ini, yaitu:[1]
1.       Perbedaan dalam masalah menentukan kepastian suatu hadits apakah benar-benar bersambung sampai ke Nabi atau tidak. Sebab, terkadang ada hadits yang sampai kepada seorang imam, tetapi hadits tersebut tidak sampai kepada imam yang lain. Dan, hal ini berkaitan dengan perbedaan masing-masing imam dalam menentukan dipercaya tidaknya atau lemah tidaknya salah seorang perawi yang terdapat dalam jalur sanad.
2.       Perbedaan dalam memahami nash. Karena terkadang suatu nash atau hadits mengandung kata-kata tertentu yang memiliki dua makna atau lebih. Atau, terkadang di sana terdapat kata-kata tertentu yang maknanya masih global dan belum terperinci. Atau, bisa juga berpulang kepada perbedaan kemampuan dan bidang keahlian masing-masing imam.
3.       Perbedaan dalam cara menggabungkan dan menguatkan antara sejumlah hadits yang berbeda dalam satu masalah. Sekalipun suatu hadits sudah diketahui keshahihannya dan jelas maknanya, namun jika hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain yang juga shahih dan jelas maknanya, maka diperlukan suatu ijtihad untuk menentukan mana hadits yang harus didahulukan. Di sinilah terkadang terjadi perbedaan persepsi di antara para imam.
4.       Perbedaan dalam masalah kaedah ushul fikih yang dipergunakan dalam beristimbat. Sebab, masing-masing imam berbeda dalam masalah ini. Ada yang menjadikan perkataan atau fatwa sahabat sebagai hujjah. Ada yang lebih mengutamakan praktik yang dilakukan penduduk Madinah. Ada yang lebih mendahulukan pendapat daripada hadits dhaif. Dan ada pula yang memperhatikan perbuatan si perawi; apakah sama dengan hadits yang diriwayatkannya atau berbeda.
Jadi, adanya perbedaan tersebut adalah sesuatu yang memang terjadi dikarenakan suatu sebab yang jelas. Akan tetapi, perbedaan tersebut bukanlah perpecahan dus bukan pula dikarenakan Sunnah. Hanya orang yang mengingkari Sunnah saja yang berani mengambinghitamkan Sunnah. Adapun pengikut Sunnah, maka dia tidak akan pernah menyalahkan Sunnah sebagai penyebabnya.
Bagaimanapun juga, perbedaan yang terjadi antarsesama manusia adalah sunnatullah. Perbedaan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. DR. Yasir Burhami berkata, “Dalil-dalil qath’i dari Al-Qur`an dan Sunnah menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang pasti terjadi antarsesama anak manusia. Dan, itu sudah menjadi ketentuan Allah atas mereka. Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan tidaklah manusia itu dulunya melainkan hanya satu umat saja, tetapi kemudian mereka berselisih. Dan, kalau saja bukan karena kalimat Tuhanmu yang telah lalu, niscaya Dia akan memutuskan apa yang diperselisihkan di antara mereka.’[2] Jadi, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalimat-Nya yang telah lalu dan keputusan-Nya yang pertama kali ketika menciptakan makhluk, adalah tidak memutuskan (siapa benar siapa salah dalam) perbedaan yang terjadi di antara mereka saat itu juga.”[3]

 *    *    *


[1] Dirasat fi Al-Ikhtilafat Al-‘Ilmiyyah/DR. Muhammad Abul Fath Al-Bayanuni/hlm 38/Penerbit Darussalam – Kairo/Cetakan Pertama/1998 M – 1418 H.
[2] Yunus: 19.
[3] Fiqh Al-Khilaf Baina Al-Muslimin/DR. Yasir Burhami/hlm 6/Penerbit Dar Al-Aqidah li At-Turats, Iskandariyah/Cetakan Perama/1996 M – 1416 H.

Selasa, 12 April 2011

Hadits di Hadapan Pengusung Hadits & Ahli Fiqih


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha[1]

Prolog
Judul ini mungkin mirip dengan judul kitab karya Syaikh Muhammad Al-Ghazali rahimahullah (1917 – 1996 M), “As-Sunnah Baina Ahli Al-Hadits wa Ahli Al-Fiqh.”  Tidak masalah, kesamaan judul bukan berarti harus sama isinya, meski bisa saja tema yang diangkat ada kesamaannya. Fakta bicara, munculnya sekelompok umat Islam yang dalam beribadah dan muamalah langsung mengacu kepada hadits tanpa melirik fiqih, memang sebuah fenomena.
Kaum muslimin sepakat bahwa Sunnah adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur`an. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat RA mengamalkan Sunnah dengan cara meneladani beliau. Mereka mengambil Sunnah langsung dari sumbernya. Namun, masing-masing sahabat tidak senantiasa sama dalam hal pengetahuan terhadap Sunnah. Sebabnya logis dan sederhana; intensitas kebersamaan, tingkat pemahaman, cara Nabi dalam mengajar yang terkadang berbeda dikarenakan menyesuaikan dengan lawan bicara, dan faktor kemanusiaan beliau.
Sepeninggal Nabi, sebagian sahabat ada yang tetap tinggal di Madinah, dan sebagian lain berpencar ke berbagai penjuru negeri. Mereka menyampaikan dan mengajarkan Sunnah kepada generasi tabi’in sesuai apa didapatkan dari Nabi. Para tabi’in pun mengamalkan Sunnah sebagaimana yang mereka peroleh dari para sahabat.
Tidak berlebihan, jika kami mengatakan bahwa sesungguhnya bermadzhab dalam agama ini sudah ada sejak zaman tabi’in. Madzhab mereka memang bukan Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, atau Zhahiri; melainkan mengikuti sahabat-sahabat tertentu seperti Umar bin Al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abud Darda`, Muadz bin Jabal, dan lain-lain.

Pelopor Gerakan Tanpa Madzhab
            Bukanlah hal yang mudah untuk melacak secara pasti siapa yang pertama kali menyuarakan beragama tanpa madzhab, langsung merujuk (Al-Qur`an dan) Sunnah (baca: hadits), dan meninggalkan taklid secara mutlak. Beberapa ulama besar yang mempunyai kecenderungan ke arah ini kami buka-buka kembali sebagian karyanya, atau tulisan orang lain tentang sejumlah pemikiran mereka. Mereka yaitu; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Muhammad Abduh, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.[2]

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
            Menurut kami, benih pergeseran dari hadits ke fiqih dan dari fiqih ke madzhab menjadi dari hadits langsung ke madzhab, atau langsung mengambil hukum dari hadits tanpa melalui fiqih, pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah (661 H – 728 H). Dia dikenal sebagai seorang ulama yang sangat anti taklid, keras terhadap bid’ah, menyerukan ijtihad, dan terkadang pendapatnya berbeda dengan para atau sebagian imam madzhab yang empat.

Rabu, 06 April 2011

Antara Ghibah dan Al-Jarh wat Ta'dil Versi Sebagian Salafi Ekstrim

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 135-142; menanggapi munculnya kembali wacana al-jarh wat ta'dil yang dipelesetkan. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]


Masih dalam pembahasan soal ghibah, dimana Al Ustadz - - - menganggapnya laksana al-jarh wat ta’dil dalam ilmu hadits, kali ini beliau mengatakan bahwa dalam meng-ghibah itu memang harus disebutkan namanya. Karena –menurut beliau– itu adalah kritik, dan bukan ghibah. Beliau berkata,
“Di antara upaya saudara Abduh ZA mementahkan prinsip Al-Jarh wat Ta’dil yang telah diletakkan oleh para ‘ulama ahlus sunnah sejak generasi as-salafush shalih dan terus dipraktekkan hingga hari ini adalah dengan menggiring para pembaca untuk meyakini bahwa mengkritik dan membantah pihak yang salah tidak usah menyebutkan namanya.”[1]

            Di sini, secara tersirat ada tiga hal yang dikemukakan oleh Al Ustadz - - -. Pertama; Al Ustadz - - - menyamakan antara ghibah dan kritik. Kedua; dalam meng-ghibah harus disebutkan namanya. Dan ketiga; beliau menganggap bahwa ghibah adalah prinsip al-jarh wat ta’dil yang telah dipraktikkan oleh para ulama salafush shalih.
            Untuk yang pertama, jelas antara ghibah dan kritik adalah dua hal yang berbeda dan tidak sama. Ghibah adalah menyebutkan kekurangan atau kelemahan atau aib seseorang yang tidak ditujukan kepada yang bersangkutan, melainkan kepada orang ketiga, dimana jika yang bersangkutan mendengarnya dia tidak akan suka. Atau sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya tentang apa itu ghibah,
        ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ .
            “Kamu sebut saudaramu dengan apa yang tidak dia sukai.”[2]
            Adapun kritik, ia ditujukan kepada orangnya langsung. Baik disampaikan melalui lisan atau media lain seperti koran atau majalah atau buku, misalnya. Dan, lazimnya kritik ini hanya ditujukan kepada orang yang masih hidup, bukan orang yang telah meninggal. Dengan demikian, orang yang dikritik pun mengetahui kesalahannya dan diharapkan dia menyadari serta memperbaiki apa yang salah pada dirinya. Kritik ini adalah bentuk lain dari nasehat, dan ia sangat berbeda dengan ghibah. Nasehat itu disyariatkan, sedangkan ghibah itu dilarang. Dan, apa yang dilakukan oleh Al Ustadz - - - terhadap para ulama dan syuhada adalah ghibah, bukan kritik, dan bukan pula nasehat. Bahkan, itu adalah ghibah yang membabi-buta.
            Yang kedua, mengatakan bahwa ghibah harus dengan menyebutkan namanya adalah suatu kelancangan dan kekeliruan besar. Sebab, hal ini bertentangan dengan tuntunan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,
        كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَلَغَهُ عَنْ الرَّجُلِ الشَّيْءُ لَمْ يَقُلْ مَا بَالُ فُلَانٍ يَقُولُ وَلَكِنْ يَقُولُ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُولُونَ كَذَا وَكَذَا .
            “Adalah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila beliau mendengar sesuatu –yang buruk– tentang seseorang, beliau tidak mengatakan ‘Ada apa dengan si Fulan,’ melainkan beliau mengatakan; Ada apa dengan suatu kaum yang mengatakan begini dan  begini?”[3]
            Ini adalah dalil yang sangat tepat dalam soal ghibah, dimana jika kita hendak meluruskan kesalahan seseorang, jangan sekali-kali menyebutkan namanya langsung. Akan tetapi, sebutkan saja letak kesalahannya tanpa mengungkit-ungkit orangnya atau pelakunya. Ini adalah contoh teladan dari panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan, demikian pula sesungguhnya yang dipraktikkan oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Utsaimin, dan Syaikh Al-Abbad (tiga orang ulama besar dari Saudi, dimana kami dikatakan oleh Al Ustadz - - - telah mencatut kebesaran nama beliau-beliau ketika kami menukil fatwanya), dimana mereka tidak pernah menyebutkan langsung nama orang yang bersangkutan ketika mengkritisi suatu kesalahan atau penyimpangan dalam agama.
            Dan yang ketiga, mengatakan bahwa ghibah adalah prinsip dari metode al-jarh wat ta’dil, adalah merupakan kedustaan atas para ulama salafush shalih, terkhusus para ulama ahli hadits. Sebab, selain mereka sangat bersih dari akhlaq buruk semacam ghibah ini, mereka pun jelas-jelas menerapkan prinsip al-jarh wat ta’dil khusus untuk para perawi hadits demi menjaga kesucian agama ini dari penyelewengan dan penyimpangan ahlu bid’ah. Kalaupun itu adalah ‘ghibah,’ maka itu adalah ghibah yang diperbolehkan. Atau kalau menurut istilah Syu’bah bin Al-Hajjaj; ghibah karena Allah.

Asy-Syahid Sayyid Quthb di Mata Sebagian Salafi Ekstrim


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?” hlm 319-327; menanggapi munculnya kembali wacana pemikiran Sayyid Quthb, yang dikaitkan dengan radikalisme dan terorisme]

Terhadap Asy-Syahid (insyaAllah, kama nahsabuh) Sayyid Quthb rahimahullah, Al Ustadz - - - juga mempunyai catatan khusus yang cukup panjang. Intinya, seolah-olah tidak ada kebaikan pada diri Sayyid Quthb. Bahkan, Al Ustadz - - - sangat bangga dengan Syaikh Muqbil dan Syaikh Rabi’ yang menemukan berbagai ‘kesesatan’ Sayyid Quthb yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan dibaca banyak orang.
            Dalam bagian Daftar Isi, Al Ustadz - - - menulis satu sub-bab khusus bertema, “Pemikiran-pemikiran Takfir Sayyid Quthb.”[1] Kemudian beliau berkata, “Salah satu tokoh yang sangat ekstrim dan radikal di dalam mengusung pemikiran-pemikiran takfir pada masa ini adalah Sayyid Quthb, salah satu tokoh besar, sekaligus kader kuat Ikhwanul Muslimin pimpinan Hasan Al Banna. Ia sebarkan sampah-sampah pemikirannya tersebut melalui buku-bukunya.”[2]
            Dalam satu kutipan kalimat ini saja, Al Ustadz - - - telah mengatakan Asy-Syahid Sayyid Quthb sebagai; tokoh yang sangat ekstrim, radikal, berpemikiran takfir, dan pemikiran-pemikirannya adalah sampah yang telah disebarkan melalui buku-buku beliau rahimahullah. Padahal, ketika Sayyid Quthb hendak dihukum gantung, pemerintahan Kerajaan Arab Saudi waktu itu berusaha melobi Presiden Jamal Abdul Nashir agar membatalkan hukuman mati tersebut, tetapi ditolak oleh Jamal. Sekiranya memang benar terdapat permusuhan antara Ikhwanul Muslimin dengan pemerintahan Saudi, sebagamana anggapan Al Ustadz - - -, tentu pemerintah Saudi tidak akan meminta Jamal agar membatalkan hukuman mati atas Sayyid Quthb.[3]

Senin, 04 April 2011

Kelemahan Hadits Doa Sebelum Makan

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Doa makan yang kita bahas ini sudah sangat terkenal dan dipakai oleh mayoritas kaum muslimin. Waktu kecil kita diajari dengan doa makan ini, dan mungkin kita mengamalkannya sampai hari ini. Dan, ketika besar pun, kita mengajari anak-anak kita dengan doa makan yang memang sangat masyhur ini. Padahal, doa makan yang biasa kita baca sehari-hari ini adalah dha’if.

Hadits Pertama
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak menyantap makanan, beliau membaca:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ، بِسْمِ اللهِ .
“Ya Allah, berkahilah kami pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada kami, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka. Dengan nama Allah.”

Hadits Kedua
            Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, bahwa ayahnya (Urwah bin Az-Zubair) setiap kali akan makan dan minum, bahkan minum obat, dia tidak makan dan minum sebelum membaca:
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي هَدَانَا وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَنَعَمَنَا وَاللهُ أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ بِكُلِّ شَرٍّ ، فَأَصْبَحْنَا وَأَمْسَيْنَا مِنْهَا بِكُلِّ خَيْرٍ ، فَنَسْأَلُكَ تَمَامَهَا وَشُكْرَهَا ، لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ إِلَهَ الصَّالِحِيْنَ وَرَبَّ الْعَالَمِيْنَ ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، مَا شَاءَ اللهُ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ .
            “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita hidayah, makanan, minuman, dan nikmat.  Allah Mahabesar. Ya Allah, nikmat-Mu telah melunakkan kami dari segala keburukan, maka kami berada di pagi dan sore hari dengan segala kebaikan dengan nikmat-Mu. Kami mohon kepada-Mu kesempurnaan dan kesyukurannya. Tiada kebaikan kecuali kebaikan-Mu. Tiada Tuhan selain-Mu, Tuhan orang-orang saleh dan Tuhan alam semesta. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Tiada Tuhan selain Allah. Apa pun terserah kehendak Allah dan tiada kekuatan kecuali karena Allah. Ya Allah, berkahilah kami pada apa yang telah Engkau karuniakan kepada kami, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka.”

Takhrij
            Hadits pertama diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dalam Ad-Du’a` (814), Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (456), dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Muhammad bin Abi Az-Zu’aizi’ah); dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
            Hadits kedua diriwayatkan Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (1465), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (66/9), Al-Baihaqi dalam Al-Asma` wa Ash-Shifat (363), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Urwah bin Az-Zubair); dari Urwah bin Az-Zubair.
Hadits kedua juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunia dalam Asy-Syukr (166) dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu 'Anhu.

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...