Selasa, 23 Juli 2013

Kelemahan Hadits Lima Hal yang Membatalkan Puasa



Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ وَيَنْقُضْنَ الْوُضُوْءَ : الْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالنَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ .
        Lima hal yang membuat orang puasa berbuka dan membatalkan wudhu: berkata dusta, ghibah, namimah (mengadu domba), memandang disertai syahwat, dan sumpah palsu.”

Takhrij
           Al-Burhanfuri berkata setelah menyebutkan hadits ini, “(Diriwayatkan) Al-Azdi dalam Adh-Dhu’afa` dan Ad-Dailami dalam Al-Firdaus dari Anas bin Malik (Radhiyallahu 'Anhu).”[1]

Derajat Hadits: Maudhu’
           Ibnul Jauzi berkata, “Ini adalah hadits maudhu.”[2]
          As-Suyuthi menukil dari Ibnu Abi Hatim dalam Al-‘Ilal, “Aku mendengar ayahku berkata; Ini adalah hadits dusta. Maisarah bin Abdi Rabbih adalah seorang yang suka membuat-buat hadits.”[3]
        Setelah mengutip perkataan Ibnul Jauzi, Az-Zaila’i menukil perkataan Ibnu Ma’in, “Said adalah seorang pendusta. (Para perawi) dari Said sampai ke Anas semuanya adalah orang-orang tertuduh.”[4]
      Asy-Syaukani memasukkan hadits ini sebagai hadits maudhu’ dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah (hadits nomor 25).
       Al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits maudhu' dalam Dha'if Al-Jami' Ash-Shaghir, hadits nomor 6594.

*   *   *


[1] Kanzu Al-‘Ummal fi Sunan Al-Aqwal wa Al-Af’al (23813).

[2] Al-Maudhu’at/Ibnul Jauzi/Jilid 2/Hlm 195. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[3] Jam’u Al-Jawami’ (12302).


[4] Nashbu Ar-Rayah/Kitab Ash-Shaum/Bab Ma Yujib Al-Qadha` wa Al-Kaffarah/Jilid 2/Hlm 483.

Memberi Makanan Buka Puasa Pahalanya Sama dengan Orang Puasa

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا .
            “Barangsiapa memberi makanan buka puasa kepada orang puasa, dia mendapatkan pahala seperti mereka tanpa mengurangi sedikit pun mengurangi pahalanya.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah dari Ali bin Muhammad dari Waki’ bin Al-Jarrah dari Ibnu Abi Laila dan Ya’la bin Ubaid dari Abdul Malik bin Sulaiman dan Abu Muawiyah dari Hajjaj bin Artha`ah dari Atha` bin Abi Rabah dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi (735), Ahmad (16419), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3332), Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (1098), Abdurrazaq (7905), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3455), Ad-Darimi (1755), Ibnu Hibban (3498), dan Ibnu Bisyran dalam Al-Amali (267); dari Zaid bin Khalid.
            Dalam sebagian riwayat dengan matan,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا ، أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ .
            “Barangsiapa memberi buka puasa pada orang puasa; memberinya makan dan minum, dia mendapatkan pahala seperti orang yang puasa tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.”[2]

Derajat Hadits: Shahih
            At-Tirmidzi (735) berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”
            An-Nawawi menyepakati perkataan At-Tirmidzi di atas dalam Riyadh Ash-Shalihin.[3]
            Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini tsabit (kokoh dan ada dasarnya) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[4]
            Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (1078), Shahih Sunan Ibni Majah (1746), Shahih Sunan At-Tirmidzi (807), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (11361).

*   *   *


[1] Sunan Ibnu Majah/Kitab Ash-Shiyam/Bab fi Tsawab Man Faththara Sha`iman/hadits nomor 1736.
[2] HR. Abdurrazaq dari Zaid bin Khalid (Al-Mushannaf/7905).
[3] Riyadh Ash-Shalihin, bab Fadhl Man Faththara Sha`iman, hadits nomor 1265.
[4] Majmu’ Al-Fatawa, jld 10, hlm 732.

Minggu, 21 Juli 2013

Makan Setelah Lapar - Berhenti Makan Sebelum Kenyang



Oleh: Abduh Zulfidar Akaha


            Disebutkan dalam sebuah riwayat,
نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ ، وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ .
            “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum lapar, dan jika makan kami tidak sampai kenyang.”

Derajat Hadits: Tidak Ada Dasarnya
            Syaikh Sulaiman Shalih Al-Kharasyi memasukkan hadits ini dalam nomor urut pertama dalam kitabnya, “Ahadits La Tashih” (Hadits-hadits yang Tidak Shahih).
Imam As-Sakhawi berkata, “Tidak ada wujudnya dalam kitab-kitab hadits yang mayhur, dan tidak pula dalam kitab-kitab hadits yang membahas tema tertentu.”
            Al-Iraqi menegaskan bahwa hadits ini tidak ada asalnya.
            Al-Mizzi dan para ulama hadits yang lain juga mengingkari hadits ini.[1]
            Syaikh Bin Baz berkata, “Makna hadits ini benar, tetapi sanadnya lemah.”[2] 
       Ketika ada pertanyaan tentang hadits ini, Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`[3] menjawab, “Setahu kami, lafazh ini bukanlah hadits.”[4]
           
*   *   *


[1] Lihat Ahadits La Tashih/Syaikh Sulaiman Shalih Al-Kharasyi/Hlm 1/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[2] Majmu’ Fatawa Ibn Baz/Jilid 4/Hlm 122/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[3] Fatwa diketahui oleh: Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Ghadiyan, dan Syaikh Bin Baz.
[4] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah/Fatwa nomor 18072/Jilid 29/Hlm 224/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Sabtu, 06 Juli 2013

Moderasi Aswaja Dalam Aqidah



Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad, Imam Al-Ghazali mengatakan, “Salah dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan daripada salah membunuh seorang muslim.”
Perkataan hikmah luar biasa. Betapa banyak darah umat Islam tumpah karena masalah aqidah. Ketika terjadi perbedaan pemahaman aqidah, di mana kemudian muncul vonis kafir dari satu kelompok kepada kelompok lain, selanjutnya berlaku hukum murtad, maka keluarlah “fatwa” halal darahnya untuk dibunuh. Itulah, sebelumnya (dalam kitab yang sama) Al-Ghazali mengingatkan, “Hendaknya kita hati-hati dalam mengafirkan orang lain selama masih ada jalan. Sebab, menghalalkan darah dan harta orang yang shalat ke arah kiblat, yang jelas-jelas mengatakan La ilaha illallah Muhammad Rasullullah; adalah salah!”
            Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah aqidah pertengahan, moderat. Tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Tidak berlebihan dan juga tidak menggampangkan. Demikian sesuai karakter umat ini sebagai umat yang adil dan pertengahan. Allah Swt berfirman, “Dan demikian Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia (umat sebelummu) dan Rasulullah menjadi saksi atas kamu.” [Al-Baqarah: 143]
            Kaum Muslimin tidak seperti kaum Nasrani yang menuhankan Isa, dan tidak seperti Yahudi yang menganggap Uzair sebagai anak Allah. Kaum Muslimin pun tidak mengajarkan kerahiban yang anti-dunia seperti Nasrani, dan pula tak seperti Yahudi yang mengaku sebagai anak dan kekasih Allah serta menganggap diri mereka kaum eksklusif.
            Yang terbaik adalah yang “sedang-sedang” saja, di pertengahan, tidak di pinggir kanan maupun kiri, alias bersikap moderat. Rasulullah Saw bersabda,

عَلَيْكُمْ هَدْيًا قَاصِدًا فَإِنَّهُ مَنْ يُشَادَّ هَذَا الدِّينَ يَغْلِبْهُ
Peganglah petunjuk yang moderat, karena sesungguhnya orang yang memberat-beratkan agama, dia akan kalah.” [HR. Ahmad dari Buraidah]
            Seorang ulama tabi’in, Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir berkata, 

خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengahnya.” [HR. Al-Baihaqi]
            Sejujurnya, jika bicara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka sulit dilepaskan dari dua kelompok besar, yakni Asya’irah (termasuk Maturidiyah) dan Salafiyah, di mana keduanya mempunyai perbedaan dalam menyikapi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun, bukan perbedaan yang ingin kami bahas, melainkan beberapa kesamaan dalam beberapa masalah. Soal siapa Aswaja, kami katakan secara singkat, bahwa mereka bukan ahlul bid’ah dan bukan kelompok sesat dari kalangan; Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji`ah, Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Ahmadiyah, Inkar Sunnah, Jaringan Iblis Liberal (JIL), LDII, dan lain-lain.

Jumat, 05 Juli 2013

Menyikapi Kisah Klasik Perseteruan Sesama Ahlus Sunnah



Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Perseteruan antara kaum Asya’irah dan Salafiyah[1] adalah cerita lama. Bukan hanya sekarang. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, ketika menceritakan wafatnya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) rahimahumallah berkata, “Dan Ibnul Jauzi menyebutkan wafatnya Al-Asy’ari (321 H)[2] dalam Al-Muntazham, di mana dia membicarakan keburukannya dan memojokkannya, sebagaimana yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang madzhab Hambali, di mana mereka suka menjelek-jelekkan kelompok Asy’ariyah sejak dulu hingga kini.”[3]
 
Menurut Ibnu Katsir, orang-orang madzhab Hambali punya kebiasaan dari dulu suka menjelek-jelekkan kelompok Asy’ariyah. Artinya, perseteruan dua kubu besar dalam masalah aqidah ini memang sudah lama terjadi dan tampaknya sulit untuk didamaikan (mudah-mudahan tidak demikian). Masing-masing meyakini seyakin-yakinnya bahwa dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, pihaknyalah yang benar, sementara pihak “lawan” adalah salah. Jarang di antara kedua pihak yang bisa memahami dan menerima pemahaman pihak lain, terutama kaum awamnya.

Apa yang dikatakan Ibnu Katsir di atas, bisa menjadi gambaran bagi kita tentang bagaimana sejarah panjang perseteruan itu. Namun, kita akan lebih bisa “memahami” lagi jika melihat langsung seperti apa sesungguhnya yang ditulis oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) dalam Al-Muntazham tentang Abul Hasan Al-Asy’ari. Bahwa, benarkah Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berbicara negatif tentang Al-Asy’ari sebagaimana dikatakan Ibnu katsir? Demikian selengkapnya, 

“Ali bin Ismail bin Abi Bisyr, namanya Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Abul Hasan Al-Asy’ari al-mutakallim (ahli kalam). Lahir tahun 260. Sibuk dengan ilmu kalam. Dulunya bermadzhab Muktazilah dalam waktu yang lama. Kemudian, dia menyelisihi orang banyak. Dia menampakkan pernyataan yang menggoncangkan aqidah manusia dan menyebabkan fitnah berkepanjangan.
Waktu itu, orang-orang tidak berselisih bahwa Al-Qur`an adalah Kalamullah, dan bahwa yang menurunkannya adalah Jibril ‘Alaihissalam kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Para imam semuanya mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah qadim (lama, sudah ada sejak dulu). Namun Muktazilah mengatakan bahwa ia adalah makhluk. Dan, Al-Asy’ari menyepakati dalam masalah ini bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Dia mengatakan; ‘Al-Qur`an bukan Kalamullah, karena Kalamullah itu sifat yang berdiri sendiri, tidak diturunkan dan juga tidak termasuk yang didengarkan. 

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...