Sabtu, 06 Juli 2013

Moderasi Aswaja Dalam Aqidah



Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad, Imam Al-Ghazali mengatakan, “Salah dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan daripada salah membunuh seorang muslim.”
Perkataan hikmah luar biasa. Betapa banyak darah umat Islam tumpah karena masalah aqidah. Ketika terjadi perbedaan pemahaman aqidah, di mana kemudian muncul vonis kafir dari satu kelompok kepada kelompok lain, selanjutnya berlaku hukum murtad, maka keluarlah “fatwa” halal darahnya untuk dibunuh. Itulah, sebelumnya (dalam kitab yang sama) Al-Ghazali mengingatkan, “Hendaknya kita hati-hati dalam mengafirkan orang lain selama masih ada jalan. Sebab, menghalalkan darah dan harta orang yang shalat ke arah kiblat, yang jelas-jelas mengatakan La ilaha illallah Muhammad Rasullullah; adalah salah!”
            Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah aqidah pertengahan, moderat. Tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Tidak berlebihan dan juga tidak menggampangkan. Demikian sesuai karakter umat ini sebagai umat yang adil dan pertengahan. Allah Swt berfirman, “Dan demikian Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia (umat sebelummu) dan Rasulullah menjadi saksi atas kamu.” [Al-Baqarah: 143]
            Kaum Muslimin tidak seperti kaum Nasrani yang menuhankan Isa, dan tidak seperti Yahudi yang menganggap Uzair sebagai anak Allah. Kaum Muslimin pun tidak mengajarkan kerahiban yang anti-dunia seperti Nasrani, dan pula tak seperti Yahudi yang mengaku sebagai anak dan kekasih Allah serta menganggap diri mereka kaum eksklusif.
            Yang terbaik adalah yang “sedang-sedang” saja, di pertengahan, tidak di pinggir kanan maupun kiri, alias bersikap moderat. Rasulullah Saw bersabda,

عَلَيْكُمْ هَدْيًا قَاصِدًا فَإِنَّهُ مَنْ يُشَادَّ هَذَا الدِّينَ يَغْلِبْهُ
Peganglah petunjuk yang moderat, karena sesungguhnya orang yang memberat-beratkan agama, dia akan kalah.” [HR. Ahmad dari Buraidah]
            Seorang ulama tabi’in, Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir berkata, 

خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengahnya.” [HR. Al-Baihaqi]
            Sejujurnya, jika bicara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka sulit dilepaskan dari dua kelompok besar, yakni Asya’irah (termasuk Maturidiyah) dan Salafiyah, di mana keduanya mempunyai perbedaan dalam menyikapi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun, bukan perbedaan yang ingin kami bahas, melainkan beberapa kesamaan dalam beberapa masalah. Soal siapa Aswaja, kami katakan secara singkat, bahwa mereka bukan ahlul bid’ah dan bukan kelompok sesat dari kalangan; Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji`ah, Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Ahmadiyah, Inkar Sunnah, Jaringan Iblis Liberal (JIL), LDII, dan lain-lain.
            Ketika menafsirkan ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam.” [QS. Ali ‘Imran: 106], Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya yaitu pada hari kiamat, di mana wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi putih, dan wajah-wajah ahlul bid’ah dan kelompok-kelompok sesat menjadi hitam.” [Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim]
            Namun demikian, sikap moderat bukan berarti harus lunak dalam segala hal dan di setiap waktu. Sebab, Islam mempunyai sikap yang jelas dan tegas dalam hal-hal tertentu, terutama ketika kehormatannya dilecehkan. Demikian beberapa poin kemoderatan Islam dalam masalah aqidah:

Pertama; Sikap Terhadap Rasulullah Saw
            Sudah jelas, kita harus mengimani Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, utusan Allah yang membawa risalah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Al-Qur`an dan Sunnah tegas mengatakan demikian. Tetapi, Aswaja tidak berlebihan dalam mengimani beliau; tidak sampai mengkultuskannya, tidak menjadikannya anak Tuhan apalagi menuhankannya, dan tidak menganggapnya manusia biasa yang tidak mendapatkan wahyu.
            Kata Nabi, “Janganlah kamu mengkultuskanku seperti kaum Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku ini adalah hamba-Nya. Katakanlah; hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. Al-Bukhari dari Umar]. Dan dalam Al-Qur`an disebutkan, “Katakanlah; sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa seperti kamu yang mendapatkan wahyu’.” [Al-Kahfi: 110]
            Aswaja mendudukkan Nabinya dalam posisi yang sangat mulia. Para sahabat Ra mengorbankan jiwa, raga, dan harta mereka untuk menolong dan melindungi Rasulullah Saw dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Tidak boleh ada yang menyakiti beliau, lisan maupun fisik. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah, mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” [At-Taubah: 61]
            Melecehkan Nabi sama dengan melecehkan Allah dan Islam. Itulah, ketika gembong Yahudi bernama Ka’ab bin Al-Asyraf menghina Nabi, Nabi berkata, “Siapa yang mau membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya?” Kata Nabi, “Ya.” Singkat cerita, Ka’ab bin Al-Asyraf pun dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah. [Muttafaq Alaih dari Jabir]
            Berdasarkan ayat dan (di antaranya) hadits di atas, para ulama pun memfatwakan hukuman mati bagi orang yang menghina Rasulullah Saw. Ibnu Umar berkata, “Barangsiapa yang mencela Nabi Saw, dia harus dibunuh.” [Ash-Sharim Al-Maslul ‘Ala Syatim Ar-Rasul, Ibnu Taimiyah]
Imam Ahmad berkata, “Setiap orang yang mencela Nabi Saw atau menjelek-jelekkannya, entah dia muslim atau kafir, dia harus dihukum mati. Dia dibunuh dan tidak perlu diminta taubat.” [Ibid]
Muhammad bin Sahnun berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang mencela dan menjelek-jelekkan Nabi Saw adalah kafir dan pasti mendapatkan adzab Allah. Adapun hukumannya menurut umat adalah dibunuh. Dan barangsiapa yang meragukan kekafirannya serta adzab baginya, maka dia juga kafir.” [Ibid]
Ibnu Taimiyah berkata, ‘Kesimpulannya, bahwasanya jika orang yang menghina itu muslim, maka dia dikafirkan dan dibunuh tanpa ada perbedaan pendapat, dan ini adalah madzhab keempat imam serta selain mereka… Adapun jika yang menghina adalah orang kafir, maka dia pun juga dibunuh.” [Ibid]
Imam An-Nawawi menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh, “Menurut syariat, hukum bagi orang yang menghina Nabi Saw adalah kafir dan dibunuh.” [Syarh Shahih Muslim]
Ibnu Hajar berkata, “Ibnul Mundzir menukil adanya kesepakatan umat bahwa siapa yang mencela Nabi Saw terang-terangan, dia wajib dibunuh.” [Fathul Bari]
Setelah menyebutkan sebuah hadits shahih riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas tentang orang buta yang membunuh seorang perempuan yang sering menghina Rasulullah Saw, Imam Ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini adalah dalil bahwa hukuman orang yang mencela Nabi Saw adalah dibunuh dan ditumpahkan darahnya. Sekiranya dia muslim, maka celaannya itu membuatnya murtad, di mana dia dihukum mati karena murtad.” [Subulussalam]
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Pendapat yang rajih dalam masalah orang yang mencela Nabi Saw kemudian dia bertaubat, adalah bahwasanya taubatnya diterima namun dia dibunuh.” [Syarh Riyadhush-Shalihin]

Kedua; Sikap Terhadap Sahabat
            Di antara aqidah Aswaja adalah bersikap moderat kepada para sahabat. Tidak mengkultuskan mereka, tidak mencela, dan tidak merendahkan. Aswaja menempatkan para sahabat dalam posisi yang mulia, mencintai mereka, meyakini keadilannya, dan tidak turut campur dalam perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
            Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang lebih dulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” [QS. At-Taubah: 100]
            Saat ditanya tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, Umar bin Abdil Aziz berkata, “Itu adalah darah di mana Allah membersihkan tanganku dari turut campur di dalamnya. Karenanya, aku tidak ingin mengotori lisanku dengan membicarakannya.” [Al-Inshaf, Al-Baqillani]
Menjawab pertanyaan senada, Imam Ahmad membaca ayat 134 surat Al-Baqarah, “Itu adalah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan balasan apa yang mereka lakukan, dan kamu pun mendapatkan balasan apa yang kamu lakukan. Dan, kamu tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan.” [Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir]
            Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah sepakat atas wajibnya menahan diri untuk tidak mencela saorang pun dari sahabat dikarenakan peperangan yang terjadi di antara mereka, sekalipun diketahui siapa yang benar di antara mereka. Sebab, mereka tidak berperang melainkan dengan ijtihad, di mana Allah Ta’ala memaafkan orang yang salah dalam berijtihad. Bahkan hadits shahih mengatakan bahwa orang yang salah dalam ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala, sementara yang benar mendapatkan dua pahala.” [Fathul Bari]
            Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah Saw.” [Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah]
Ibnu Katsir berkata, “Dan sahabat semuanya adalah adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena Allah telah memuji mereka dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan juga karena Sunnah Nabawiyah menyatakan demikian ketika memuji mereka dalam seluruh akhlaq dan perbuatan mereka.” [Al-Ba’its Al-Hatsits]
            Lalu, bagaimana hukum orang yang mencela sahabat? Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan zindiq, kafir, ahlul bid’ah, dan ada juga yang mengatakan dibunuh.
            Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw… , jika dia mengatakan bahwa mereka berada dalam kesesatan atau kekufuran; dia boleh dibunuh.” [Hukmu Sabbillah Ta’ala wa Ar-Rasul wa Ash-Shahabah/Syaikh Abdul Malik Al-Qasim]
            Ibnu Hazm berkata, “Para sahabat semuanya adalah ahlul jannah. Artinya, siapa yang mencela sahabat dan memusuhi mereka, tak lain adalah musuh yang jauh dari rahmat Allah, busuk akhlaqnya, dan zindiq.” [Al-Lawami’, As-Safarini]
Abu Zur’ah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq.” [Tarikh Dimasyq]
Abu Ayub As-Sakhtiyani berkata, “Siapa yang mencela seorang sahabat atau membencinya karena sesuatu, maka dia adalah ahlul bid’ah dan menyelisihi Sunnah serta salafush shalih.” [Ushul As-Sunnah, Ibnu Abi Zamanain]
Al-Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) berkata, “Para fuqaha sepakat tentang hukum orang yang mencela sahabat, sekiranya dia menganggap sahabat tersebut halal darahnya, maka dia adalah kafir. Tetapi, jika dia tidak menganggap demikian, maka dia adalah fasiq.” [Hiwar Hadi` Ma’a Du’at At-Taqrib Ma’a Asy-Syi’ah, Abu Mush’ab]
            Sebagian ulama mendasarkan pendapat mereka pada sabda Rasulullah Saw berikut, “Barangsiapa menyakiti sahabatku, maka dia juga menyakitiku. Dan siapa yang menyakitiku, sungguh dia telah menyakiti Allah.” [HR. Ahmad (16201) dan At-Tirmidzi (3797) dari Abdullah bin Mughaffal]

Ketiga; Sikap Terhadap Pemerintah
            Moderasi aqidah Aswaja juga tercermin dalam sikapnya terhadap pemerintahan yang sah; Tidak mudah mengafirkan dan tidak mudah memberontak. Selama penguasa masih shalat, tidak melarang pelaksanaan ibadah, dan tidak menyuruh melakukan maksiat; maka kaum muslimin wajib mendukung pemerintah dalam hal-hal yang makruf, yang tidak melanggar syariat Allah.
Secara ringkas, ada tiga sikap Aswaja dalam hal ini. Pertama, dalam rangka dakwah amar makruf nahi mungkar dan saling memberikan nasehat kebenaran kepada saudara sesama muslim. Kedua, memberontak kepada pemerintahan zhalim yang tidak mempedulikan ajaran Islam, suka berbuat maksiat, dan membawa banyak mafsadat bagi umat Islam. Dan ketiga, memberontak kepada pemerintahan yang sah karena hendak merebut kekuasaan, atau yang biasa dikenal sebagai kudeta (al-inqilab).
Sikap yang pertama, adalah sikap yang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap muslim sebatas kemampuannya. Dan, sesungguhnya hal ini tidak hanya berlaku terhadap penguasa saja, melainkan juga terhadap orang lain selain penguasa, terhadap keluarga, saudara, dan umat Islam secara umum, bahkan terhadap diri sendiri. Allah Swt berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl: 125]
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya. Dan bila masih tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim dari Abu Said)
Lebih khusus lagi, dalam masalah amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa adalah sabda Nabi ketika ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Jihad apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Mengatakan kebenaran di hadapan penguasa lalim.” (HR. An-Nasa`i dari Thariq bin Syihab)
Sedangkan yang kedua, yakni memberontak kepada pemerintahan yang zhalim dikarenakan suatu sebab syar’i, di mana mereka mempunyai alasan kuat dalam hal ini. Ibnu Hajar berkata, “Mereka (orang yang membelot dari pemerintahan yang sah) terbagi dua kelompok. Yang pertama, yaitu kelompok yang membelot karena marah disebabkan faktor agama di mana pemerintahnya adalah zhalim dan telah meninggalkan Sunnah; maka mereka adalah benar (ahlu haq). Di antara mereka, yaitu Al-Husain bin Ali, penduduk Madinah dalam peristiwa Al-Harrah, dan para qurra` yang memberontak terhadap Al-Hajjaj. Yang kedua, yaitu kelompok yang memberontak karena hendak merebut kekuasaan, baik mereka mempunyai alasan atau tidak, mereka adalah bughat.” [Fathul Bari]
            Syaikh Muhammad Shalih Al-Gharsi berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh memerangi orang-orang yang memberontak terhadap seorang penguasa yang lalim dikarenakan kezhalimannya dan perbuatannya yang meninggalkan Sunnah. Bahkan, seorang penguasa wajib menahan diri dari kelalimannya dan menegakkan Sunnah. Jika penguasa sudah melakukan hal ini tetapi mereka masih tetap memberontak, maka saat itulah mereka boleh diperangi.” [Fashlul Khithab]
            Kemudian, Syaikh Al-Gharsi menukil perkataan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj, “Para pemberontak tidak boleh diperangi sebelum diutus seorang utusan yang bisa dipercaya dan cerdas kepada mereka untuk menasehati mereka dan menanyakan apa yang mereka kehendaki. Sekiranya mereka menyebutkan suatu kezhaliman atau alasan, maka hal tersebut harus dihilangkan.”
            Macam yang kedua dari sikap seorang muslim terhadap penguasa ini pun tidak bisa dikategorikan sebagai pemberontak secara mutlak. Tergantung siapa yang memberontak, siapa yang diberontak, dan apa alasan pemberontakannya.
Adapun yang ketiga, yaitu mereka yang memberontak kepada pemerintahan yang sah atau imam yang adil dikarenakan faktor kekuasaan, di mana mereka hendak merebut kekuasaan tersebut. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Ibnu Hajar mengatakan, “… Sedangkan kelompok yang satunya lagi, yaitu kelompok yang memberontak karena hendak merebut kekuasaan, baik mereka mempunyai alasan atau tidak, mereka adalah bughat.” Dalam hal ini, yang berlaku adalah hukum memerangi bughat atau pemberontak, di mana mereka hendak memecah-belah kesatuan kaum muslimin dengan segala konsekuensinya yang sangat berat bagi umat.
Imam An-Nawawi menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh, “Para ulama sepakat bahwa kapan khawarij dan yang sejenis dengan mereka dari kalangan ahlul bid’ah dan bughat memberontak terhadap imam dan menyalahi pendapat jama’ah serta memecah-belah tongkat persatuan, maka wajib memerangi mereka setelah pemberian peringatan dan menanyakan alasannya.” [Syarh Shahih Muslim]
            Ibnu Qudamah berkata, “Barangsiapa yang keluar dari pemerintahan yang sah dan memberontak terhadap seorang imam yang telah diakui kepemimpinannya, maka mereka wajib diperangi. Namun, tidak boleh memerangi mereka sebelum dikirim seorang utusan kepada mereka untuk menanyakan alasannya dan menjelaskan kebenaran kepada mereka.” [Al-Mughni]
            Intinya, Aswaja bersikap moderat terhadap pemerintah; tidak mendukung penuh seratus persen tanpa catatan, juga tidak asal memberontak tanpa alasan yang syar’i. Aswaja mendukung pemerintah dalam kebaikan dan menolak segala kebijakan pemerintah yang menyelisihi syariat. Wallahu a’lam.

*  *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...