Rabu, 06 April 2011

Antara Ghibah dan Al-Jarh wat Ta'dil Versi Sebagian Salafi Ekstrim

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 135-142; menanggapi munculnya kembali wacana al-jarh wat ta'dil yang dipelesetkan. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]


Masih dalam pembahasan soal ghibah, dimana Al Ustadz - - - menganggapnya laksana al-jarh wat ta’dil dalam ilmu hadits, kali ini beliau mengatakan bahwa dalam meng-ghibah itu memang harus disebutkan namanya. Karena –menurut beliau– itu adalah kritik, dan bukan ghibah. Beliau berkata,
“Di antara upaya saudara Abduh ZA mementahkan prinsip Al-Jarh wat Ta’dil yang telah diletakkan oleh para ‘ulama ahlus sunnah sejak generasi as-salafush shalih dan terus dipraktekkan hingga hari ini adalah dengan menggiring para pembaca untuk meyakini bahwa mengkritik dan membantah pihak yang salah tidak usah menyebutkan namanya.”[1]

            Di sini, secara tersirat ada tiga hal yang dikemukakan oleh Al Ustadz - - -. Pertama; Al Ustadz - - - menyamakan antara ghibah dan kritik. Kedua; dalam meng-ghibah harus disebutkan namanya. Dan ketiga; beliau menganggap bahwa ghibah adalah prinsip al-jarh wat ta’dil yang telah dipraktikkan oleh para ulama salafush shalih.
            Untuk yang pertama, jelas antara ghibah dan kritik adalah dua hal yang berbeda dan tidak sama. Ghibah adalah menyebutkan kekurangan atau kelemahan atau aib seseorang yang tidak ditujukan kepada yang bersangkutan, melainkan kepada orang ketiga, dimana jika yang bersangkutan mendengarnya dia tidak akan suka. Atau sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya tentang apa itu ghibah,
        ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ .
            “Kamu sebut saudaramu dengan apa yang tidak dia sukai.”[2]
            Adapun kritik, ia ditujukan kepada orangnya langsung. Baik disampaikan melalui lisan atau media lain seperti koran atau majalah atau buku, misalnya. Dan, lazimnya kritik ini hanya ditujukan kepada orang yang masih hidup, bukan orang yang telah meninggal. Dengan demikian, orang yang dikritik pun mengetahui kesalahannya dan diharapkan dia menyadari serta memperbaiki apa yang salah pada dirinya. Kritik ini adalah bentuk lain dari nasehat, dan ia sangat berbeda dengan ghibah. Nasehat itu disyariatkan, sedangkan ghibah itu dilarang. Dan, apa yang dilakukan oleh Al Ustadz - - - terhadap para ulama dan syuhada adalah ghibah, bukan kritik, dan bukan pula nasehat. Bahkan, itu adalah ghibah yang membabi-buta.
            Yang kedua, mengatakan bahwa ghibah harus dengan menyebutkan namanya adalah suatu kelancangan dan kekeliruan besar. Sebab, hal ini bertentangan dengan tuntunan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dikisahkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,
        كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَلَغَهُ عَنْ الرَّجُلِ الشَّيْءُ لَمْ يَقُلْ مَا بَالُ فُلَانٍ يَقُولُ وَلَكِنْ يَقُولُ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُولُونَ كَذَا وَكَذَا .
            “Adalah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila beliau mendengar sesuatu –yang buruk– tentang seseorang, beliau tidak mengatakan ‘Ada apa dengan si Fulan,’ melainkan beliau mengatakan; Ada apa dengan suatu kaum yang mengatakan begini dan  begini?”[3]
            Ini adalah dalil yang sangat tepat dalam soal ghibah, dimana jika kita hendak meluruskan kesalahan seseorang, jangan sekali-kali menyebutkan namanya langsung. Akan tetapi, sebutkan saja letak kesalahannya tanpa mengungkit-ungkit orangnya atau pelakunya. Ini adalah contoh teladan dari panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan, demikian pula sesungguhnya yang dipraktikkan oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Utsaimin, dan Syaikh Al-Abbad (tiga orang ulama besar dari Saudi, dimana kami dikatakan oleh Al Ustadz - - - telah mencatut kebesaran nama beliau-beliau ketika kami menukil fatwanya), dimana mereka tidak pernah menyebutkan langsung nama orang yang bersangkutan ketika mengkritisi suatu kesalahan atau penyimpangan dalam agama.
            Dan yang ketiga, mengatakan bahwa ghibah adalah prinsip dari metode al-jarh wat ta’dil, adalah merupakan kedustaan atas para ulama salafush shalih, terkhusus para ulama ahli hadits. Sebab, selain mereka sangat bersih dari akhlaq buruk semacam ghibah ini, mereka pun jelas-jelas menerapkan prinsip al-jarh wat ta’dil khusus untuk para perawi hadits demi menjaga kesucian agama ini dari penyelewengan dan penyimpangan ahlu bid’ah. Kalaupun itu adalah ‘ghibah,’ maka itu adalah ghibah yang diperbolehkan. Atau kalau menurut istilah Syu’bah bin Al-Hajjaj; ghibah karena Allah.
            Dalam perkataan para ulama tentang ‘ghibah’ yang dinukil oleh Al Ustadz - - - pada pembahasan yang lalu, tampak jelas tanpa keraguan di dalamnya, bahwa al-jarh wat ta’dil hanya ditujukan untuk para perawi hadits, bukan terhadap para ulama dan syuhada.

Al-Jarh wat Ta’dil Khusus untuk Para Perawi Hadits
            Telah kami katakan sebelumnya, bahwa ilmu al-jarh wat ta’dil adalah khusus untuk para perawi yang bermasalah dalam periwayatan haditsnya. Dan apa yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam hal ini sama sekali bukan ghibah. Ketika hadits-hadits telah dibukukan dan masa para perawi telah berlalu, maka selesailah sudah al-jarh wat ta’dil. Ia sama sekali tidak bisa diterapkan pada seorang muslim yang bukan perawi, apalagi diterapkan terhadap para ulama dan syuhada yang sangat dimuliakan Allah dan dicintai oleh kaum muslimin.
            Demikian adalah pendapat para ulama tentang al-jarh wat ta’dil:
·          Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan berkata, “Al-jarh wat ta’dil telah habis masanya. Ia sudah tidak ada lagi sekarang.”[4]
·          Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar-Rajihi berkata, “Ilmu al-jarh wat ta’dil sudah selesai, karena ia sekarang telah terbukukan rapi dalam berbagai kitab. Begitu pula dengan hadits-hadits Nabi, ia telah terbukukan dalam berbagai kitab shahih, sunan, musnad, dan mu’jam… sehingga sekarang tidak ada lagi al-jarh wat ta’dil. Dan, al-jarh wat ta’dil itu memang khusus untuk para ahli hadits.”[5]
·          Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani beòkata, “Besar sekali bedanya antara ilmu al-jarh wat ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’i, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan al-jarh wat ta’dil yang terjadi sekarang ini.”[6]
·          Syaikh Ridha Ahmad Shamadi berkata, “Tidak usah dijarh orang yang tidak perlu dijarh, seperti para ulama yang periwayatan hadits mereka tidak dibutuhkan.”[7]
·          Ibnul Murabith (w. 485 H) berkata, “Hadits-hadits telah dibukukan, dan tajrih pun sudah tidak ada faedahnya lagi.”[8]
·          Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim berkata,[9] “… Dan tidak termasuk dalam hal itu apa yang disebut al-jarh wat ta’dil. Seperti orang yang mengatakan; si fulan mudallis,[10] atau si fulan sifatnya begini… Sebab, yang semacam ini terdapat faedah di dalamnya bagi kaum muslimin, agar mereka berhati-hati terhadap hadits-hadits yang diriwayatkannya.”[11]

Syaikh Shalih Fauzan: Tidak Ada Ulama Al-Jarh wat Ta’dil Pada Masa Ini
            Dalam satu kesempatan, terjadi dialog tanya jawab antara Syaikh DR. Al-Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dengan seorang thalibul ilmi:
            Penanya : Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al-jarh wat ta’dil pada masa kita sekarang ini?
            Syaikh : Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al-jarh wat ta’dil pada saat ini. Sekarang ini para ulama al-jarh wat ta’dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al-jarh wat ta’dil. Al-Jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al-jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan al-jarh wat ta’dil.
            Penanya : Anda mengatakan bahwa al-jarh wat ta’dil pada zaman ini sudah tidak ada lagi, hal ini akan membuat sebagian orang memahami bahwa Anda tidak memandang perlunya membantah ahlu bid’ah dan para penyeleweng agama?
            Syaikh : Al-jarh wat ta’dil itu bukan ghibah dan namimah seperti yang banyak terjadi sekarang ini,[12] khususnya di sebagian kalangan penuntut ilmu. Wahai saudaraku, al-jarh wat ta’dil itu adalah bagian dari ilmu isnad dalam hadits, dan ini adalah spesialisasi para imam dan ahli hadits. Dan, kami tidak tahu siapa yang termasuk ulama al-jarh wat ta’dil sekarang ini, dimana ulama tersebut menguasai sanad-sanad hadits dan mampu memilah mana yang shahih dan mana yang dha’if. Kami tidak mengetahui seorang pun sekarang! Ya, inilah dia yang dimaksud dengan al-jarh wat ta’dil.[13]

Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq: Itu Bukan Al-Jarh wat Ta’dil Melainkan Kebodohan dan Penghancuran
            Sebuah majalah ternama yang terbit di Kuwait, As-Sumuw Al-Kuwaitiyah, dalam edisinya yang ke-19, tahun kedua, Rabi’ul Akhir 1424 H – Juli 2004 M, memuat wawancara bersama Syaikh Al-Allamah DR. Abdurrahman bin Abdil Khaliq As-Sayyid Yusuf hafizhahullah seputar aktivitas beliau dan gerakan dakwah. Di antara yang ditanyakan oleh si pewawancara (Abdullah Al-Harbi), yaitu, “Sebagian orang yang masih menuntut ilmu baik yang sudah mapan ataupun yang baru mulai belajar, banyak yang melemparkan tema al-jarh wat ta’dil terhadap para ulama. Apakah di sana ada dasar-dasar dan kriteria tertentu bagi orang yang hendak mendalami ilmu al-jarh wat ta’dil ini?”
            Syaikh : Ini bukan al-jarh wat ta’dil! Tetapi ini adalah semacam kebodohan dan penghancuran. Dan ini adalah bagian dari rencana musuh untuk menghancurkan Islam. Al-jarh wat ta’dil adalah sebuah ilmu yang diterapkan oleh para ulama untuk menimbang manusia dengan timbangan yang lebih akurat daripada timbangan emas. Sebab, seseorang yang menceburkan dirinya dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dia harus diketahui identitasnya dan timbangannya. Mesti diketahui; kebaikan-kebaikannya, keburukan-keburukannya, kejujurannya, dan amanahnya. Selain itu, dia juga harus seorang yang hafizh dan adil. Setelah itu, baru dia diberi sifat yang sesuai menurut timbangan ini … misalnya; ini tsiqah dan kuat hafalannya, tsiqah saja, tsiqah dan hafizh, jujur, jujur namun terkadang keliru, jujur tetapi berubah pada akhir umurnya –supaya haditsnya yang diriwayatkan pada akhir umurnya tidak diterima–, ini dha’if, ini jelek hafalannya, ini pendusta, ini tidak boleh ditulis haditsnya… dst.
            Jadi ada beberapa tingkatan. Tingkatan pertama yang tertinggi, yaitu yang diterima haditsnya. Tingkatan berikutnya, adalah hasan. Kemudian tingkatan dh’aif, dimana jika hanya dia sendiri yang meriwayatkan maka tidak diterima haditsnya, karena harus ada riwayat lain yang memperkuatnya. Selanjutnya, ialah tingkatan para pendusta dan pemalsu hadits, dimana mereka tidak diterima semua haditsnya sekalipun mereka kuat hafalannya dan memiliki kelebihan dibanding yang lain.
            Dengan demikian, jelas bahwa al-jarh wat ta’dil adalah suatu ilmu tersendiri yang diterapkan oleh para ulama besar dalam menimbang para perawi. Adapun kekurang-ajaran dan pelecehan yang sekarang dilakukan oleh sebagian kalangan penuntut ilmu terhadap para da’i yang menyeru kepada Allah Ta’ala adalah seperti sekelompok anjing yang mengganggu orang lewat di jalan, mereka menghalangi jalan orang yang mau lewat ini dan memotongnya. Mereka ini hanyalah sekumpulan anjing lapar yang suka mengganggu setiap da’i yang menyeru kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dan kebanyakan dari mereka tidak mengenal orang yang mereka jatuhkan, tidak membaca karya-karyanya, dan juga tidak mengerti apa itu timbangan dalam menilai seseorang. 
            Orang (yang bicara al-jarh wat ta’dil) ini tidak mengetahui apa perbedaan antara sunnah dan bid’ah, dan kapan hal ini keluar dari perkara tersebut. Dia adalah  seorang muqallid (peniru). Ketika dikatakan si fulan ahlu bid’ah, maka dia pun ikut-ikutan mengatakan bahwa si fulan mubtadi’ (baca: ahlu bid’ah), tanpa tahu di mana letak inti bid’ahnya dan bahkan tidak mengerti apa itu bid’ah. Sebab, dia hanya muqallid. Yang semacam ini tidak bisa disebut al-jarh wat ta’dil.
            Bisa juga orang tersebut adalah seorang yang bodoh lagi pendusta yang memang suka berdusta. Sebab, ketika ada yang mengatakan kepadanya bahwa si fulan mubtadi’, maka dia pun menjelek-jelekkannya sedemikian rupa, sehingga dia pun membuat kedustaan, mencela, mencaci-maki, dan melaknat. Kemudian, orang ini bahkan melakukan hal yang lebih berat lagi, yaitu dia melarang orang-orang mengambil kebaikan dari ulama tersebut. Dia mentahdzir pengajaran-pengajarannya, ceramah-ceramahnya, dan juga mentahdzir pribadi ulama bersangkutan. Padahal, kalaupun toh syaikh ini benar-benar fajir (orang yang suka berbuat dosa), akan tetapi dia melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi Islam; maka siapa pun tidak boleh menghalangi manfaat ini. Karena, ‘Sesungguhnya Allah akan menolong agama ini dengan seorang laki-laki yang fajir’[14] dan dengan kaum-kaum yang tidak ada perselisihan di antara mereka; lalu bagaimana halnya jika yang dijarh itu adalah seorang ulama yang banyak berbuat nyata bagi agama ini dan senantiasa menyeru kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala!?
            Sikap orang yang menghalangi ulama tersebut, menghalangi orang-orang darinya, dan menghalangi jalan Allah; adalah suatu perbuatan kriminal. Sama sekali tidak contohnya dalam agama. Dan manakala mereka mengatasnamakan hal ini dengan al-jarh wat ta’dil, maka ini adalah kedustaan yang paling hina yang pernah dipraktikkan pada masa ini.[15]
*   *   *
            Pembaca, demikianlah pendapat sebagian ulama besar tentang al-jarh wat ta’dil. Sungguh berbeda sekali antara pemahaman Al Ustadz - - - Ba’abduh dengan pemahaman para ulama tentang al-jarh wat ta’dil.

*   *   *


[1] - - -, hlm 97. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[2] HR. Muslim (4690), At-Tirmidzi (1857), Abu Dawud (4231), Ahmad (8625), Ad-Darimi (2598), Ibnu Abi Syaibah (Bab 27/hadits nomor 4), Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/6443), Abu Ya’la (6361), Ibnu Hibban (5853), dan Al-Baghawi (3502); dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[3] HR. Abu Dawud (4156), Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/7876), dan Ath-Thahawi (5137). Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (2064), Shahih Sunan Abi Dawud (4788), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (8821).
Dalam - - -, halaman 98, catatan kaki nomor 46, nomor 1, butir a,  Al Ustadz - - - mengoreksi takhrij hadits kami ini. Beliau berkata, “… Dalam kitab Sunan Abi Dawud dengan cetakan dan penerbit yang ada pada kami, hadits tersebut tertera dengan no. 4788, bukan 4156 seperti kata Abduh ZA. Perhatikan, sangat jauh sekali selisihnya.”
Apa yang dikatakan Al Ustadz - - - Ba’abduh benar. Hadits tersebut memang terdapat pada nomor 4788. Kepada beliau, saya ucapkan terima kasih atas koreksinya. Akan tetapi, dalam STSK kami menulis Shahih Abi Dawud, bukan Sunan Abi Dawud. Dan nomor yang kami sebutkan adalah 4005, bukan 4156. Meskipun beliau salah dalam menulis sumber kitab dan nomor yang kami sebutkan dalam STSK, kami sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai kedustaan atau ketidakbecusan dalam menukil atau tidak amanah dalam penukilan. Ini hanya kesalahan penulisan yang sangat sepele. Sama sekali tidak mempengaruhi inti koreksinya.
Kemudian, dalam buku dan nomor catatan kaki yang sama, tetapi pada butir 2, Al Ustadz - - - mengoreksi kesalahan penulisan kami, dimana kami menulis “Al-’Usyrah,” padahal seharusnya adalah “Al-’Isyrah.” Untuk itu, kami sampaikan terima kasih sekali lagi kepada beliau atas koreksinya ini. Kami hanya bisa mengatakan bahwa tuts huruf “u” dan “i” memang berdampingan persis, dan itu adalah kesalahan pencet yang bisa terjadi pada setiap orang.
[5] Ibid.
[6] An-Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh/Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani/Hlm 34/Penerbit Dar Al-Humaidhi, Riyadh/Cetakan pertama/1993 M – 1414 H.
[7] Lihat artikel; Al-Jarh wat Ta’dil ‘Indal Muhadditsin/Syaikh Ridha Ahmad Shamadi, di http://saaid.net/Doat/rida-samadi/5.doc.
[8] Ibid. Menukil dari; Ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil/Syaikh Abdul Hayy Al-Laknawi/Tahqiq: Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah/Hlm 50. Buku ini juga bisa didownload di http://www.waqfeya.com/open.php?cat=12&book=623 atau http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=1415 dan beberapa situs lain.
[9] Beliau menyampaikan ini ketika membahas masalah ghibah terhadap orang yang sudah meninggal.
[10] Mudallis, yaitu: Seorang perawi yang tidak menyebutkan dari siapa dia mendengar hadits yang diriwayatkannya, namun dia menyebutkan perawi (syaikh) yang di atasnya sehingga mengesankan dia mendengar langsung dari syaikh tersebut. Meski banyak ulama tsiqah yang melakukan tadlis, tetapi mayoritas imam hadits mengatakan bahwa hal ini tidak bisa diterima. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Tadlis adalah saudaranya dusta.” Adapun Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah berkata, “Tadlis itu bukan dusta, tetapi dia itu semacam perkataan yang mengesankan sesuatu dengan lafal yang tidak tegas.” (Lihat lebih rinci tentang tadlis, mudallis, dan dua macam tadlis di: Muqaddimah Ibnu As-Shalah; Al-Ba’its Al-Hatsits fi Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits/Ibnu Katsir; Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits/Asy-Syarif Al-Jurjani; Al-Muqizhah fi ‘Ilmi Mushthalah Al-Hadits/Imam Adz-Dzahabi; Tadrib Ar-Rawi/Imam As-Suyuthi; Al-Kifayah fi ‘Ilmi Ar-Riwayah/Al-Khathib Al-Baghdadi; dan kita-kitab lain yang sejenis.
[11] Syarh Bulugh Al-Maram/Syaikh Atihyah bin Muhammad Salim/Pelajaran nomor 123. Sumber: http://www.islamweb.net. Kitab yang bersumber dari ceramah hadits ini terdapat dalam Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[12] Syaikh Shalih Fauzan benar, sesungguhnya ghibah yang banyak terjadi sekarang ini memang tidak termasuk dalam al-jarh wat ta’dil.
[14] HR. Muslim (162), Ahmad (7744), dan Ad-Darimi (2405); dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...