Oleh: Abduh Zulfidar Akaha
Perseteruan antara kaum Asya’irah dan Salafiyah[1]
adalah cerita lama. Bukan hanya sekarang. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, ketika
menceritakan wafatnya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774
H) rahimahumallah berkata, “Dan Ibnul Jauzi menyebutkan wafatnya
Al-Asy’ari (321 H)[2] dalam
Al-Muntazham, di mana dia membicarakan keburukannya dan memojokkannya,
sebagaimana yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang madzhab Hambali, di
mana mereka suka menjelek-jelekkan kelompok Asy’ariyah sejak dulu hingga kini.”[3]
Menurut Ibnu Katsir, orang-orang
madzhab Hambali punya kebiasaan dari dulu suka menjelek-jelekkan kelompok
Asy’ariyah. Artinya, perseteruan dua kubu besar dalam masalah aqidah ini memang
sudah lama terjadi dan tampaknya sulit untuk didamaikan (mudah-mudahan tidak
demikian). Masing-masing meyakini seyakin-yakinnya bahwa dalam masalah
nama-nama dan sifat-sifat Allah, pihaknyalah yang benar, sementara pihak
“lawan” adalah salah. Jarang di antara kedua pihak yang bisa memahami dan
menerima pemahaman pihak lain, terutama kaum awamnya.
Apa yang dikatakan Ibnu Katsir di atas, bisa menjadi gambaran bagi kita tentang bagaimana sejarah panjang perseteruan itu. Namun, kita akan lebih bisa “memahami” lagi jika melihat langsung seperti apa sesungguhnya yang ditulis oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam Al-Muntazham tentang Abul Hasan Al-Asy’ari. Bahwa, benarkah Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berbicara negatif tentang Al-Asy’ari sebagaimana dikatakan Ibnu katsir? Demikian selengkapnya,
Apa yang dikatakan Ibnu Katsir di atas, bisa menjadi gambaran bagi kita tentang bagaimana sejarah panjang perseteruan itu. Namun, kita akan lebih bisa “memahami” lagi jika melihat langsung seperti apa sesungguhnya yang ditulis oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam Al-Muntazham tentang Abul Hasan Al-Asy’ari. Bahwa, benarkah Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berbicara negatif tentang Al-Asy’ari sebagaimana dikatakan Ibnu katsir? Demikian selengkapnya,
“Ali bin Ismail bin Abi Bisyr, namanya Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Abul Hasan Al-Asy’ari al-mutakallim (ahli kalam). Lahir tahun 260. Sibuk dengan ilmu kalam. Dulunya bermadzhab Muktazilah dalam waktu yang lama. Kemudian, dia menyelisihi orang banyak. Dia menampakkan pernyataan yang menggoncangkan aqidah manusia dan menyebabkan fitnah berkepanjangan.
Waktu itu, orang-orang tidak
berselisih bahwa Al-Qur`an adalah Kalamullah, dan bahwa yang menurunkannya
adalah Jibril ‘Alaihissalam kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam. Para imam semuanya mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah qadim
(lama, sudah ada sejak dulu). Namun Muktazilah mengatakan bahwa ia adalah
makhluk. Dan, Al-Asy’ari menyepakati dalam masalah ini bahwa Al-Qur`an adalah
makhluk. Dia mengatakan; ‘Al-Qur`an bukan Kalamullah, karena Kalamullah itu
sifat yang berdiri sendiri, tidak diturunkan dan juga tidak termasuk yang
didengarkan.
Sejak megeluarkan pernyataan ini, dia selalu ketakutan dikarenakan perselisihannya dengan Ahlus Sunnah. Sampai-sampai dia pernah meminta perlindungan di rumah Abul Hasan At-Tamimi, karena takut dibunuh. Kemudian, sejumlah pejabat kerajaan ada yang mengikuti dan fanatik kepada madzhabnya. Lalu, pengikutnya pun semakin banyak, sehingga orang-orang madzhab Asy-Syafi’i meninggalkan keyakinan Asy-Syafi’i Radhiyallahu 'Anhu dan mendekat kepada perkataan Al-Asy’ari.”[4]
Selesai di sini perkataan Ibnul Jauzi. Setelahnya, dia menukil perkataan sejumlah ulama tentang Abul Hasan Al-Asy’ari. Di antaranya, nukilan dari Al-Ahwazi, “Dan saya mendengar Abu Abdillah Al-Hamrani pada tahun 375 mengatakan; ‘Kami tidak menyadari waktu itu hari Jumat tahu-tahu Al-Asy’ari telah naik ke atas mimbar masjid Jami’ di Basrah setelah shalat Jum’at. Dia membawa seutas tali cemeti yang dia ikat kencang tengahnya, kemudian tali itu dia putuskan. Lalu dia berkata: Saksikanlah oleh kalian semua, sesungguhnya saya ini bertaubat dari apa-apa yang pernah saya katakan dalam madzhab Muktazilah’.”[5]
Sejak megeluarkan pernyataan ini, dia selalu ketakutan dikarenakan perselisihannya dengan Ahlus Sunnah. Sampai-sampai dia pernah meminta perlindungan di rumah Abul Hasan At-Tamimi, karena takut dibunuh. Kemudian, sejumlah pejabat kerajaan ada yang mengikuti dan fanatik kepada madzhabnya. Lalu, pengikutnya pun semakin banyak, sehingga orang-orang madzhab Asy-Syafi’i meninggalkan keyakinan Asy-Syafi’i Radhiyallahu 'Anhu dan mendekat kepada perkataan Al-Asy’ari.”[4]
Selesai di sini perkataan Ibnul Jauzi. Setelahnya, dia menukil perkataan sejumlah ulama tentang Abul Hasan Al-Asy’ari. Di antaranya, nukilan dari Al-Ahwazi, “Dan saya mendengar Abu Abdillah Al-Hamrani pada tahun 375 mengatakan; ‘Kami tidak menyadari waktu itu hari Jumat tahu-tahu Al-Asy’ari telah naik ke atas mimbar masjid Jami’ di Basrah setelah shalat Jum’at. Dia membawa seutas tali cemeti yang dia ikat kencang tengahnya, kemudian tali itu dia putuskan. Lalu dia berkata: Saksikanlah oleh kalian semua, sesungguhnya saya ini bertaubat dari apa-apa yang pernah saya katakan dalam madzhab Muktazilah’.”[5]
Menurut kami, apa yang dikatakan Ibnul Jauzi tidak ada yang aneh dan berlebihan. Menceritakan kondisi Al-Asy’ari sebelum bertaubat dari kesesatannya adalah hal yang wajar. Itu bagian dari sejarah hidup Al-Asy’ari. Hal ini kurang lebih sama dengan menceritakan kisah sebagian sahabat yang mengalami masa jahiliyah sebelum masuk Islam. Jadi, bisa dibilang apa yang disebutkan Ibnul Jauzi tentang Al-Asy’ari tidak memojokkan dan tidak menjelek-jelekkan.
Dari sini, kita bisa melihat, betapa perseteruan itu memang ada dan sudah lama terjadi. Bahkan ulama sekaliber Ibnu katsir pun menganggap narasi yang wajar dari Ibnul Jauzi tentang Al-Asy’ari sebagai perkataan yang mendiskreditkan.
Entah siapa yang memulai dan kenapa sampai terjadi, sulit ditelisik. Mungkin seperti antara ayam dan telur atau telur dan ayam. Tergantung siapa yang menceritakan. Ambillah contoh, cerita perseteruan termasyhur antara Asy-Syarif Abu Ja’far Al-Hambali dan Abu Nashr Al-Qusyairi[6] rahimahumallah pada tahun 469 H dan setelahnya. Dalam versi Imam Tajuddin As-Subki Asy-Syafi’i (w. 771 H), secara tersirat, yang salah adalah pihak Hambali. Demikian kata As-Subki tentang Ibnul Qusyairi,
“Setelah menguasai fiqih, dia bersiap pergi haji. Ketika sampai Baghdad, dia membuat majlis. Penduduk Baghdad pun melihat keutamaan dan kesempurnaannya. Mereka mengakui kelebihannya dan menerimanya dengan baik. Bahkan tidak ada majlis seorang pun sebelumnya yang lebih ramai daripada majlisnya. Di majlisnya, turut hadir orang-orang khusus dan para imam seperti Abu Ishaq Asy-Syirazi, di mana dia adalah pakar fiqih paling terkenal di Irak waktu itu. Mereka pun menetapkan bahwa mereka tidak pernah melihat seorang pun yang sepertinya dalam keluasan ilmu. Lalu, Ibnul Qusyairi pun pergi haji.
Saat kembali lagi ke Baghdad, dia mendapatkan sambutan yang luar biasa, melebihi apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan orang-orang sampai ta’ashub (fanatik) berlebihan kepadanya, di mana itu justru memantik terjadinya fitnah… Fitnah yang dimaksud adalah FITNAH HANABILAH (fitnah para pengikut madzhab Hambali). Hal ini dikarenakan Ustadz Abu Nashr Al-Qusyairi tampil menolong madzhab Al-Asy’ari dan membelanya dengan sangat keras terhadap orang-orang yang menyelisihinya. Dia membuat marah para pendukung madzhab mujassimah… Dst.”[7]
Kemudian tentang Syaikh Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, kaitannya dengan Abu Nashr Al-Qusyairi, As-Subki berkata, “Syaikh Abu Ishaq adalah seorang yang disepakati keilmuan dan agamanya oleh orang-orang pada zamannya. Dia seorang yang tinggi kedudukannya. Itulah, dia dicintai oleh mayoritas manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa beranggapan buruk kepadanya dikarenakan bagusnya perjalanan hidupnya dan keharuman namanya di sisi orang-orang. Namun, dalam kasus Ibnul Qusyairi, para penganut madzhab Hambali menganggap Syaikh Abu Ishaq hendak menjatuhkan madzhab mereka ketika terjadi fitnah antara kelompok madzhab Hambali dan kelompok Asy’ariyah. Sebetulnya, Syaikh Abu Ishaq hanya menolong Abu Nashr Al-Qusyairi karena dia (Abu Nashr) membela madzhab Al-Asy’ari.”[8]
Di sini, selain tersirat pembelaan terhadap Abu Nashr Al-Qusyairi, As-Subki rahimahullah juga menyebut perseteruan antara Ibnul Qusyairi dengan Asy-Syarif Abu Ja’far sebagai “fitnah Hanabilah.” Seolah-olah, kesalahan ada di pihak kaum Hanabilah, bukan Asy’ariyah.
Adapun menurut Imam Ibnu Rajab Al-Hambali (w. 795 H) rahimahullah, kejadian antara dua tokoh di atas disebut sebagai “fitnah Ibnul Qusyairi.” Dan, kesan yang tersirat pun kesalahan ada pada kelompok Abu Nashr Al-Qusyairi, atau kelompok Asy’ariyah. Demikian kisahnya versi Ibnu Rajab,
“Dan akhir dari itu semua adalah FITNAH IBNUL QUSYAIRI, di mana Asy-Syarif melakukan perlawanan total, dan dia meninggal setelah kejadian tersebut. Isi ceritanya yaitu, bahwasanya Abu Nashr bin Al-Qusyairi datang ke Baghdad pada tahun 469 dan membuat majlis di Nizhamiyah. Tetapi, dia sering mencela para pengikut madzhab Hambali dan menisbatkan tajsim kepada mereka.
Waktu itu, orang yang fanatik kepadanya adalah Abu Sa’ad Ash-Shufi. Adapun yang cenderung membelanya adalah Abu Ishaq Asy-Syirazi. Dia (Asy-Syirazi) menulis surat kepada pejabat kerajaan, mengadukan Hanabilah dan meminta pertolongannya. Padahal, ada sekelompok orang dari pengikutnya ketika itu yang hendak menyerang Abu Ja’far dan mencelakakannya di masjidnya. Maka, Asy-Syarif pun menyiapkan sekelompok orang untuk membalas serangan musuhnya jika terjadi. Kemudian, saat para pengikut Abu Ishaq sampai di pintu masjid, para pengikut Asy-Syarif pun melempari mereka dengan genteng. Lalu, terjadilah fitnah. Ada satu orang awam di antara mereka yang terbunuh.. Dst.”[9]
Jadi, antar para ulama besar pun, kecenderungan pembelaan terhadap kelompoknya tetap ada, dan itu manusiawi. Apalagi selain mereka yang tak mencapai derajat ulama, meski tidak selalu demikian dan tidak semua orang sama. Namun demikian, bagaimanapun upaya untuk menyatukan kedua pihak –sebagaimana dilakukan penulis buku ini, Ustadz Joko Waskito– tetap mesti dilakukan dan dihargai. Sesama kaum mukminin adalah saudara. Tak elok jika terus berselisih. Klaim paling atau lebih Ahlus Sunnah tampaknya mendesak untuk diminimalisasi bahkan –jika perlu– dieliminasi. Perbedaan pemahaman dalam masalah aqidah pun tidak perlu dibenturkan. Bahkan bisa jadi akan lebih baik jika kita menyikapinya laksana perbedaan dalam masalah fiqih, di mana pendapat kedua pihak disebutkan semuanya tanpa harus “menghakimi” yang satu benar dan satunya lagi salah.
Contoh indah dalam hal ini dipraktikkan Imam Muhyiddin An-Nawawi (w. 676 H) rahimahullah tatkala menjelaskan makna turunnya Allah ke langit dunia dalam “hadits nuzul” yang terkenal, di mana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ
وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ
الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ
وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ .
“Tuhan kita Tabaraka wa Ta’ala turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam akhir. Maka Dia berfirman; ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan siapa yang mohon ampun akan Aku ampuni’.”[10]
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk di antara hadits-hadits sifat, di mana di dalamnya ada dua madzhab yang masyhur menurut para ulama. Yang pertama yaitu madzhab jumhur (mayoritas) salaf dan sebagian ahli kalam; bahwasanya ia diimani bahwa turunnya Allah adalah benar sesuai dengan yang pantas bagi Allah Ta’ala, dan bahwa yang dimaksud bukanlah makna literal yang kita kenal. Mereka tidak berbicara takwilnya dengan keyakinan mensucikan Allah Ta’ala dari sifat-sifat makhluk, serta dari perpindahan, pergerakan, dan segala yang merupakan karakteristik makhluk. Adapun yang kedua yaitu madzhab mayoritas ahli kalam dan sekelompok salaf, di mana di sini ia juga diceritakan dari Malik dan Al-Auza’i, bahwasanya ditakwilkan sesuai apa yang pantas menurut tempat. Dengan demikian, mereka menakwilkan hadits ini dengan dua takwilan. Takwilan pertama, yaitu penakwilan Malik dan selainnya, maknanya: turun rahmat-Nya, perintah-Nya, dan para malaikat-Nya, sebagaimana dikatakan; Sultan berbuat demikian jika anak buahnya melakukannya dengan perintahnya. Takwilan kedua, ia merupakan kalimat isti’arah (metafora). Maknanya: menerima orang-orang yang berdoa dengan mengabulkan dan lemah lembut. Wallahu a’lam.”[11]
Dua madzhab yang masyhur yang dimaksud An-Nawawi, adalah Salafiyah dan Asya’irah. An-Nawawi menyebutkan pendapat kedua pihak dalam masalah krusial ini (baca: aqidah) tanpa harus “mentarjih” mana yang benar, meski bisa jadi An-Nawawi cenderung pada salah satunya. Dan, tampaknya sikap semacam inilah yang perlu kita teladani dan praktikkan; menganggap kelompok Asya’irah dan Salafiyah sama-sama sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan segala perbedaan pemahaman yang ada dalam masalah aqidah. Bagaimanapun, kesamaan yang ada antara keduanya jelas sangat jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
----------------
*Tadinya tulisan ini adalah untuk pengantar buku "Mendamaikan Ahlussunnah Nusantara"nya Ustadz Joko Waskito, namun karena alasan teknis, tidak jadi dimuat.
[1] Salafiyah dan Wahabiyah adalah dua hal yang
berbeda, namun ada kesamaannya. Salafiyah sifatnya lebih umum daripada
Wahabiyah. Dalam buku yang berjudul “Tayyarat Al-Fikr Al-Islamiy” (Aliran-aliran
Pemikiran Islam), penulisnya (DR. Muhammad Imarah) memasukkan Salafiyah dan
Wahabiyah sebagai dua kelompok yang berbeda. Intinya, Salafiyah adalah suatu
manhaj yang mengacu kepada pemahaman salaf dengan Imam Ahmad bin Hambal (w. 241
H) sebagai tokoh sentralnya. Ia muncul lebih dulu. Sedangkan Wahabiyah, adalah gerakan pemurnian tauhid
dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (w. 1206 H) sebagai pendirinya. Secara
pemikiran, Wahabiyah sangat terpengaruh dengan Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan
Ibnul Qayyim. Sedangkan secara politik, gerakan ini tidak bisa lepas dari peran
Dinasti Saud dalam eksistensi dan penyebarannya. (Lihat; buku yang kami
sebutkan, hlm 127 dst. dan 255 dst., penerbit Dar Asy-Syuruq kairo, cetakan
pertama, tahun 1991 M.)
[2] Ada sedikit perbedaan pendapat tentang
tahun wafatnya Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari Al-Bashri. Ibnul Jauzi
dalam Al-Muntazham dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan
tahun 321 H. Dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, Ibnu Qadhi Syahbah
menyebutkan tahun yang diperselisihkan; 320, 324, dan 330 H. Imam Adz-Dzahabi
dalam Siyar A’lam An-Nubala` menyebutkan tahun 324 H, diikuti oleh
Khairuddin Az-Zarakli (Zerekly) dalam Al-A’lam. Ibnul Atsir dalam Al-Kamil
fi At-Tarikh menyebutkan tahun 330 H. Sedangkan Ibnu Khallikan dalam Wafayat
Al-A’yan dan Abul Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad mengatakan
tahun tiga ratus tiga puluh sekian. Wallahu a’lam.
[3] Abul Fida` Ismail bin Katsir Ad-Daimasyqi (Ibnu
Katsir), Al-Bidayah wa An-Nihayah , juz 11, hlm 215, tahqiq: Syaikh
Muhammad Bayumi, penerbit: Maktabah Al-Iman – Manshurah – Mesir, tanpa tahun.
[4] Abul Faraj Abdurrahman bin Ali Al-Jauzi
(Ibnul Jauzi), Al-Muntazham fi Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk, juz 14,
hlm 29,
tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Qadir Atha, penerbit Darul Kutub Ilmiah –
Beirut, cetakan pertama, tahun 1412 H/1992 M.
[5] Ibid.
[6] Terkadang juga disebut Ibnul Qusyairi,
karena ayahnya pun seorang ulama besar dan juga dikenal sebagai Al-Qusyairi.
[7] Tajuddin As-Subki, Thabaqat
Asy-Syafi’iyah Al-Kubra, jld 7, hlm 161-162, tahqiq: DR. Mahmud Ath-Thanahi
dan DR. Abdul Fattah Muhammad, Penerbit Hajr li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr wa
At-Tauzi’, tahun 1413 H.
[8] Ibid., jld 4/hlm 234.
[9] Ibnu Rajab Al-Hambali, Dzail Thabaqat
Al-Hanabilah, juz 1, hlm 39, tahqiq: DR. Abdurrahman bin Sulaiman, penerbit
Maktabah Al-Ubaikan – Riyadh, tahun 1425 H.
[10] HR. Al-Bukhari (1077), Muslim (1808), Abu
Dawud (1120), dan lain-lain; dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
[11] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, juz 6, hlm 36-37, penerbit Dar Ihya` At-Turats Al-Arabi –
Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar