Kamis, 21 April 2011

Muwazanah Para Imam dan Ulama Salaf

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 241-264. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]
 
Sekilas Antara Muwazanah dan Al-Jarh wa At-Ta’dil
            Sebetulnya antara prinsip muwazanah dan metode al-jarh wa at-ta’dil terdapat keterkaitan yang cukup erat. Bahkan, bisa dibilang bahwa prinsip dari al-jarh wa at-ta’dil adalah muwazanah itu sendiri. Sebab, dalam menjarh dan menta’dil seseorang, biasanya para ulama senantiasa menampilkan sisi kelebihan dan kekurangan seorang perawi secara seimbang. Misalnya perkataan Yahya bin Main (w. 233 H) tentang Hajjaj bin Nushair (w. 214 H),[1]
        صَدُوْقٌ ، لَكِنْ أَخَذُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فِي حَدِيْثِ شُعْبَةَ .
            “Dia jujur. Tetapi orang-orang mencatat beberapa kesalahan padanya dalam meriwayatkan hadits dari Syu’bah.”[2]
            Atau perkataan Amr bin Ali Al-Fallas (w. 249 H) tentang Aban bin Abi Ayyasy,[3]
        مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، يُكْنَى بِأَبِي إِسْمَاعِيْلَ .
            “Haditsnya ditinggalkan. Namun dia adalah seorang lelaki yang shalih. Dia bergelar Abu Ismail.”[4]
            Atau perkataan Ibnu Sa’ad (w. 230 H)[5] tentang Laits bin Abi Sulaim (w. 148 H),
        كَانَ لَيْثٌ رَجُلاً صَالِحاً عَابِداً ، وَكَانَ ضَعِيْفًا فِي الْحَدِيْثِ ، يُقَالُ كَانَ يَسْأَلُ عَطَاءً وَطَاوُوْساً وَمُجَاهِداً عَنِ الشَّيْءِ فَيَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ فَيَرْوِيْ أَنَّهُمْ اتَّفَقُوْا ، مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدٍ لِذَلِكَ .
            “Laits adalah seorang laki-laki yang shalih lagi ahli ibadah, tetapi dia lemah dalam masalah hadits. Diceritakan bahwa dia pernah bertanya kepada Atha`, Thawus, dan Mujahid tentang suatu hal dimana mereka berselisih pendapat dalam hal tersebut. Namun dia meriwayatkan bahwa mereka bersepakat, tanpa ada kesengajaan.”[6]
            Atau perkataan Ibnu Hibban (w. 354 H) tentang Khashif bin Abdirrahman (w. 137 H),[7]
        كَانَ خَصِيْفٌ شَيْخاً صَالِحاً فَقِيْهاً عَابِداً إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخْطِئُ كَثِيْراً فِيْمَا يَرْوِىْ وَيَنْفَرِدُ عَنِ الْمَشَاهِيْرِ بِمَا لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ ، وَهُوَ صَدُوْقٌ فِي رِوَايَتِهِ .
            “Khashif adalah seorang syaikh yang shalih, faqih, dan ahli ibadah. Namun dia sering salah dalam meriwayatkan hadits, dimana dia berbeda dengan para imam yang masyhur sehingga haditsnya tidak bisa diikuti. Tetapi dia jujur dalam periwayatannya.”[8]
            Atau perkataan Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (w. 327 H) yang menukil dari ayahnya[9] tentang Yusuf bin Asbath (w. 195 H),
        كَانَ رَجُلاً عَابِداً ، دَفَنَ كُتُبَهُ ، وَهُوَ يَغْلِطُ كَثِيْراً ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، لَا يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ .
            “Dia adalah seorang laki-laki ahli ibadah. Dia telah mengubur kitab-kitabnya,[10] sehingga sering melakukan kesalahan. Namun dia seorang yang shalih, hanya saja haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.”[11]
            Terkadang juga para ulama hanya menjarh saja tanpa menta’dil. Dan, tidak disebutkannya ta’dil ini biasanya dikarenakan dua hal atau salah satunya, yaitu: Pertama; Karena merasa cukup dengan hanya menyebutkan inti kekurangannya saja tanpa penjelasan lebih lanjut.[12] Dan kedua; Karena memang orang tersebut dianggap tidak memiliki kebaikan atau kelebihan yang layak disebutkan. Yang terakhir ini, biasanya dikarenakan si perawi mempunyai pemahaman menyimpang yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, atau memiliki akhlaq yang buruk. Dan yang semacam ini pun juga termasuk muwazanah. Sebab, yang disebutkan hanya inti jarhnya saja. Misalnya apa yang dikatakan Imam An-Nasa`i dalam kitabnya “Adh-Dhu’afa` wa Al-Matrukin” tentang para perawi yang dianggap cacat :
q       إِبْرَاهِيْمُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ مُجَمِّعٍ ضَعِيْفٌ مَدَنِيٌّ .
q  “Ibrahim bin Ismail bin Mujammi’ dha’if, orang Madinah.”[13]
q       إِبْرَِاهِيْمُ بْنُ عَطِيَّةَ مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ وَاسِطِيٌّ .
q  “Ibrahim bin Athiyah haditsnya ditinggalkan, orang Wasith.”[14]
q       إِسْمَاعِيْلُ بْنُ نَشِيْطٍ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ .
q  “Ismail bin Nasyith tidak kuat (hafalannya).”[15]
q       حَارِثُ بْنُ النُّعْمَانِ لَيْسَ بِثِقَةٍ .
q  “Harits bin An-Nu’man bukan orang yang tsiqah.”[16]
q       رَبِيْعُ بْنُ حَبِيْبٍ مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ كُوْفِيٌّ أَخُوْ عَائِذِ بْنِ حَبِيْبٍ .
q  “Rabi’ bin Habib haditsnya mungkar. Dia orang Kufah, saudaranya A`idz bin Habib.”[17]
            Atau perkataan Imam Al-Bukhari menukil dari Abu Raja` tentang Mubarak bin Mujahid,
        كَانَ مُبَارَكُ بْنُ مُجَاهِدٍ قَدَرِيًّا ، وَضَعَّفَهُ .
            “Mubarak bin Mujahid adalah seorang Qadariyah, dan dia (Abu Raja`) mendha’ifkannya.”[18]
            Atau perkataan Al-Hafizh Abu Ja’far Al-Uqaili tentang Abu Ash-Shalt Al-Harawi,
        عَبْدُ السَّلَامِ بْنِ صَالِحٍ أَبُو الصَّلْتِ الْهَرَوِيِّ كَانَ رَافِضِيًّا خَبِيْثًا .
            “Abdussalam bin Shalih Abu Ash-Shalt Al-Harawi adalah seorang Syi’ah Rafidhah yang busuk.”[19]
            Atau perkataan Imam Al-Baihaqi tentang Al-Juwaibari,
        أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الشَّيْبَانِيُّ هُوَ الْجُوَيْبَارِيُّ ، وَهُوَ مِمَّنْ يَضَعُ الْحَدِيْثَ .
            “Ahmad bin Abdillah Asy-Syaibani adalah Al-Juwaibari. Dia termasuk orang yang memalsu hadits.”[20]
            Atau perkataan Ibnu Hajar Al-Asqalani yang menukil dari Abu Zur`ah tentang Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuri,
        وَقَالَ أَبُوْ زُرْعَةٍ كَانَ يَكْذِبُ .
            “Dan Abu Zur’ah mengatakan, dia (Al-Yasykuri) suka berdusta.”[21]
            Atau beberapa perkataan Syaikh Al-Albani tentang Ibnu Lahi’ah,
q       وَابْنُ لَهِيْعَةَ لَا يَحِلُّ كُتُبُ حَدِيْثِهِ .
q  “Dan Ibnu Lahi’ah tidak boleh dibaca kitab-kitab haditsnya.”[22]
q       وَهَذَا سَنَدٌ ضَعِيْفٌ مِنْ أَجْلِ ابْنِ لَهِيْعَةَ فَإِنَّهُ ضَعِيْفُ الْحِفْظِ .
q  “Dan ini adalah sanad yang lemah karena ada Ibnu Lahi’ah. Sesungguhnya dia itu lemah hafalannya.”[23]
q       ابْنُ لَهِيْعَةَ مَشْهُوْرٌ بِالضَّعْفِ .
q  “Ibnu Lahi’ah terkenal lemah (hafalannya).”[24]

            Pembaca, demikianlah al-jarh wa at-ta’dil yang dilakukan oleh para imam dan ulama generasi terdahulu, dimana terdapat prinsip muwazanah di dalamnya. Mereka sama sekali tidak mengumbar dan mencari-cari kesalahan seseorang, melainkan hanya menyebutkan satu atau dua kekurangan dari si perawi dan itu sudah dianggap cukup untuk menolak hadits yang diriwayatkannya. Atau, terkadang haditsnya diterima namun dengan syarat-syarat tertentu yang cukup ketat.
Satu hal yang menjadi catatan di sini dan perlu direnungkan bersama, bahwasanya dari sejumlah pernyataan para ulama al-jarh wa at-ta’dil yang kami nukil dari berbagai kitab yang muktabar,[25] semuanya hanya tertuju kepada para perawi hadits, dan berkaitan dengan hadits yang diriwayatkannya. Tidak ada satu pun yang mengkritisi selain perawi hadits. Jadi, benar apa yang dikatakan Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar-Rajihi, bahwa “… Dan, al-jarh wat ta’dil itu memang khusus untuk para ahli hadits.”[26]
            Selanjutnya, karena masa periwayatan dan pembukuan hadits sudah berlalu, maka praktik al-jarh wa at-ta’dil pun bisa dibilang tinggal kenangan. Setidaknya, demikianlah yang dikatakan Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan, bahwa “Al-jarh wat ta’dil telah habis masanya. Ia sudah tidak ada lagi sekarang.”[27] Dan juga kata Ibnul Murabith, “Hadits-hadits telah dibukukan, dan tajrih pun sudah tidak ada faedahnya lagi.”[28]
            Dengan demikian, sungguh mengada-ada dan dipaksakan jika pada saat ini masih ada sekelompok orang yang mengaku paling salafi yang hobi mendengung-dengungkan al-jarh wa at-ta’dil tetapi dengan maksud untuk menjatuhkan kredibilitas para ulama dan syuhada di mata umat. Masih mending jika cara menjatuhkannya sama dengan metode yang dipakai para ulama masa lalu dalam menjarh seorang perawi. Tetapi cara yang dipakai mereka ini benar-benar sangat berbeda dengan manhaj al-jarh wa at-ta’dilnya para imam hadits. Mereka ini bukannya menjarh, namun menjarah.
            Ya, kehormatan para ulama dan syuhada yang diakui kredibilitasnya oleh umat telah mereka jarah dengan cara yang sangat tidak santun. Buku-buku para ulama dan syuhada tersebut dibuka halaman demi halaman untuk dikumpulkan sebanyak mungkin kesalahannya. Begitu pula perkataan-perkataannya, jika ada yang salah atau dianggap salah atau disalahkan sajalah, maka dinventarisir oleh mereka untuk dibahas dan disebarluaskan, baik melalui ceramah-ceramah, buku-buku, kaset, dan sebagainya. Lebih ironisnya lagi, semangat menjelek-jelekkan ini mereka tularkan kepada murid-muridnya yang notabene masih awam dalam memahami dinul Islam. Lalu, mereka pun berteriak: ini ulama sesat, ini ahlu bid’ah, ini tidak sesuai Sunnah, ini tidak mengikuti manhaj salaf, ini bla bla bla… Wallahu a’lamu bish-shawab.
            Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dari dulu, selalu ada perbedaan pendapat di antara para imam, dimana sebagian mereka membantah sebagian yang lain. Dan, kami bukanlah termasuk orang yang suka mencela ulama dengan hawa nafsu dan kebodohan.”[29]
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya kesalahan dalam masalah detil keilmuan yang dilakukan umat itu diampuni Allah, sekalipun itu terjadi dalam masalah-masalah ilmiah. Jika tidak demikian, niscaya akan banyak tokoh umat ini yang terjerumus dalam kebinasaan.”[30]
            Selanjutnya, insya Allah akan kita bahas bagaimana sikap muwazanah para imam dan ulama besar Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam menilai seseorang,[31] sekalipun ia adalah seorang shufi, Mu’tazilah, atau Syi’ah, atau Khawarij. Termasuk juga muwazanah para ulama dalam menukil pendapat para ulama pendahulunya secara adil, antara yang pro dan kontra. Mudah-mudahan Al Ustadz Fulan dan kelompoknya mau membuka mata, betapa para ulama tidak membabi-buta dalam menilai seseorang, sekalipun pada diri orang tersebut terdapat kekurangan dan kesalahan. Karena bagaimanapun juga tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang makshum selain Rasulullah dan para nabi semuanya Shalawatullahi wa Salamuhu ‘Alaihim Ajma’in.

Muwazanah Sufyan Ats-Tsauri
            Imam Ibnul Qayyim (w. 751 H) menukil dari Imam Sufyan bin Said Ats-Tsauri rahimahumallah yang mengatakan,
            أَعَزُّ الْخَلْقِ خَمْسَةُ أَنْفُسٍ : عَالِمٌ زَاهِدٌ وَفَقِيْهٌ صُوْفِيٌّ وَغَنِيٌّ مُتَوَاضِعٌ وَفَقِيْرٌ شَاكِرٌ وَشَرِيْفٌ سُنِّيٌّ .
            “Makhluk yang paling mulia itu ada lima macam, yaitu: Seorang alim yang zuhud, seorang faqih yang shufi, orang kaya yang tawadhu’, orang faqir yang bersyukur, dan orang terkemuka yang mengikuti Sunnah.”[32]
            Ternyata, Imam Sufyan Ats-Tsauri yang merupakan seorang ulama salaf dan bergelar amirul mukminin fil hadits dan termasuk tabi’ut tabi’in pun tidak alergi pada tashawuf dan shufi. Lihat, secara objektif beliau menyebutkan seorang faqih yang shufi termasuk dalam jajaran lima macam orang yang paling mulia. Suatu hal yang sangat berbeda dengan Al Ustadz Fulan dan kelompoknya yang sangat antipati terhadap segala hal yang berbau tashawuf dan shufi.
            Sufyan Ats-Tsauri juga dikenal sering mengunjungi Rabi’ah Al-Adawiyah. Padahal, Rabi’ah dikenal luas sebagai seorang perempuan shufi ahli ibadah. Sementara sebagian orang yang mengaku salafi juga dikenal sangat membenci shufi dan tashawuf, atau apa pun yang ada bau-bau tashawuf. Ketika menyinggung biografi Rabi’ah Al-Adawiyah, Ibnul Jauzi berkata,
        وَكَانَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ يَقُوْلُ : مُرُوْا بِنَا إِلَى الْمُؤَدِّبَةِ الَّتِي لَا أَجِدُ مَنْ أَسْتَرِيْحُ إِلَيْهِ إِذَا فَارَقْتُهَا . وَقَالَ يَوْماً بَيْنَ يَدَيْهَا : وَاحَزَنَاهُ ، فَقَالَتْ : لَا تَكْذِبْ ، قُلْ : وَاقِلَّةَ حُزْنَاهُ ، لَوْ كُنْتَ مَحْزُوْناً مَا هُنَاكَ الْعَيْشُ .
            “Dulu Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata; ‘Suruhlah kami pergi ke seorang perempuan pendidik (Rabi’ah) dimana aku tidak perlu lagi pergi ke seseorang jika meninggalkannya.’ Dan suatu hari dia (Sufyan) berkata di hadapan Rabi’ah; ‘Duhai menyedihkan sekali…’ Rabi’ah berkata; ‘Jangan bohong. Katakan saja; Duhai sedikit sekali kesedihan ini... Sebab, jika engkau bersedih, tidak ada lagi kehidupan di sana.”[33]

Muwazanah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
            Barangkali sudah menjadi kebiasaan, meskipun mengaku-ngaku mengikuti dakwah salafiyah yang dibawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan hampir selalu merujuk kepadanya dalam segala persoalan, namun ketika ada sikap atau pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda dengan hawa nafsu mereka, maka sikap atau perkataan Ibnu Taimiyah pun dicuekin begitu saja. Demikian sikap dan pendapat Ibnu Taimiyah tentang prinsip muwazanah yang mereka benci,
        وَقَدْ يُمْدَحُ الرَّجُلُ بِتَرْكِ بَعْضِ السَّيِّئَاتِ الْبِدْعِيَّةِ وَالْفُجُوْرِيَّةِ لَكِنْ قَدْ يُسْلَبُ مَعَ ذَلِكَ مَا حُمِدَ بِهِ غَيْرُهُ عَلَى فِعْلِ بَعْضِ الْحَسَنَاتِ السُّنِّيَّةِ الْبَرِّيَّةِ . فَهَذَا طَرِيقُ الْمُوَازَنَةِ وَالْمُعَادَلَةِ وَمَنْ سَلَكَهُ كَانَ قَائِمًا بِالْقِسْطِ الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ لَهُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ .
            “Terkadang, seorang laki-laki dipuji karena dia meninggalkan sebagian perbuatan dosa beraroma bid’ah dan asusila. Tetapi, terkadang ada juga perbuatan lain yang mencemarkan hal tersebut meskipun dia tetap melakukan perbuatan baik yang sesuai Sunnah. Maka, inilah dia metode muwazanah dan keadilan. Dan barangsiapa yang menyusurinya, dia adalah orang yang menegakkan keadilan yang  Allah menurunkan padanya Al-Kitab dan mizan.”[34]
            Ketika membahas masalah siapa yang lebih utama antara orang shufi dan orang faqir, Ibnu Taimiyah berkata,
        وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ أَفْضَلَهُمَا أَتْقَاهُمَا ، فَإِنْ كَانَ الصُّوفِيُّ أَتْقَى لِلَّهِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْهُ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ أَعْمَلَ بِمَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَتْرَكَ لِمَا لَا يُحِبُّهُ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ الْفَقِيرِ ، وَإِنْ كَانَ الْفَقِيرُ أَعْمَلُ بِمَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَأَتْرَكَ لِمَا لَا يُحِبُّهُ كَانَ أَفْضَلَ مِنْهُ فَإِنْ اسْتَوَيَا فِي فِعْلِ الْمَحْبُوبِ وَتَرْكِ غَيْرِ الْمَحْبُوبِ اسْتَوَيَا فِي الدَّرَجَةِ .
            “Dan yang pasti, bahwasanya yang lebih utama (afdhal) di antara keduanya adalah yang paling bertaqwa. Sekiranya orang shufi itu lebih bertaqwa kepada Allah, maka dialah yang lebih baik, dimana dia lebih banyak melakukan amalan yang disukai Allah dan lebih meninggalkan apa yang tidak disukai-Nya, maka dia lebih baik daripada orang faqir. Dan apabila orang faqir tersebut lebih banyak amalannya yang disukai Allah dan lebih meninggalkan apa yang tidak disukai-Nya, maka dia lebih baik daripada orang shufi. Akan tetapi jika keduanya sama-sama setingkat dalam amalan yang disukai Allah dan dalam meninggalkan apa yang tidak disukai-Nya, maka keduanya pun sederajat.”[35]
            Ibnu Taimiyah berkata,
        أَنِّي عَلِمْت يَقِينًا أَنَّ الصُّوفِيَّةَ هُمْ السَّالِكُونَ لِطَرِيقِ اللَّهِ خَاصَّةً وَأَنَّ سِيرَتَهُمْ أَحْسَنُ السِّيَرِ ؛ وَطَرِيقَتَهُمْ أَصْوَبُ الطُّرُقِ ؛ وَأَخْلَاقُهُمْ أَزْكَى الْأَخْلَاقِ ؛ بَلْ لَوْ جُمِعَ عَقْلُ الْعُقَلَاءِ وَحِكْمَةُ الْحُكَمَاءِ وَعِلْمُ الْوَاقِفِينَ عَلَى أَسْرَارِ الشَّرْعِ مِنْ الْعُلَمَاءِ ؛ لِيُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ سِيَرِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ ؛ وَيُبَدِّلُوهُ بِمَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ : لَمْ يَجِدُوا إلَيْهِ سَبِيلًا .
            “Saya tahu pasti, bahwa orang-orang shufi itu adalah para pencari jalan menuju Allah secara khusus. Dan bahwasanya riwayat hidup mereka adalah sebaik-baik riwayat hidup, dan cara yang mereka tempuh adalah cara yang paling benar. Akhlaq mereka pun akhlaq yang sangat mulia. Bahkan, jika dikumpulkan akalnya orang-orang berakal, hikmahnya para ahli hikmah, dan ilmu mereka yang berkutat dalam rahasia syariat dari para ulama; untuk mengubah sedikit saja dari perjalanan hidup mereka yang baik serta akhlaqnya, lalu menggantinya dengan yang lebih baik dari itu; niscaya mereka tidak akan mendapatkan jalan menuju ke sana.”[36]
            Ibnu Taimiyah juga menyebut seorang tokoh shufi terkemuka Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Al-Junaid Al-Kharraz Al-Qawariri rahimahullah (w. 297 H) dengan kalimat Radhiyallahu ‘Anhu, sebuah sebutan yang sangat mulia lagi terhormat. Ibnu Taimiyah berkata,
        ... وَكَذَلِكَ قَالَ سَيِّدُ هَذِهِ الطَّائِفَةِ الْجُنَيْدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ التَّوْحِيْدُ ...
            “… Dan demikian pula yang dikatakan pemimpin kelompok ini, Al-Junaid Radhiyallahu ‘Anhu (Semoga Allah meridhainya); Tauhid itu adalah …”[37]
            Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga mengatakan Al-Junaid termasuk salah seorang imam yang mendapatkan petunjuk. Dalam kitab Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan, Ibnu Taimiyah berkata,
        فَإِنَّ الْجُنَيْدَ - قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ - كَانَ مِنْ أَئِمَّةِ الْهُدَى .
            “Maka sesungguhnya Al-Junaid –semoga Allah menyucikan ruhnya– itu adalah termasuk imam-imam yang mendapatkan petunjuk.”[38]
            Kali ini Ibnu Taimiyah berkata tentang Abu Bakr Abdurrahman bin Kaisan Al-Asham, seorang ulama Mu’tazilah,
        وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ الْأَصَمُّ وَإِنْ كَانَ مُعْتَزِلِيًّا فَإِنَّهُ مِنْ فُضَلَاءِ النَّاسِ وَعُلَمَائِهِمْ وَلَهُ تَفْسِيْرٌ .
            “Dan Abdurrahman Al-Asham, sekalipun dia adalah seorang Mu’tazilah, namun dia termasuk orang yang mulia di kalangan manusia dan ulama mereka. Dan dia juga mempunyai kitab tafsir.”[39]
           
Muwazanah Imam Adz-Dzahabi
            Sebetulnya sangat mudah mencari dan menyebutkan sikap muwazanah Imam Adz-Dzahabi rahimahullah. Sebab, dalam kitab-kitab beliau semacam Mizan Al-I’tidal (Timbangan Keadilan), Siyar A’lam An-Nubala` (Perjalanan Para Orang Terkenal lagi Terkemuka), Tarikh Al-Islam (Sejarah Islam), Tadzkiratu Al-Huffazh (Mengenang Para Hafizh), dan Ma’rifatu Al-Qurra` Al-Kibar (Mengenal Para Ulama Besar Qira`ah); sangat bertaburan praktik muwazanah, bahkan semuanya berisi muwazanah. Sebab, Imam Adz-Dzahabi senantiasa menyebutkan kelebihan dan kekurangan seseorang secara seimbang, objektif, adil, dan proporsional. Bahkan, beliau cenderung tidak mau menggeber (baca: menyebutkan semuanya dan atau menelanjangi) kesalahan atau kekurangan seseorang, atau menjelaskan ‘kesesatan’ seseorang secara detil. Misalnya, ketika mengidentifikasi seorang perawi bernama Aban bin Taghlib, Adz-Dzahabi berkata,
        أَبَانُ بْنُ تَغْلِبَ الْكُوْفِىُّ شِيْعِيٌّ جِلْدٌ ، لَكِنَّهُ صَدُوْقٌ ، فَلَنَا صِدْقُهُ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ .
            “Aban bin Taghlib Al-Kufi adalah seorang Syi’ah tulen, tetapi dia adalah seorang yang jujur. Maka, kita ambil kejujurannya, dan biarlah dia yang menanggung bid’ahnya.”[40]
            Lihatlah, bagaimana Imam Adz-Dzahabi hanya mencukupkan menyebut “Syi’ah tulen” saja tanpa menjelaskan lebih lanjut berbagai sisi gelap kesesatan Syi’ah.[41] Itu pun, secara objektif Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Aban adalah seorang yang jujur. Dan dengan kejujuran Aban ini, Adz-Dzahabi menerima hadits yang diriwayatkannya. Adapun berkaitan dengan bid’ah yang terdapat pada diri Aban, Adz-Dzahabi menyerahkannya kepada Allah dan mengatakan –kurang lebih– bahwa itu adalah urusan Aban sendiri.
            Imam Adz-Dzahabi juga berkata,       
        كَلَامُ الْأقْرَانِ إِذَا تَبَرْهَنَ لَنَا أَنَّهُ بِهَوَى وَعَصَبِيَّةٍ ، لَا يُلْتَفَتُ إِلَيْهِ ، بَلْ يُطْوَىْ وَلَا يُرْوَىْ .
            “Perkataan (buruk) terhadap kawan jika nyata bagi kami bahwa itu karena hawa nafsu dan fanatisme, maka tidak usah dihiraukan. Bahkan cukup dilipat saja tidak perlu diriwayatkan.”[42]
            Imam Adz-Dzahabi berkata tentang seorang penguasa bermadzhab Syi’ah, Shadaqah bin Manshur bin Dubais Al-Asadi An-Nasyiri (w. 501 H),
        وَكَانَ صَدَقَةٌ شِيْعِيًّا ، لَهُ مَحَاسِنٌ وَمَكَارِمٌ وَحُلْمٌ وَجُوْدٌ . مَلَكَ الْعَرَبَ بَعْدَ أَبِيْهِ اثْنَتَيْنِ وَعِشْرِيْنَ سَنَةً .
            “Dan Shadaqah adalah seorang Syi’ah. Dia memiliki kebaikan-kebaikan, kemuliaan-kemuliaan, kesabaran, dan dermawan. Dia menguasai Arab setelah ayahnya (meninggal) selama 22 tahun.”[43]
            Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Imam Abul Fadhl Ath-Thabasi,
        وَالطَّبَسِيُّ ، مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِيْ جَعْفَرٍ الْمُحَدِّثُ ، مُؤَلِّفُ كِتَابِ “ بُسْتَانِ الْعَارِفِيْنَ “ رَوَىْ عَنِ الْحَاكِمِ وَطَائِفَةٍ ، تُوُفِّيَ فِي رَمَضَانَ ، وَكَانَ صُوْفِيًّا عَابِداً ثِقَةً صَاحِبَ حَدِيْثٍ .
            “Ath-Thabasi: Muhammad bin Ahmad bin Abi Ja’far Al-Muhaddits (ahli hadits), penulis kitab Bustan Al-’Arifin. Meriwayatkan hadits dari Al-Hakim dan sekelompok imam yang lain. Wafat pada bulan Ramadhan (482 H). Dia adalah seorang shufi yang ahli ibadah, tsiqah, dan meriwayatkan hadits.”[44]
            Imam Adz-Dzahabi berkata lagi tentang seorang ulama shufi,[45] “Dan Hibatullah bin Abdil Warits Asy-Syirazi Abul Qasim adalah seorang Al-Hafizh dan muhaddits yang banyak melakukan perjalanan jauh. Dia mendengar hadits di Khurasan, Iraq, Persia, Yaman, Mesir, dan Syam. Dia meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Abdil Baqi bin Thauq dan Abu Ja’far bin Al-Maslamah dan yang setingkat dengan mereka berdua. Dia meninggal dalam usia yang sudah sangat tua. Dia adalah seorang shufi, shalih, dan sangat sederhana hidupnya.”[46]

Muwazanah Imam As-Sakhawi
            Imam Abu Bakr Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi rahimahullah (w. 902 H) berkata tentang seorang ahli fiqih bermadzhab Hambali yang juga shufi, “Salman bin Abdil Hamid bin Muhammad bin Mubarak Al-Baghdadi kemudian Ad-Dimasyqi Al-Hambali, tinggal di Qabun.[47] … … Dia adalah seorang ahli ibadah yang baik, juga seorang shufi di Khatuniyah. Dia menguasai banyak permasalahan fiqih dalam madzhab Hambali, dan dia memiliki sejumlah kelebihan. Meninggal pada tahun lima.”[48] [49]
            Imam As-Sakhawi juga berkata tentang seorang ahli ibadah bernama Ali bin Muhammad bin Isa Al-Ala` Ad-Dimasyqi, “… Dia adalah seorang yang baik, sangat sederhana hidupnya, seorang shufi, tawadhu’, banyak ibadahnya, zuhud, baik akhlaqnya, dan menerima apa adanya. Dia meninggal di Namir pada Jumadal Awal atau Jumadal Akhir tahun tiga (803 H), dan dikuburkan di sebelah makam Sayyid Ali Al-Badawi, semoga Allah merahmatinya dan juga kami.”[50]

Muwazanah Al-Hafizh Ibnu Hajar
            Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menukil perkataan Abul ‘Izz Al-Qalanisi tentang seorang perawi bernama Dawud bin Yahya Al-Ifriqi (w. 351 H), “Dia adalah seorang shufi, tsiqah, amanah, shalih, tidak mau meminta-minta, dan tidak mau menerima pemberian orang yang menyimpang dari agama.”[51]
            Tentang perawi bermadzhab Syi’ah, Ibnu Hajar berkomentar singkat, “Salim bin Abdil Wahid Al-Muradi Al-An’umi Abul Ala`, orang Kufi, maqbul (diterima haditsnya). Dia adalah seorang Syi’ah.”[52]
            Menukil secara adil dari dua imam hadits,[53] Ibnu Hajar berkata tentang seorang perawi bernama Nashr bin Ashim Al-Laitsi Al-Bashri, “Abu Dawud berkata; Dia adalah seorang Khawarij. Sedangkan An-Nasa`i berkata; Tsiqah.”[54]
            Ibnu Hajar berkata tentang Ayyub bin Ayidz bin Mudlij Ath-Tha`i Al-Bahtari, seorang perawi dari Kufah, dimana sebagian ulama ada yang mengatakannya berpaham Murji`ah, “Ad-Duri berkata dari Yahya: Dia tsiqah. Abu Hatim berkata: Tsiqah, haditsnya bagus, dan jujur. Al-Bukhari berkata; Dia mempunyai pandangan Murji`ah. An-Nasa`i berkata; Tsiqah. … Ibnul Mubarak berkata; Dia rajin beribadah, tetapi dia Murji`ah. Ibnu Hibban berkata dalam Ats-Tsiqat; Dia Murji`ah, banyak melakukan kesalahan… .”[55]

Muwazanah Syaikh Al-Muradi
            Syaikh Abul Fadhl Muhammad Khalil Al-Muradi rahimahullah (w. 1212 H) berkata tentang Syaikh Hasan Al-Kurdi yang seorang shufi, “Hasan bin Musa Al-Bani,[56] lahir di Kurdi, tinggal di Damaskus. Dia adalah seorang Syaikh Al-’Arif, Al-’Alim, Al-’Allamah, orang yang sangat teliti di hadapan orang-orang ahli hakekat, dan tokoh satu-satunya pada masanya. Dia adalah seorang shufi moderat, khusyu’, pendidik, zuhud, wara’, mengumpulkan antara lahir dan batin, … … Banyak orang khusus dan awam yang datang kepadanya. Dia mengajar dan memberikan faedah. Dia juga memiliki beberapa karamah, dan tidak pernah takut sedikit pun dalam berjuang di jalan Allah. Orang-orang mempunyai banyak persepsi tentang dirinya. Dia wafat di Damaskus pada 14 Dzulhijjah 1148 (H). Sebelumnya dia telah sakit sekitar sepuluh hari. Nanti juga akan kita bahas tentang anaknya –Abdurrahman– pada tempatnya, rahimahumallahu Ta’ala.[57]

Muwazanah Imam Ash-Shafadi
            Imam Shalahuddin Khalil Ash-Shafadi berkata tentang seorang ulama shufi bermadzhab Syafi’i, Syaikh Izzuddin Ahmad bin Ibrahim Asy-Syafi’i :
            “Seorang imam, muqri`,[58] seorang pemberi nasehat, ahli tafsir, khathib: Syaikh Izzuddin Abul Abbas bin Al-Imam Az-Zahid Abu Muhammad Al-Mushthafawi Al-Farutsi Al-Wasithi Asy-Syafi’i Ash-Shufi. Lahir di Wasith tahun 14 (614 H) dan wafat tahun 694 (H). … … Dan banyak yang membaca qira`at padanya. Dia adalah seorang yang faqih bermadzhab Syafi’i, seorang mufti, pengajar, menguasai ilmu qira`at dan berbagai macam tekniknya, seorang khathib, pemberi nasehat, zuhud, ahli ibadah, seorang shufi, mempunyai sejumlah wirid, bagus akhlaqnya, dermawan, suka mengalah, berwibawa, tawadhu’. Dia mempunyai banyak sahabat dan murid.”[59]

Muwazanah Imam Ibnul Qayyim
            Setiap orang yang mengaku salafi dan mengikuti jejak Ibnu Taimiyah, pasti kenal dengan seorang ulama shufi yang bernama Ibnu Atha`illah Al-Iskandari. Begitu pula dengan orang-orang shufi, tentulah mereka sangat mengenal Ibnu Atha`illah Al-Iskandari. Ya, antara Ibnu Taimiyah dan Ibnu Atha`illah Al-Iskandari memang terdapat semacam permusuhan dikarenakan adanya perbedaan yang tajam di antara keduanya dalam beberapa masalah. Dan, perdebatan seru yang pernah terjadi di antara mereka berdua di Masjid Al-Azhar pun banyak direkam oleh sebagian kitab-kitab sejarah.
            Namun demikian, sekalipun Imam Ibnul Qayyim adalah salah seorang murid terkemuka dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, namun beliau tetap saja bisa bersikap objektif terhadap Ibnu Atha`illah Al-Iskandari. Dalam kitabnya yang berjudul “Thariq Al-Hijratain,” Ibnul Qayyim mengutip perkataan Ibnu Atha`illah (juga As-Sariy As-Saqathi dan Al-Junaid yang juga ulama shufi).
            Ibnul Qayyim berkata, “Orang-orang berbeda pendapat, mana yang lebih tinggi derajatnya antara asy-syauq (kerinduan) dan al-mahabbah (kecintaan). Sekelompok orang mengatakan bahwa al-mahabbah itu lebih tinggi daripada asy-syauq. Ini adalah perkataan Ibnu Atha`illah dan selainnya. Mereka berargumentasi bahwasanya asy-syauq itu adalah efek/pengaruh yang muncul dari al-mahabbah. Sehingga yang aslinya adalah al-mahabbah, sedangkan asy-syauq itu adalah cabangnya. Mereka mengatakan bahwa al-mahabbah itu bisa melahirkan banyak pengaruh positif, yang di antaranya adalah asy-syauq. Adapun kelompok yang lain –As-Sariy As-Saqathi dan selainnya– mengatakan bahwa asy-syauq itu lebih tinggi. Al-Junaid berkata; Aku mendengar As-Sariy mengatakan bahwa asy-syauq adalah maqam tertinggi seorang al-’arif (yang telah mencapai makrifat) apabila dalam asy-syauq itu dia tidak lagi disibukkan dengan siapa pun yang pernah dirindukannya.”[60]
            Dalam kitab Raudhatu Al-Muhibbin,[61] Ibnul Qayyim mengutip perkataan Dzun Nun Al-Mishri, seorang ulama shufi,
        لِكُلِّ شَيْءٍ عُقُوْبَةٌ وَعُقُوْبَةُ الْعَارِفِ انْقِطَاعُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ .
            “Segala sesuatu itu ada hukumannya. Dan hukuman seorang ‘arif (orang yang sudah makrifat) adalah terputusnya dia dari menyebut Allah.”[62]
            Juga dalam kitab Thariq Al-Hijratain, “Abadi dalam kefakiran kepada Allah disertai kesalahan lebih aku sukai daripada abadi dalam kesucian hati yang disertai dengan kesombongan.”[63]
            Lagi-lagi Ibnul Qayyim menukil perkataan seorang tokoh Shufi, Ibrahim bin Adham yang mengatakan, “Kami mencari kefakiran namun kami disambut oleh kekayaan, dan orang-orang mencari kekayaan tetapi mereka dihadang oleh kefakiran.”[64]
            Saat membahas tentang makna tawadhu’, Ibnul Qayyim mengutip perkataan seorang tokoh shufi, Abu Yazid Al-Bisthami, “(Tawadhu’) yaitu hendaknya seseorang tidak melihat dirinya lebih tinggi maqamnya dan lebih baik daripada orang lain. Dan hendaknya dia tidak melihat ada orang lain yang lebih buruk dari dirinya.”[65]

Muwazanah Al-Hafizh Ibnu Katsir
            Al-Hafizh Imam Imaduddin Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi (w. 774 H) atau lebih terkenal sebagai Ibnu Katsir, juga terkenal dengan sikap muwazanahnya. Hal ini terlihat sangat jelas dalam kitab tarikhnya Al-Bidayah wa An-Nihayah, bagaimana beliau menyebutkan biografi banyak tokoh sejarah secara seimbang, objektif, dan proporsional. Dan bagi yang pernah membaca kitab ini, niscaya akan mengetahuinya dengan baik.
            Jika Ibnu Katsir memuji seorang ulama atau imam besar atau seorang yang terkenal keshalihannya, tentu ini tidak ada yang aneh. Akan tetapi, –meskipun tidak bisa dibilang aneh– jika yang dipuji Ibnu Katsir adalah orang yang dikenal dengan kelemahannya atau kekurangannya atau bahkan dosa-dosanya, maka tentu ini tak lain adalah dikarenakan sikap sang Imam yang memang adil dalam menilai seseorang.
            Tentang Ibnu Abi Du`ad (w. 240 H), seorang tokoh Mu’tazilah yang berperan sangat besar dalam fitnah kemakhlukan Al-Qur`an, dimana banyak ulama menjadi korbannya –di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hambal–, Ibnu Katsir berkata, “Dia terkenal dengan kebaikannya, kedermawanannya, akhlaqnya yang baik, dan sopan santunnya yang bagus. Hanya saja dia menyatakan dirinya bermadzhab Jahmiyah dan mempengaruhi penguasa untuk menguji orang-orang tentang kemakhlukan Al-Qur`an, dan bahwasanya Allah tidak bisa dilihat nanti di akhirat.”[66]
            Masih tentang Ibnu Abi Du`ad, Ibnu Katsir melanjutkan pada beberapa halaman berikutnya, “Dia adalah seorang laki-laki yang ahli sastra, fasih bicaranya, terhormat, dermawan, berperangai terpuji, dan senang memberi.”[67]
            Sikap muwazanah Imam Ibnu Katsir juga terlihat ketika beliau membahas biografi Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, seorang tokoh kontroversial yang terkenal dengan hulul dan wahdatul wujudnya. Dan dikarenakan penyimpangannya ini pula dia dijatuhi hukuman mati oleh penguasa dan dikafirkan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Ibnu Katsir berkata, “Pada tahun ini (309 H) terjadi peristiwa dibunuhnya Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj. Dan, kami akan menyebutkan sedikit biografi dan perjalanan hidupnya, serta cara pelaksanaan hukuman mati padanya secara ringkas, diiringi penjelasan maksud dari dijatuhkannya hukuman mati ini secara objektif dan adil, tanpa ada tendensi apa pun, tanpa emosi, dan tidak berlebihan. Inilah biografi Al-Hallaj, dan kami berlindung kepada Allah dari mengatakan sesuatu tentang Al-Hallaj apa yang tidak pernah dia katakan, atau berlebih-lebihan dalam menyampaikan perkataan-perkataan serta perbuatan-perbuatannya. Kami katakan: Dia adalah Al-Husain bin Manshur bin Muhma Al-Hallaj Abu Mughits. Juga dikatakan Abu Abdillah. Kakeknya adalah seorang Majusi, namanya Muhma, orang Persia. Dia dari suatu negeri bernama Baidha`, tumbuh besar di Wasith, tetapi ada yang mengatakan di Tustar. Dia masuk ke Baghdad dan sering pergi ke Makkah. Lalu dia pun tinggal di Makkah, di tengah-tengah Masjidil Haram, baik saat cuaca dingin maupun panas. Dia tetap melakukan hal ini selama beberapa tahun. Dia bertahan dalam kondisi ini dan berjuang melawan dirinya sendiri. Dia tidak duduk kecuali langsung di bawah langit di tengah-tengah Masjidil Haram. Dia juga tidak makan selain hanya beberapa butir korma dan minum sedikit air ketika berbuka puasa selama satu tahun penuh….”[68] Dst.
            Kali ini adalah sikap muwazanah Ibnu Katsir terhadap Abul Hasan Ali, seorang ulama Syi’ah, dimana beliau mengakhiri komentar singkatnya dengan mendoakannya :
            “Abul Hasan Ali bin Yahya bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Ali bin Muhammad Al-Bithriq bin Nashr bin Hamdun bin Tsabit Al-Asadi Al-Huliy, kemudian Al-Wasithi, kemudian Al-Baghdadi. Dia adalah seorang penulis dan penyair bermadzhab Syi’ah. Dia juga ahli fiqih Syi’ah. Dia tinggal di Damaskus selama beberapa waktu. Dia banyak membuat syair pujian kepada para pejabat dan raja, di antara mereka adalah Al-Kamil Raja Mesir dan selain dia. Kemudian dia kembali ke Baghdad, lalu dia pun sibuk dengan orang-orang Syi’ah dalam madzhabnya. Dia adalah seorang yang terhormat, cerdas, bagus bicaranya, dan pandai bersajak. Akan tetapi, dia terhalang dan tertutupi dari kebenaran. Sepotong syairnya yang bagus yang menunjukkan kedalaman ilmu dan kecerdasannya disebutkan oleh Ibnu As-Sa’i (dalam bukunya). Rahimahullah wa ‘afaa ‘anhu (Semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya).”[69]

Muwazanah Imam Ibnul Jauzi
            Imam Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Ibnul Jauzi rahimahullah (w. 597 H) berkata tentang Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang tokoh perempuan shufi, “Rabi’ah adalah seorang muhaqqiq yang cerdas. Dan di antara perkataannya yang menunjukkan kekuatan pemahamannya adalah: Aku mohon ampun kepada Allah dari sedikitnya kejujuranku dalam perkataanku, astaghfirullah.”[70]
            Tentang sikap muwazanah Ibnul Jauzi ini, terutama sikap positifnya terhadap shufi, sangat bertaburan di dalam kitab-kitab beliau, seperti; Talbis Iblis, Dzam Al-Hawa, Al-Muntazham, dan Shifatu Ash-Shafwah, dimana Ibnul Jauzi –sebagaimana Ibnul Qayyim– banyak mengutip perkataan para tokoh shufi. Bahkan, dalam dua kitab yang kami sebutkan terakhir, Anda akan banyak menjumpai tokoh-tokoh dan para ulama shufi yang biografinya ditampilkan secara positif disertai pujian oleh Ibnul Jauzi. Bisa dibilang, bahwa secara keseluruhan isi kitab Al-Muntazham dan Shifatu Ash-Shafwah adalah bukti sikap muwazanah Imam Ibnul Jauzi.

Muwazanah Imam Al-Yafi’i
            Imam Abu Muhammad Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i rahimahullah ketika menyinggung orang-orang penting yang meninggal pada tahun 512 H, beliau berkata, “Pada tahun ini afat Abul Qasim Al-Anshari Al-Allamah Sulaiman bin Nashir An-Naisaburi Asy-Syafi’i, seorang ahli ilmu kalam. Dia adalah murid Imam Al-Haramain dan mempunyai banyak karya tulis. Dia adalah seorang shufi yang zuhud, termasuk di antara para sahabat Ustadz Abul Qasim Al-Qusyairi. Dia meriwayatkan hadits dari Abul Husain Abdul Ghafir Al-Farisi dan sejumlah imam yang lain.”[71]
*     *     *
            Kami kira cukup sudah bukti-bukti sikap muwazanah para ulama besar Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Sebab, jika disebutkan semuanya, tentu saja akan menghabiskan berjilid-jilid buku yang tebal. Ini tidak berlebihan, karena hampir semua kitab tentang hal ini –atau minimalnya yang kami jadikan referensi– saja sudah tebal-tebal dan berjilid-jilid. Wallahul muwaffiq.

Muwazanah Syaikh Al-Utsaimin
            Dalam kitab Liqa` Al-Bab Al-Maftuh, bab Taqwim Al-Asykhash fi Mizan Al-Islam (Menilai Orang dalam Timbangan Islam), disebutkan ada seorang thalibul ilmi yang bertanya kepada Fadhilatus Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,
            Penanya : Wahai Syaikh kami yang mulia, kami ingin menyampaikan kepada Anda pertanyaan ini, yaitu; Bahwasanya ada di antara ahlul ilmi yang diakui kebaikan dan perjuangannya di dalam dakwah pada masa ini, yakni  Syaikh kami Abdurrahman bin Abdil Khaliq hafizhahullah Ta’ala; kami sangat mengharapkan dari Anda yang mulia tentang apa yang Anda ketahui tentang Syaikh (Abdurrahman bin Abdil Khaliq) ini? Dan menurut kami, ini adalah amanah yang kami pikul untuk Syaikh ini. Dan semoga Allah membalas kebaikan kepada Anda.
            Syaikh Al-Utsaimin : Membicarakan orang lain dengan langsung menyebut namanya adalah bukan urusan kita pada pertemuan ini. Namun kami katakan, pertama; Setiap manusia itu pasti mempunyai jejak kebaikan bagi umat Islam ini, dari sejak awal umat ini hingga yang paling akhir. Tidak diragukan lagi, bahwasanya seseorang itu layak dihargai dengan segala kebaikan yang telah dilakukannya.
            Kedua; Setiap orang itu betapa pun tinggi ilmu dan ketaqwaannya, sesungguhnya dia tidak bisa terlepas dari kesalahan. Baik itu dikarenakan ketidaktahuan, ketidaksengajaan, atau selain itu. Akan tetapi, orang yang objektif dan proporsional itu sebagaimana kata Ibnu Rajab (Al-Hambali) rahimahullah dalam pengantar kitabnya “Al-Qawa’id,” bahwasanya orang yang objektif dan proporsional itu adalah orang yang memaafkan kesalahan kecil seseorang di tengah-tengah kebenarannya yang banyak. Dan, tidak seorang pun yang senang mencari-cari kesalahan orang lain sementara kebaikannya diabaikan kecuali dia itu sama saja dengan perempuan. Sebab, perempuan itu jika engkau berbuat baik padanya sepanjang masa, kemudian dia melihatmu melakukan sedikit kesalahan, maka dia akan mengatakan; Aku tidak pernah melihat ada kebaikan pada dirimu. Dan tidak ada seorang laki-laki pun yang mau disamakan dengan perempuan seperti ini; hanya melihat satu kesalahan dan melupakan kebaikan yang sangat banyak.
            Inilah prinsip kami, bahwasanya kami tidak membicarakan seseorang langsung menyebut namanya, tidak di majlis kami pada saat pengajian, dan tidak pula dalam pertemuan-pertemuan yang lain. Dan tidak pula ketika ada pertanyaan semacam ini yang ditujukan kepada kami. Saya katakan; prinsip ini senantiasa kami pegang teguh. Dan kami memohon kepada Allah subhanahu wa Ta’ala agar meneguhkan kami di atas prinsip ini. Sebab, membiacarakan orang lain langsung menyebut orangnya itu akan memicu perpecahan dan fanatisme. Yang wajib adalah, hendaknya kita menggantungkan perkara-perkara semacam ini cukup dengan menyebutkan ciri-ciri, bukan langsung menyebut orangnya. Cukup kita katakan; barangsiapa melakukan begini maka akibatnya begini, entah itu baik ataupun buruk.
            Akan tetapi, apabila kita hendak menilai seseorang, maka kita wajib menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukannya. Karena inilah timbangan keadilan. Dan ketika kita hendak mengingatkan seseorang dari satu kesalahan, maka cukup kita sebutkan kesalahannya saja. Sebab, yang seperti ini adalah tahdzir. Dan kurang bijak jika dalam mentahdzir kita sebutkan kebaikan-kebaikannya. Karena jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikannya, maka orang yang mendengar akan bingung. Jadi, setiap tempat itu ada perkataan yang tepat.
            Jadi, barangsiapa yang hendak berbicara tentang seseorang untuk menilai orang tersebut, maka dia wajib menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukannya. Ini jika memang betul-betul diperlukan. Jika tidak, maka menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan kaum muslimin adalah baik. Dan barangsiapa yang hendak mentahdzir, maka dia cukup menyebutkan kesalahannya saja. Dan sekiranya orang tersebut bisa untuk tidak menyebutkannya, maka ini juga baik. Sebab, maksud dari ini semuanya adalah memberikan petunjuk kepada sesama manusia.[72]

Keplin-planan Al Ustadz Fulan dalam Muwazanah
            Telah kami katakan sebelumnya, bahwa muwazanah adalah sebuah kaedah yang bersifat fitrah, dimana seorang manusia akan menggunakannya atau membutuhkannya atau tidak bisa meninggalkannya seratus persen, sekalipun dia sangat membencinya atau mati-matian memusuhinya. Dan, begitulah yang terjadi pada Al Ustadz Abu Abdillah Fulan bin Muhammad - - - hafizhahullah. Meskipun beliau sangat membenci dan alergi pada manhaj muwazanah ini, namun toh entah sadar atau tidak (semoga sadar) beliau menggunakannya juga. Dan mau tidak mau, akhirnya terjadilah keplin-planan itu. Keplin-planan seorang ustadz salafi dalam muwazanah.
            Al Ustadz Fulan berkata tentang beberapa tokoh yang telah beliau sesat-sesatkan dan beliau jadikan ikon bolehnya menyesat-nyesatkan orang lain,
“Ma’bad Al-Juhani (w. 80 H) adalah seorang yang dikenal jujur dalam periwayatan hadits, sangat bersemangat terhadap ilmu dan ibadah serta beberapa nilai kebaikan yang lainnya. Namun karena dia adalah pencetus dan pembesar paham Qadariyyah, maka para ‘ulama Ahlus Sunnah mentahdzir (memberi peringatan keras terhadap) umat dari bahaya paham Ma’bad Al-Juhani…”[73]
“Apakah ada yang mengira bahwa ‘Abbad bin Katsir adalah seorang yang kafir? Ataukah ada yang mengira bahwa dia adalah seorang penjahat atau preman? Ternyata tidak demikian. ‘Abbad bin Katsir (w. setelah 140 H) adalah seorang yang shalih dan ahli ibadah serta dikenal dengan budi pekerti yang baik. Namun karena dia sering meriwayatkan hadits-hadits dusta, maka para ‘ulama mencercanya…”[74]

            Setelah menjarh Nauf Al-Bakali, Al Ustadz Fulan berkata,
“… padahal Nauf Al-Bakali adalah salah seorang ‘ulama dan salah seorang imam di Damaskus.”[75]
“Padahal Al-Karabisi ini adalah seorang yang faqih dan memiliki nilai-nilai kebaikan. Bahkan dia memiliki karya tulis yang sangat banyak dalam berbagai disiplin ilmu, baik dalam bidang fiqh, ushul, dll yang menunjukkan kedalaman dan kematangan ilmunya.”[76]
“Demikian juga halnya dengan ‘Amr bin ‘Ubaid (w. 143 H). Seorang  yang dikenal sebagai ahli ibadah dan menjauhi perkara-perkara yang bersifat duniawi.”[77]

            Lalu, Al Ustadz Fulan menukil sikap muwazanah Imam Abu Umar Hafsh bin Ghiyats bin Thalq An-Nakha’i rahimahullah (w. 194 H),
“Tidaklah digambarkan sifat-sifat kebaikan seorang pun kecuali aku mendapati orang tersebut tingkatannya ternyata di bawah sifat-sifat yang digambarkan kepadaku. Kecuali ‘Amr bin ‘Ubaid, sesungguhnya aku mendapati orang ini melebihi sifat-sifat yang digambarkan kepadaku tentangnya. Aku tidak pernah menjumpai seorang pun yang memiliki sifat kezuhudan melebihi dia.”[78]

            Demikianlah keplin-planan dan kebimbangan serta sikap agak ketidakjelasan dari Al Ustadz Fulan - - - dalam masalah muwazanah. Di satu sisi, beliau setengah mati menentangnya. Namun di sisi lain dan pada saat yang sama, beliau menggunakannya juga –meski mungkin dengan setengah hati –. Jadi serba setengah-setengah. Padahal, manhaj setengah-setengah yang tanggung semacam ini justru tidak ada contohnya dari para ulama salafush shalih.

*    *    *


[1] Ada yang mengatakan 213 H.
[2] Mizan Al-I’tidal/Adz-Dzahabi/Juz 1/Hlm 465/Poin nomor 1748. Pada halaman yang sama, Adz-Dzahabi menyebutkan sejumlah imam hadits yang mendha’ifkan Hajjaj bin Nushair ini. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[3] Kami tidak/belum menemukan tahun wafat Aban dalam sejumlah kitab biografi dan tarikh.
[4] Tahdzib Al-Kamal/Imam Al-Mizzi/Juz 2/Hlm 20/Poin nomor 142. Al-Mizzi juga menyebutkan sejumlah imam hadits yang menjarh Aban bin Abi Ayyasy ini. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[5] Syaikh Ihsan Abbas (pentahqiq kitab ini) menyebutkan beberapa pendapat ulama yang berbeda tentang tahun wafatnya Ibnu Sa’ad.
[6] Ath-Thabaqat Al-Kubra/Ibnu Sa’ad/Juz 6/Hlm 349/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[7] Ada yang mengatakan 136 H.
[8] Al-Majruhin/Ibnu Hibban/Juz 1/Hlm 287/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[9] Imam Al-Hafizh Abu Hatim Ar-Razi (w. 277 H).
[10] Ibnu Adi mengatakan, bahwa setelah Yusuf bin Asbath meniadakan buku-bukunya, dia hanya mengandalkan pada hafalannya. Tetapi dia sering salah dan tertukar dalam meriwayatkan hadits tanpa sengaja. Namun demikian, dia adalah orang yang jujur. (Lihat; Al-Kamil fi Dhu’afa` Ar-Rijal/Ibnu Adi/Juz 7/Hlm 157/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[11] Al-Jarh wa At-Ta’dil/Ibnu Abi Hatim/Juz 9/Hlm 218/Poin nomor 910/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[12] Ini adalah salah satu perbedaan antara al-jarh wa at-ta’dil dengan al-jarh wa al-jarh, dimana para ulama dulu tidak merasa perlu menyebutkan segala kekurangan seorang perawi secara detil. Adapun dalam al-jarh wa al-jarh, masalah jenggot dan celana saja bisa dibahas panjang lebar.
[13] Adh-Dhu’afa` wa Al-Matrukin/Imam An-Nasa`i/Poin nomor 1.
[14] Ibid, poin nomor 3.
[15] Ibid, poin nomor 40.
[16] Ibid, poin nomor 115.
[17] Ibid, poin nomor 197.
[18] At-Tarikh Al-Kabir/Imam Al-Bukhari/Poin nomor 1870.
[19] Adh-Dhu’afa` Al-Kabir/Al-Uqaili/Poin 1036.
[20] Syu’ab Al-Iman/Imam Al-Baihaqi/Juz 21/358/Poin 10037.
[21] Tahdzib At-Tahdzib/Ibnu Hajar/Juz 9/Hlm 151/Poin 253.
[22] Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah/Jilid 1/hadits nomor 25.
[23] Ibid, hadits nomor 254.
[24] Ibid, hadits nomor 461.
[25] Termasuk juga yang tidak kami nukil.
[27] Ibid. Lihat “Catatan 14,” subjudul “Al-Jarh wa At-Ta’dil Khusus Untuk Para Perawi Hadits.”
[28] Ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil/Syaikh Abdul Hayy Al-Laknawi/Tahqiq: Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah/Hlm 50. Buku ini juga bisa didownload di http://www.waqfeya.com/open.php?cat=12&book=623 atau http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=1415 dan beberapa situs lain.
[29] Siyar A’lam An-Nubala`/Imam Adz-Dzahabi/Juz 19/Hlm 342-343/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[30] Majmu’ Al-Fatawa/Ibnu Taimiyah/Juz 20/Hlm 165/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[31] Baik orang tersebut termasuk ulama atau bukan, baik seorang perawi ataupun tidak.
[32] Madarij As-Salikin/Ibnul Qayyim/Juz 2/Hlm 330/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[33] Al-Muntazham/Ibnul Jauzi/Juz 2Hlm 448/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[34] Majmu’ Al-Fatawa/Ibnu Taimiyah/Juz 10/Hlm 366/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[35] Ibid, (11/22).
[36] Ibid, (2/56).
[37] Al-Istiqamah/Ibnu Taimiyah/Juz 1/Hlm 91-92/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Perkataan Al-Junaid, bahwa tauhid itu adalah “Ifradul huduutsi ‘anil qidam” (Membedakan antara yang baru dari yang lama) banyak dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitab-kitabnya, seperti: Al-Istiqamah, Al-Furqan, Majmu’ Al-Fatawa, Al’Aqidah Al-Ashfahaniyah, Dar`u Ta’arudh Al-’Aql wa An-Naql, dan Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah. Dalam Majmu’ Fatawa sendiri, Ibnu Taimiyah menyebutkan perkataan Al-Junaid tentang tauhid ini sekitar sepuluh kali.
[38] Al-Furqan, hlm 87.Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[39] Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah/Ibnu Taimiyah/Tahqiq: Syaikh Muhammad Aiman Asy-Syabrawi/Jilid 1/Juz 2/Hlm 253/Penerbit Dar Al-Hadits, Kairo/2004 M – 1425 H.
[40] Mizan Al-I’tidal/Imam Adz-Dzahabi/Juz 1/Hlm 5/Poin nomor 2/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[41] Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan sekelompok orang yang mengaku paling salafi yang untuk menelanjangi kesalahan seorang saja bisa menghabiskan satu buah buku, bahkan berbuku-buku. Khusus hanya untuk menjatuhkan satu orang saja! Bahkan, terkadang satu orang pun bisa menulis sejumlah buku yang masing-masing bukunya berisi khusus JARH terhadap satu orang!
[42] Siyar A’lam An-Nubala`/Imam Adz-Dzahabi/Juz 10/Hlm 92/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[43] Al-’Ibar fi Khabar min Ghabar/Imam Adz-Dzahabi/Hlm 235/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[44] Ibid, hlm 223.
[45] Berikutnya tidak perlu kami tuliskan lagi khat Arabnya (kecuali jika dirasa perlu). Karena hanya akan menambah ketebalan halaman saja. Sebelumnya kami menyebutkan tulisan asli Arabnya sekadar meniru cara Al Ustadz Fulan dalam menyebutkan perkataan-perkataan para imam/ulama tentang seorang perawi. (Kami sendiri selama ini hanya menuliskan khat Arab untuk ayat, hadits, dan sebagian sya’ir. Itu pun terkadang kami mencukupkan dengan menuliskan terjemahannya saja). Dan bagi yang ingin mengetahui kalimat aslinya dalam Bahasa Arab, silakan merujuk ke kitab aslinya yang kami sebutkan pada catatan kaki.
[46] Op.cit, hlm 225.
[47] Qabun; sebuah wilayah di timur Damaskus.
[48] Tahun lima, maksudnya yaitu tahun 805 H.
[49] Adh-Dhaw’u Al-Lami’/Imam As-Sakhawi/Juz 2/Hlm 146/Poin nomor 976/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[50] Ibid, 3/136.
[51] Lisan Al-Mizan/Ibnu Hajar/Juz 1/Hlm 381/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[52] Ibid, hlm 335.
[53] Sebetulnya lebih dari dua, tetapi kami ambil dua saja yang kebetulan letaknya berurutan.
[54] Tahdzib At-Tahdzib/Ibnu Hajar/Juz 10/Hlm 381.
[55] Ibid, (1/355).
[56] Al-Bani, bukan Al-Albani. Sebagian orang terkadang keliru menuliskan nama syaikh Al-Albani dengan Al-Bani. Padahal, Al-Albani adalah nisbat kepada sebuah negeri, yakni Albania. Sedangkan Al-Bani, adalah sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai ahli bangunan atau tukang bangunan.
[57] Silku Ad-Durar fi A’yan Al-Qarni Ats-Tsani ‘Asyar/Syaikh Al-Muradi/Juz 1/Hlm 200/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[58] Sebutan untuk seorang ulama yang menguasai ilmu qira`at.
[59] Al-Wafi bi Al-Wafayat/Imam Ash-Shafadi/Juz 2/Hlm 294/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[60] Thariq Al-Hijratain/Ibnul Qayyim/Hlm 482/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Perkataan senada juga disebutkan Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin (3/53).
[61] Sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh sebuah penerbit salafi di Jakarta. Perkataan Dzun Nun ini juga disebutkan Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin.
[62] Raudhatu Al-Muhibbin/Ibnul Qayyim/Hlm 407/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[63] Thariq Al-Hijratain/Ibnul Qayyim/Hlm 90. Dalam buku ini, Ibnul Qayyim menyebutkan perkataan Dzun Nun Al-Mishri di atas sebanyak dua kali.
[64] Ibid, hlm 85.
[65] Madarij As-Salikin/Ibnul Qayyim/Juz 2/Hlm 329.
[66] Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 10/Hlm 352/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[67] Ibid, hlm 355. Meskipun Ibnu Katsir memuji Ibnu Abi Du`ad, tetap saja perbuatan tercela dan kekurangannya juga beliau sebutkan. Tentu saja semuanya secara seimbang, proporsional, dan objektif.
[68] Ibid, 11/152.
[69] Ibid, 13/414-415. Ibnu Katsir menyampaikan sekilas biografi Abul Hasan Ali Asy-Syi’i ini ketika menyebutkan orang-orang yang meninggal pada tahun 641 H.
[70] Al-Muntazham/Ibnul Jauzi/Juz 2Hlm 448/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[71] Mir`atu Al-Jinan wa ‘Ibratu Al-Yaqzhan/Imam Al-Yafi’i/Juz 1/Hlm 492/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[72] Liqa` Al-Bab Al-Maftuh/Syaikh Al-Utsaimin/Juz 67/Hlm 8/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah. Fatwa senada dari Syaikh Al-Utsaimin dalam masalah muwazanah juga dapat dibaca dalam kitab ini bab Qa’idah fi Naqdi Ar-Rijal wa Ar-Radd ‘Ala Akhtha`ihim, juz 127, hlm 23.
[73] MDMTK, hlm 132-133. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil. Hal senada juga dikatakan Al Ustadz Fulan pada hlm 110.
[74] Ibid, hlm 118-119.
[75] Ibid, hlm 109.
[76] Ibid, hlm 121. Hal senada juga terdapat pada hlm 133.
[77] Ibid. Hal senada juga terdapat pada hlm 122.
[78] Ibid. Perkataan Hafsh bin Ghiyats ini terdapat dalam: Tahdzib At-Tahdzib/Ibnu Hajar/Juz 8/Hlm 62 dan Tahdzib Al-Kamal/Jamaluddin Al-Mizzi/Juz 22/Hlm 125.

4 komentar:

  1. saya hanya ingin blogwalking>>..
    blog anda juga bagus>..

    dan jika berniat liat blog saya kunjungin balik jja!!!!!

    BalasHapus
  2. trm ksh udah mampir pak..
    blog bpk jg bagus kok..

    BalasHapus
  3. menambah wawasan baru.. blog yg bagus. semoga banyak yg tcerah ya ustd

    BalasHapus
  4. Semoga antum selalu diberkahi (barokallohu fiikum),,,, selalu istiqomah di jalan dakwah,,,, konsisten dengan manhaj salafush shaleh,,, dan tegakkan hujjah dengan mizan al-wasath,,, berjihadlah selalu dgn pena antum,,,, kami selalu butuh pencerahan,,,, dengan ilmu2 ynag antum miliki,,,, syukran,,, jazakumullahi wa ahsanal jaza' (Abu Zacky,,,, pengagum antum,,, dari pelosok Boyolali, Jawa Tengah),,,, assalamu'alaikum,,,,

    BalasHapus

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...