Oleh: Abduh Zulfidar Akaha
Dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad, Imam
Al-Ghazali mengatakan, “Salah dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu
lebih ringan daripada salah membunuh seorang muslim.”
Perkataan hikmah luar biasa. Betapa banyak darah umat
Islam tumpah karena masalah aqidah. Ketika terjadi perbedaan pemahaman aqidah, di
mana kemudian muncul vonis kafir dari satu kelompok kepada kelompok lain,
selanjutnya berlaku hukum murtad, maka keluarlah “fatwa” halal darahnya untuk dibunuh.
Itulah, sebelumnya (dalam kitab yang sama) Al-Ghazali mengingatkan, “Hendaknya
kita hati-hati dalam mengafirkan orang lain selama masih ada jalan. Sebab,
menghalalkan darah dan harta orang yang shalat ke arah kiblat, yang jelas-jelas
mengatakan La ilaha illallah Muhammad Rasullullah; adalah salah!”
Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah (Aswaja) adalah aqidah pertengahan, moderat. Tidak terlalu ke kanan
dan tidak terlalu ke kiri. Tidak berlebihan dan juga tidak menggampangkan.
Demikian sesuai karakter umat ini sebagai umat yang adil dan pertengahan. Allah
Swt berfirman, “Dan demikian Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar
kamu menjadi saksi atas manusia (umat sebelummu) dan Rasulullah menjadi saksi
atas kamu.” [Al-Baqarah: 143]
Kaum Muslimin tidak
seperti kaum Nasrani yang menuhankan Isa, dan tidak seperti Yahudi yang
menganggap Uzair sebagai anak Allah. Kaum Muslimin pun tidak mengajarkan
kerahiban yang anti-dunia seperti Nasrani, dan pula tak seperti Yahudi yang
mengaku sebagai anak dan kekasih Allah serta menganggap diri mereka kaum
eksklusif.
Yang terbaik adalah
yang “sedang-sedang” saja, di pertengahan, tidak di pinggir kanan maupun kiri,
alias bersikap moderat. Rasulullah Saw bersabda,
عَلَيْكُمْ
هَدْيًا قَاصِدًا فَإِنَّهُ مَنْ يُشَادَّ هَذَا الدِّينَ يَغْلِبْهُ
Peganglah petunjuk
yang moderat, karena sesungguhnya orang yang memberat-beratkan agama, dia akan
kalah.” [HR. Ahmad dari Buraidah]
Seorang ulama
tabi’in, Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir berkata,
خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik perkara
adalah yang tengah-tengahnya.” [HR. Al-Baihaqi]
Sejujurnya, jika
bicara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka sulit dilepaskan dari dua kelompok
besar, yakni Asya’irah (termasuk Maturidiyah) dan Salafiyah, di mana keduanya
mempunyai perbedaan dalam menyikapi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun,
bukan perbedaan yang ingin kami bahas, melainkan beberapa kesamaan dalam beberapa
masalah. Soal siapa Aswaja, kami katakan secara singkat, bahwa mereka bukan
ahlul bid’ah dan bukan kelompok sesat dari kalangan; Syi’ah, Mu’tazilah,
Khawarij, Murji`ah, Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Ahmadiyah, Inkar Sunnah,
Jaringan Iblis Liberal (JIL), LDII, dan lain-lain.
Ketika menafsirkan
ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam.” [QS.
Ali ‘Imran: 106], Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya yaitu pada hari kiamat, di
mana wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi putih, dan wajah-wajah ahlul
bid’ah dan kelompok-kelompok sesat menjadi hitam.” [Tafsir Al-Qur`an
Al-‘Azhim]
Namun demikian,
sikap moderat bukan berarti harus lunak dalam segala hal dan di setiap waktu.
Sebab, Islam mempunyai sikap yang jelas dan tegas dalam hal-hal tertentu,
terutama ketika kehormatannya dilecehkan. Demikian beberapa poin kemoderatan
Islam dalam masalah aqidah:
Pertama; Sikap Terhadap Rasulullah Saw
Sudah jelas, kita
harus mengimani Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, utusan Allah
yang membawa risalah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Al-Qur`an
dan Sunnah tegas mengatakan demikian. Tetapi, Aswaja tidak berlebihan dalam
mengimani beliau; tidak sampai mengkultuskannya, tidak menjadikannya anak Tuhan
apalagi menuhankannya, dan tidak menganggapnya manusia biasa yang tidak
mendapatkan wahyu.
Kata Nabi, “Janganlah
kamu mengkultuskanku seperti kaum Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam, karena
sesungguhnya aku ini adalah hamba-Nya. Katakanlah; hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR.
Al-Bukhari dari Umar]. Dan dalam Al-Qur`an disebutkan, “Katakanlah;
sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa seperti kamu yang mendapatkan
wahyu’.” [Al-Kahfi: 110]
Aswaja mendudukkan
Nabinya dalam posisi yang sangat mulia. Para sahabat Ra mengorbankan
jiwa, raga, dan harta mereka untuk menolong dan melindungi Rasulullah Saw
dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Tidak boleh ada yang menyakiti beliau,
lisan maupun fisik. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang menyakiti
Rasulullah, mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” [At-Taubah: 61]
Melecehkan Nabi
sama dengan melecehkan Allah dan Islam. Itulah, ketika gembong Yahudi bernama
Ka’ab bin Al-Asyraf menghina Nabi, Nabi berkata, “Siapa yang mau membunuh
Ka’ab bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad
bin Maslamah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika
aku membunuhnya?” Kata Nabi, “Ya.” Singkat cerita, Ka’ab bin Al-Asyraf pun
dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah. [Muttafaq Alaih dari Jabir]
Berdasarkan ayat
dan (di antaranya) hadits di atas, para ulama pun memfatwakan hukuman mati bagi
orang yang menghina Rasulullah Saw. Ibnu Umar berkata, “Barangsiapa yang
mencela Nabi Saw, dia harus dibunuh.” [Ash-Sharim Al-Maslul ‘Ala
Syatim Ar-Rasul, Ibnu Taimiyah]
Imam Ahmad berkata, “Setiap orang yang mencela Nabi Saw
atau menjelek-jelekkannya, entah dia muslim atau kafir, dia harus dihukum
mati. Dia dibunuh dan tidak perlu diminta taubat.” [Ibid]
Muhammad bin Sahnun berkata, “Para ulama sepakat bahwa
orang yang mencela dan menjelek-jelekkan Nabi Saw adalah kafir dan pasti
mendapatkan adzab Allah. Adapun hukumannya menurut umat adalah dibunuh. Dan
barangsiapa yang meragukan kekafirannya serta adzab baginya, maka dia juga kafir.”
[Ibid]
Ibnu Taimiyah berkata, ‘Kesimpulannya, bahwasanya jika
orang yang menghina itu muslim, maka dia dikafirkan dan dibunuh tanpa ada
perbedaan pendapat, dan ini adalah madzhab keempat imam serta selain mereka…
Adapun jika yang menghina adalah orang kafir, maka dia pun juga dibunuh.”
[Ibid]
Imam An-Nawawi menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh,
“Menurut syariat, hukum bagi orang yang menghina Nabi Saw adalah kafir
dan dibunuh.” [Syarh Shahih Muslim]
Ibnu Hajar berkata, “Ibnul Mundzir menukil adanya kesepakatan
umat bahwa siapa yang mencela Nabi Saw terang-terangan, dia wajib
dibunuh.” [Fathul Bari]
Setelah menyebutkan sebuah hadits shahih riwayat Abu
Dawud dari Ibnu Abbas tentang orang buta yang membunuh seorang perempuan yang
sering menghina Rasulullah Saw, Imam Ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini
adalah dalil bahwa hukuman orang yang mencela Nabi Saw adalah dibunuh
dan ditumpahkan darahnya. Sekiranya dia muslim, maka celaannya itu membuatnya
murtad, di mana dia dihukum mati karena murtad.” [Subulussalam]
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Pendapat yang rajih dalam
masalah orang yang mencela Nabi Saw kemudian dia bertaubat, adalah bahwasanya
taubatnya diterima namun dia dibunuh.” [Syarh Riyadhush-Shalihin]
Kedua; Sikap Terhadap Sahabat
Di antara aqidah
Aswaja adalah bersikap moderat kepada para sahabat. Tidak mengkultuskan mereka,
tidak mencela, dan tidak merendahkan. Aswaja menempatkan para sahabat dalam
posisi yang mulia, mencintai mereka, meyakini keadilannya, dan tidak turut
campur dalam perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
Allah Swt berfirman,
“Orang-orang yang lebih dulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; Allah meridhai
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” [QS. At-Taubah: 100]
Saat ditanya
tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, Umar bin Abdil Aziz
berkata, “Itu adalah darah di mana Allah membersihkan tanganku dari turut
campur di dalamnya. Karenanya, aku tidak ingin mengotori lisanku dengan
membicarakannya.” [Al-Inshaf, Al-Baqillani]
Menjawab pertanyaan senada, Imam Ahmad membaca ayat 134
surat Al-Baqarah, “Itu adalah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan
balasan apa yang mereka lakukan, dan kamu pun mendapatkan balasan apa yang kamu
lakukan. Dan, kamu tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan.” [Al-Bidayah
wan Nihayah, Ibnu Katsir]
Ibnu Hajar berkata,
“Ahlus Sunnah sepakat atas wajibnya menahan diri untuk tidak mencela saorang
pun dari sahabat dikarenakan peperangan yang terjadi di antara mereka,
sekalipun diketahui siapa yang benar di antara mereka. Sebab, mereka tidak
berperang melainkan dengan ijtihad, di mana Allah Ta’ala memaafkan orang
yang salah dalam berijtihad. Bahkan hadits shahih mengatakan bahwa orang yang
salah dalam ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala, sementara yang benar
mendapatkan dua pahala.” [Fathul Bari]
Sementara Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya
hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah Saw.” [Al-‘Aqidah
Al-Wasithiyah]
Ibnu Katsir berkata, “Dan sahabat
semuanya adalah adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena Allah telah
memuji mereka dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan juga karena Sunnah Nabawiyah
menyatakan demikian ketika memuji mereka dalam seluruh akhlaq dan perbuatan
mereka.” [Al-Ba’its Al-Hatsits]
Lalu, bagaimana
hukum orang yang mencela sahabat? Para ulama berbeda pendapat; ada yang
mengatakan zindiq, kafir, ahlul bid’ah, dan ada juga yang mengatakan dibunuh.
Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencela salah
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw… , jika dia mengatakan bahwa mereka
berada dalam kesesatan atau kekufuran; dia boleh dibunuh.” [Hukmu Sabbillah Ta’ala wa Ar-Rasul wa Ash-Shahabah/Syaikh Abdul Malik Al-Qasim]
Ibnu Hazm
berkata, “Para sahabat semuanya adalah ahlul jannah. Artinya, siapa yang
mencela sahabat dan memusuhi mereka, tak lain adalah musuh yang jauh dari
rahmat Allah, busuk akhlaqnya, dan zindiq.” [Al-Lawami’, As-Safarini]
Abu
Zur’ah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah
seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ketahuilah
bahwa dia adalah zindiq.” [Tarikh Dimasyq]
Abu Ayub As-Sakhtiyani berkata,
“Siapa yang mencela seorang sahabat atau membencinya karena sesuatu, maka dia
adalah ahlul bid’ah dan menyelisihi Sunnah serta salafush shalih.” [Ushul
As-Sunnah, Ibnu Abi Zamanain]
Al-Qadhi
Abu Ya’la (w. 458 H) berkata, “Para fuqaha sepakat tentang hukum orang yang
mencela sahabat, sekiranya dia menganggap sahabat tersebut halal darahnya, maka
dia adalah kafir. Tetapi, jika dia tidak menganggap demikian, maka dia adalah
fasiq.” [Hiwar Hadi` Ma’a Du’at At-Taqrib Ma’a Asy-Syi’ah, Abu Mush’ab]
Sebagian ulama
mendasarkan pendapat mereka pada sabda Rasulullah Saw berikut, “Barangsiapa
menyakiti sahabatku, maka dia juga menyakitiku. Dan siapa yang menyakitiku,
sungguh dia telah menyakiti Allah.” [HR. Ahmad (16201) dan At-Tirmidzi
(3797) dari Abdullah bin Mughaffal]
Ketiga; Sikap Terhadap Pemerintah
Moderasi aqidah
Aswaja juga tercermin dalam sikapnya terhadap pemerintahan yang sah; Tidak
mudah mengafirkan dan tidak mudah memberontak. Selama penguasa masih shalat,
tidak melarang pelaksanaan ibadah, dan tidak menyuruh melakukan maksiat; maka
kaum muslimin wajib mendukung pemerintah dalam hal-hal yang makruf, yang tidak
melanggar syariat Allah.
Secara ringkas, ada tiga sikap Aswaja
dalam hal ini. Pertama, dalam rangka dakwah amar makruf nahi mungkar dan
saling memberikan nasehat kebenaran kepada saudara sesama muslim. Kedua,
memberontak kepada pemerintahan zhalim yang tidak mempedulikan ajaran Islam,
suka berbuat maksiat, dan membawa banyak mafsadat bagi umat Islam. Dan ketiga,
memberontak kepada pemerintahan yang sah karena hendak merebut kekuasaan, atau
yang biasa dikenal sebagai kudeta (al-inqilab).
Sikap yang pertama,
adalah sikap yang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap muslim sebatas
kemampuannya. Dan, sesungguhnya hal ini tidak hanya berlaku terhadap penguasa
saja, melainkan juga terhadap orang lain selain penguasa, terhadap keluarga,
saudara, dan umat Islam secara umum, bahkan terhadap diri sendiri. Allah Swt
berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl:
125]
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya
dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya. Dan bila masih
tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR.
Muslim dari Abu Said)
Lebih khusus lagi, dalam masalah
amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa adalah sabda Nabi ketika ada
seseorang yang bertanya kepada beliau, “Jihad apakah yang paling utama?” Beliau
menjawab, “Mengatakan kebenaran di hadapan penguasa lalim.” (HR.
An-Nasa`i dari Thariq bin Syihab)
Sedangkan yang kedua,
yakni memberontak kepada pemerintahan yang zhalim dikarenakan suatu sebab
syar’i, di mana mereka mempunyai alasan kuat dalam hal ini. Ibnu Hajar berkata,
“Mereka (orang yang membelot dari pemerintahan yang sah) terbagi dua kelompok.
Yang pertama, yaitu kelompok yang membelot karena marah disebabkan
faktor agama di mana pemerintahnya adalah zhalim dan telah meninggalkan Sunnah;
maka mereka adalah benar (ahlu haq). Di antara mereka, yaitu Al-Husain
bin Ali, penduduk Madinah dalam peristiwa Al-Harrah, dan para qurra`
yang memberontak terhadap Al-Hajjaj. Yang kedua, yaitu kelompok yang
memberontak karena hendak merebut kekuasaan, baik mereka mempunyai alasan atau
tidak, mereka adalah bughat.” [Fathul Bari]
Syaikh
Muhammad Shalih Al-Gharsi berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh
memerangi orang-orang yang memberontak terhadap seorang penguasa yang lalim
dikarenakan kezhalimannya dan perbuatannya yang meninggalkan Sunnah. Bahkan,
seorang penguasa wajib menahan diri dari kelalimannya dan menegakkan Sunnah.
Jika penguasa sudah melakukan hal ini tetapi mereka masih tetap memberontak,
maka saat itulah mereka boleh diperangi.” [Fashlul Khithab]
Kemudian,
Syaikh Al-Gharsi menukil perkataan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj, “Para
pemberontak tidak boleh diperangi sebelum diutus seorang utusan yang bisa
dipercaya dan cerdas kepada mereka untuk menasehati mereka dan menanyakan apa
yang mereka kehendaki. Sekiranya mereka menyebutkan suatu kezhaliman atau
alasan, maka hal tersebut harus dihilangkan.”
Macam yang
kedua dari sikap seorang muslim terhadap penguasa ini pun tidak bisa
dikategorikan sebagai pemberontak secara mutlak. Tergantung siapa yang
memberontak, siapa yang diberontak, dan apa alasan pemberontakannya.
Adapun yang ketiga,
yaitu mereka yang memberontak kepada pemerintahan yang sah atau imam yang adil
dikarenakan faktor kekuasaan, di mana mereka hendak merebut kekuasaan tersebut.
Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Ibnu Hajar mengatakan, “… Sedangkan
kelompok yang satunya lagi, yaitu kelompok yang memberontak karena hendak
merebut kekuasaan, baik mereka mempunyai alasan atau tidak, mereka adalah bughat.”
Dalam hal ini, yang berlaku adalah hukum memerangi bughat atau pemberontak,
di mana mereka hendak memecah-belah kesatuan kaum muslimin dengan segala
konsekuensinya yang sangat berat bagi umat.
Imam An-Nawawi menukil perkataan
Al-Qadhi Iyadh, “Para ulama sepakat bahwa kapan khawarij dan yang sejenis
dengan mereka dari kalangan ahlul bid’ah dan bughat memberontak terhadap
imam dan menyalahi pendapat jama’ah serta memecah-belah tongkat persatuan, maka
wajib memerangi mereka setelah pemberian peringatan dan menanyakan alasannya.”
[Syarh Shahih Muslim]
Ibnu
Qudamah berkata, “Barangsiapa yang keluar dari pemerintahan yang sah dan
memberontak terhadap seorang imam yang telah diakui kepemimpinannya, maka
mereka wajib diperangi. Namun, tidak boleh memerangi mereka sebelum dikirim
seorang utusan kepada mereka untuk menanyakan alasannya dan menjelaskan
kebenaran kepada mereka.” [Al-Mughni]
Intinya,
Aswaja bersikap moderat terhadap pemerintah; tidak mendukung penuh seratus
persen tanpa catatan, juga tidak asal memberontak tanpa alasan yang syar’i.
Aswaja mendukung pemerintah dalam kebaikan dan menolak segala kebijakan
pemerintah yang menyelisihi syariat. Wallahu a’lam.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar