Jumat, 30 Juli 2010

Serius dalam Khutbah dan Tidak Bergurau

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ .
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah, kedua matanya merah, suaranya meninggi, dan semangatnya menyala-nyala, seakan-akan beliau sedang memberi komando pada pasukan perang.”[1]

Demikianlah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam khutbah Jum’atnya. Beliau serius dan tidak bergurau. Dikarenakan seriusnya ekspresi beliau dalam khutbahnya, Jabir menggambarkan bahwa mata beliau sampai merah, suaranya keras meninggi, penuh semangat yang menyala-nyala, dan seakan-akan beliau sedang membakar semangat para prajuritnya yang berada dalam kancah peperangan.

Berbeda dengan yang kita saksikan saat ini. Betapa masih ada sebagian khatib Jum’at yang terkadang bergurau dalam khutbahnya. Padahal, tidak pada tempatnya dia melemparkan canda dalam khutbah Jum’at. Diperlukan ketegasan, keseriusan, khidmat, dan kekhusyu’an dalam suasana khutbah Jum’at. Karena selain Nabi mencontohkan demikian, canda dan tawa tidak bisa mendekatkan seseorang kepada Tuhannya, dan tidak mungkin gurauan dapat membuat seseorang dekat dengan Tuhannya. Lagi pula, melemparkan joke dalam khutbah Jum’at juga akan membuat khutbah bertele-tele dan memakan waktu. Sehingga sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang selalu meringkaskan khutbahnya tidak dapat terpenuhi.

Bahkan sejatinya, Rasul tidak hanya serius saat khutbah Jum’at saja. Melainkan setiap kali memberikan nasehatnya, beliau selalu serius dan tidak bergurau.[2] Tidak ada tawa dan canda di sana. Bahkan tak jarang apa yang beliau sampaikan membuat para sahabat menangis dan bergetar hatinya. Sebagaimana yang diceritakan Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘Anhu,
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ .

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memberi nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang sangat mengena. Sehingga hati ini menjadi bergetar dan mata meneteskan air matanya. Kami berkata; ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan’.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)[3]

Sungguh menyedihkan jika agama ini menjadi bahan lelucon dan tertawaan dalam berbagai majelis taklim dan pengajian. Bahkan ironis, jika umat Islam lebih senang mendengarkan ceramah dari para pelawak daripada muballigh yang berkompeten. Meskipun sebenarnya muballigh dan dai yang lebih banyak melawak dalam ceramahnya daripada mengingatkan orang agar selalu ingat kepada Tuhannya, juga tak ada bedanya dengan pelawak itu sendiri. Sungguh jauh apa yang mereka lakukan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasul membuat kaum muslimin menangis dengan nasehatnya, sementara mereka membuat hadirin tertawa terpingkal-pingkal dengan joke-jokenya.

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةً مَا سَمِعْتُ مِثْلَهَا قَطُّ قَالَ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالَ فَغَطَّى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُجُوهَهُمْ لَهُمْ خَنِينٌ .
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkhutbah yang isinya tidak pernah aku mendengar seperti itu sebelumnya. Hingga beliau berkata; ‘Sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis’. Maka, para sahabat pun menutupi wajah mereka seraya menangis tersedu-sedu.” (Muttafaq Alaih)[4]

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Hendaknya seseorang bersungguh-sungguh dan serius ketika menyampaikan nasehat. Dia mesti menggunakan kalimat-kalimat yang bagus dan memakai kata-kata dengan gaya bahasa yang indah didengar di telinga. Dengan demikian, apa yang disampai-kannya akan mudah diterima oleh yang mendengar dan lebih mengena ke dalam hati.”[5]

Dalam hal ini, cukuplah kami kutipkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ .
“Apakah belum tiba saatnya bagi orang-orang beriman agar hati mereka khusyu’ untuk mengingat Allah dan apa yang Dia turunkan dari kebenaran?” (Al-Hadid: 16)

* * * * *


[1] HR. Muslim (2042), Ibnu Majah (44), dan Ibnu Hibban (10).
[2] Meski bukan berarti sama sekali tidak boleh melucu dalam berceramah, selama itu dalam batas yang wajar dan tidak berlebihan. Namun jika dalam suatu ceramah yang ada hanya lelucon dan gurauan, manfaat apa yang akan diambil oleh pendengar?
[3]Lihat; Sunan Abi Dawud, Kitab As-Sunnah, Bab Luzum As-Sunnah, hadits nomor 6407; dan Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-’Ilm, Bab Ma Ja`a fi Al-Akhdz fi As-Sunnah, hadits nomor 2678.
Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (37).
[4] Shahih Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab La Tas’alu ‘an Asy-ya’, hadits nomor 4255; dan Shahih Muslim, Kitab Fadha’il An-Nabiy, Bab Tawqirih Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadits nomor 6268.
[5] Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam 2/36, dengan sedikit perubahan redaksi.

Kamis, 29 Juli 2010

Buruknya Orang Bermuka Dua

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Yahya, dari Malik, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

“Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain.”[1]

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ذَا الْوَجْهَيْنِ . (رواه الترمذي عن أبي هريرة)

“Sesungguhnya termasuk orang terburuk di sisi Allah pada Hari Kiamat, adalah orang yang bermuka dua.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)[2]

Maksud “orang yang bermuka dua” dalam sabda Nabi di atas, yaitu orang yang menyembunyikan apa yang ada di dalam hatinya ketika bertemu dengan seseorang atau sekelompok orang yang dia musuhi dengan mengatakan perkataan atau sikap yang berbeda dengan apa yang disimpan dalam hatinya. Bagaimanapun, orang yang bermuka dua adalah orang yang sangat berbahaya. Sebab, dia adalah musuh dalam selimut yang sulit dideteksi atau dibuktikan.

Dalam sejarah Islam, yang dimaksud dengan orang bermuka dua ini adalah orang-orang munafik yang mengaku beriman manakala mereka bersama-sama dengan kaum mukminin. Tetapi, ketika kembali kepada kelompoknya, mereka kembali lagi kepada kekufurannya. Mereka ini lebih berbahaya daripada orang kafir yang jelas-jelas menampakkan kekafirannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an,


وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آَمَنُوا قَالُوا آَمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ .

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ Dan jika mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.” (Al-Baqarah: 14)

Khusus untuk orang-orang munafik yang hanya menampakkan keimanan pada lahiriyah saja, sementara dalam hatinya mereka menyembunyikan kekufuran; Allah sangat mencela sikap mereka dan mengancam mereka dengan siksaan-Nya yang pedih di dalam neraka. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali.

Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisaa`: 142-145)

Namun demikian, yang dimaksud dengan mempunyai dua muka dalam hadits ini bukanlah munafik dalam arti kata sesungguhnya. Melainkan seorang muslim yang kondisinya seperti orang munafik, atau dia memiliki sifat seperti sifatnya orang munafik. Imam Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya yang menyebabkan orang yang mempunyai dua muka ini menjadi orang terburuk adalah karena kondisinya seperti orang munafik. Dia senang melakukan perbuatan batil dan dusta. Dia senang membuat orang lain saling bermusuhan.”[3]

Imam An-Nawawi berkata, “Yang dimaksud dengan orang bermuka dua ini, yaitu orang yang datang kepada satu kelompok dengan menampakkan seolah-olah dirinya berada di pihak mereka dan berseberangan dengan pihak lawannya. Tetapi dalam waktu yang sama, dia juga datang kepada kelompok lain dan melakukan hal yang serupa.”[4] Dalam konteks sekarang, orang seperti ini barangkali bisa disebut sebagai oportunis. Orang yang selalu mencari selamat dan tidak mempunyai idealisme.

Nabi bukan hanya mengecam orang yang bermuka dua ini sebagai orang yang termasuk dalam jajaran orang-orang terburuk di sisi Allah, melainkan beliau juga mengancam mereka dengan neraka! Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ وَجْهَانِ فِي الدُّنْيَا كَانَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِسَانَانِ مِنْ نَارٍ . (رواه أبو داود والدارمي عن عمار بن ياسر)

“Barangsiapa yang mempunyai dua muka di dunia, maka pada Hari Kiamat kelak dia akan diberi dua mulut dari api neraka.” (HR. Abu Dawud dan Ad-Darimi dari Ammar bin Yasir)[5]

Jika seseorang diancam akan diberi dua mulut dari api neraka, artinya orang tersebut pun diancam akan dimasukan ke dalam neraka! Al-Alqami mengatakan, “Orang yang bermuka dua ini diberi dua mulut oleh Allah kelak ketika di neraka, karena dulu saat di dunia dia suka mendatangi dua kelompok berbeda dengan muka yang berbeda pula. Setiap kali datang kepada satu kelompok, dia mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada kelompok lain. Dia mempunyai dua mulut. Maka Allah pun membuatkan dua mulut baginya di neraka.”[6]

* * *

[1] Al-Bukhari (Kitab Al-Adab, Bab Ma Qila fi Dzi Al-Wajhain, hadits nomor 5598) dan Ahmad (Kitab Baqi Musnad Al-Muktsirin, Bab Baqi Al-Musnad As-Sabiq, hadits nomor 10282) dengan redaksi hampir sama, juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Muslim, Abu Dawud, dan Malik, juga meriwayatkan hadits seperti ini, juga dari Abu Hurairah.
[2] Lihat Sunan At-Tirmidzi, Kitab Al-Birr wa Ash-Shilah ‘An Rasulillah, Bab Ma Ja`a fi Dzi Al-Wajhain, hadits nomor 1948. At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”
[3] Lihat syarah hadits ini di Fath Al-Bari/Ibnu Hajar.
[4] Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi/jilid /hlm .
[5] Lihat; Sunan Abi Dawud/Kitab Al-Adab/Bab Fi Dzi Al-Wajhain/hadits nomor 4230, dan Sunan Ad-Darimi/Kitab Ar-Riqaq/Bab Ma Qila fi Dzi Al-Wajhain/hadits nomor 2646.
[6] Lihat; Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud/syarah hadits ini.

Selasa, 27 Juli 2010

Keutamaan Puasa Nishfu Sya’ban


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ .
            “Apabila datang malam nishfu[1] Sya’ban, bangunlah pada malamnya dan puasalah pada siangnya. Sesungguhnya Allah turun di dalamnya ketika terbenam matahari di langit bumi, Dia berfirman; ‘Adakah orang yang minta ampun karena dia akan Aku Ampuni? Adakah orang yang minta rezeki karena dia akan Aku beri rezeki? Adakah orang sakit supaya Aku sembuhkan? Adakah orang yang begini dan begini?’ Demikian sehingga terbit fajar.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah (1378), Al-Fakihi dalam Akhbar Makkah (1773) dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Derajat Hadits: Dha’if Jiddan
            Al-Fatani memasukkan hadits ini dalam Tadzkiratu Al-Maudhu’at.[2]
            Al-Iraqi berkata, “Haditsnya batil, … sanadnya dha’if.”[3]
            Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini tidak shahih.”[4]
            Asy-Syaukani memasukkan hadits ini dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Mau’dhu’ah, nomor 106. Asy-Syaukani berkata, “Disebutkan dalam Al-Mukhtashar, hadits shalat nishfu Sya’ban adalah batil.”
            Al-Albani berkata, “Maudhu’ sanadnya” dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-dha’ifah (2132), dan mengatakannya “Dha’if jiddan atau maudhu’” dalam Dha’if Sunan Ibni Majah (1388).

*   *   *
 

[1] An-Nishfu, artinya separo atau setengah. Malam nishfu Sya’ban adalah malam kelima belas bulan Sya’ban.
[2] Tadzkiratu Al-Maudhu’at/Al-Allamah Muhammad bin Thahir Al-Hindi Al-Fatani/Hlm 45. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[3] Takhrij Ahadits Al-Ihya` (630).
[4] Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Ahadits Al-Wahiyah (923).

Selalu Mengingat Allah di Setiap Waktu


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa mengingat Allah Azza wa Jalla di setiap waktunya. (HR. Muslim dan Abu Dawud)[1]

Demikianlah Nabi kita yang agung, beliau senantiasa ingat kepada Allah di setiap waktu, dalam segala hal, dan dalam kondisi apa pun. Hal ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits yang lalu, betapa hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tak pernah lepas dari mengingat Allah. Dari sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi, beliau selalu mengingat Allah. Bahkan, ketika tidur pun beliau masih tetap ingat kepada Allah, dimana beliau hanya tidur matanya namun tidak tidur hatinya. Bagi beliau, tiada waktu tanpa mengingat Allah atau berdzikir kepada-Nya.

Kebiasaan dan keadaan Nabi yang senantiasa mengingat Allah ini, berbanding lurus dengan apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Taala dalam Al-Quran,
“… Yaitu orang-orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan tidurnya. (Ali Imran: 190-191)

Adapun praktik dari mengingat Allah, caranya bermacam-macam. Bisa dengan berdzikir menyebut nama-Nya atau sebagian dari nama-nama indah-Nya, mengucap-kan kalimat laa ilaaha illallaah,  mengucapkan tasbih, tahmid dan sebagainya, mengawali sesuatu dengan membaca bismillah, senantiasa beristighfar, membaca Al-Quran, berdoa, mengerjakan shalat, berpuasa, dan melakukan berbagai amal kebaikan dalam berbagai bentuknya. Namun yang lebih spesifik sebagaimana dimaksud oleh ayat dan hadits di atas, ialah dengan cara mengucapkan kalimat thayyibah, atau bisa juga dengan senantiasa mengingat Allah di dalam hati tanpa mengucapkannya melalui lisan.

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan firman Allah,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ

Aku bersama sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika dia menyebut-Ku. Maka apabila dia menyebut-Ku dalam dirinya, Aku pun akan menyebutnya dalam diri-Ku. Dan jika dia menyebutku di tengah banyak orang, maka Aku akan menyebutnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka. (Muttafaq Alaih)[2]
*   *   *
 

[1]Lihat; Shahih Muslim, Kitab Al-Haidh, Bab Dzikrillah Ta’ala fi Hal Al-Janabah (2073); dan Sunan Abi Dawud, Kitab Ath-Thaharah, Bab fi Ar-Rajul Yadzkurullah ‘Ala Ghairi Thuhr (17).
[2] Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 3/219, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

Senin, 26 Juli 2010

Nabi Marah Jika Hukum Allah Dilanggar & Tidak Marah Jika Disakiti

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Aisyah Radhiyallahu ‘‘Anha berkata,
مَا نِيلَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا فَانْتَقَمَهُ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ مَحَارِمُ اللهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ .
“Rasulullah Shallallahu ‘‘Alaihi wa Sallam tidak pernah marah jika disakiti. Tetapi jika hukum Allah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah.”[1]

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam misinya mengemban risalah dan menyebarkan dakwah Allah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sering sekali disakiti oleh musuh-musuhnya, terutama ketika masih berada di Makkah sebelum beliau hijrah ke Madinah. Beliau pernah dilempar batu hingga berdarah, pernah diludahi, pernah dilempar kotoran, dikatakan gila, pendusta,  tukang sihir, dan sebagainya. Bahkan beliau juga pernah hampir dibunuh. Namun semua itu beliau hadapi dengan sabar dan ikhlas.

Aisyah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Apakah engkau pernah mengalami hari yang lebih dahsyat daripada waktu perang Uhud?” Kata Nabi, “Sungguh aku pernah menerima perlakuan dari kaummu yang lebih menyakitkan daripada itu. Dan yang paling menyakitkan adalah pada saat hari Aqabah. Ketika itu aku minta tolong pada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, tapi dia tidak memenuhi apa yang aku inginkan. Maka aku pun pergi dengan perasaan sangat sedih. Aku berjalan tanpa sadar ke mana aku melangkah, dan baru sadar saat berada di ujung bukit. Lalu aku mendongakkan kepalaku ke langit, dan tiba-tiba aku dinaungi oleh awan di atasku. Aku pun melihat ke arah awan, ternyata ada Jibril ‘Alaihissalam di sana. Dia memanggilku seraya berkata, ‘Hai Muhammad,  sesungguh-nya Allah Ta’ala mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu. Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau perintah dia apa pun yang engkau mau.’

Kemudian malaikat penjaga gunung itu memanggilku seraya mengucapkan salam kepadaku. Dia berkata, ‘Hai Muhammad, Sesungguhnya Allah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat penjaga gunung, dan Tuhanku telah mengutusku kepadamu agar engkau menyuruhku untuk melakukan apa saja yang engkau kehendaki. Kalau engkau mau, akan aku timpakan dua gunung ini pada mereka!’ Aku berkata, ‘Jangan. Justru aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah Yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun’.”[2]

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu mengisahkan, bahwa suatu hari dia pergi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika itu beliau mengenakan jubah buatan Najran (Yaman). Tiba-tiba datang seorang badui dan menarik selendang yang sedang beliau kenakan dengan sangat kasar. Anas mengatakan, bahwa tarikan orang badui itu sampai membekas di pundak beliau dikarenakan saking kerasnya. Orang badui itu berkata, “Hai Muhammad! Beri aku dari harta Allah yang ada padamu!” Nabi pun menoleh kepadanya seraya tertawa kecil. Kemudian beliau menyuruh salah seorang sahabatnya agar memberikan sejumlah harta kepada orang badui tersebut.[3]

Lihatlah, betapa agungnya pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukannya beliau marah kepada orang badui yang telah menyakitinya itu, namun justru beliau malah tertawa dan mengabulkan apa yang diminta oleh badui tersebut, yakni memberikan uang kepadanya. Akhlak beliau yang agung ini, berbanding lurus dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur‘an Al-Karim,
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ .
“Dan mereka yang menahan amarahnya serta suka memaafkan orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”[4]
Dalam ayat lain disebutkan,
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ .
“Dan barangsiapa yang sabar dan memaafkan, maka sesungguhnya itu adalah perkara yang terpuji.”[5] (Asy-Syura: 43)

Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak pernah marah jika dirinya disakiti. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila yang disakiti adalah Allah. Dalam arti kata, apabila hukum Allah yang dilanggar, maka beliau akan sangat marah.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan, ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berkata, “Sesungguhnya aku ini sering –sengaja– terlambat shalat jamaah subuh dikarenakan si fulan yang senang memperpanjang shalatnya bersama kami.”

Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, bahwa dia tidak pernah melihat Nabi sangat marah seperti hari itu. Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang senang membuat orang lari dari agama. Oleh karena itu, siapa pun di antara kalian yang menjadi imam shalat, maka hendaknya ia memperingan shalatnya. Sebab di belakangnya ada orang tua, anak kecil, dan orang yang mempunyai keperluan!”[6]

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan, bahwasanya kaum Quraisy sedang dipusingkan oleh masalah seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”[7] Sebagian dari mereka berkata, “Siapa lagi yang berani melakukannya kalau bukan Usamah bin Zaid anak kesayangan beliau?”[8] Maka Usamah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah.

Tetapi apa reaksi beliau? Beliau sangat marah kepada Usamah. Beliau berkata, “Apakah engkau akan memberikan perlindungan dalam masalah hukum (had) Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur dikarenakan apabila ada orang terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri adalah orang lemah, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya!”[9]

Kebiasaan beliau yang agung ini, hendaknya dapat kita jadikan pelajaran. Karena sering kita saksikan, dimana seseorang akan marah jika dirinya merasa tersinggung atau disakiti. Namun manakala hukum Allah dilanggar, dia tenang-tenang saja. Khususnya para penguasa, mereka tidak merasa gerah apabila agama Allah dilecehkan, tetapi ketika pemerintahannya dikritik, spontan mereka bereaksi. Termasuk juga kebiasaan para penguasa yang senang melindungi anggota keluarganya atau koleganya yang bersalah. Namun jika yang bersalah adalah orang lain, dengan sigap mereka segera bertindak.

*   *   *


[1] HR. Muslim (6195), Ahmad (25200), Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (7866), Al-Baihaqi dalam Ad-Dala`il (248).
[2] Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 2/227, hadits nomor 1173.
[3] Ibid, 1/225, hadits nomor 629.
[4] QS. Ali Imran: 134.
[5] QS. Asy-Syura: 43.
[6] Ibid, 1/97, hadits nomor 267.
[7] Maksudnya, siapa yang berani berbicara kepada Nabi agar memberikan dispensasi hukuman kepada perempuan Bani Makhzum ini?
[8] Usamah adalah anak Zaid bin Haritsah, dan Zaid adalah anak angkat Rasul ketika di Makkah, dan sebelum turun ayat yang melarang penisbatan seseorang kepada selain bapaknya.
[9] Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 2/185, hadits nomor 1100.

Jumat, 23 Juli 2010

Tidak Menghadap ke Arah Pintu Jika Bertamu

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Abdullah bin Busr Radhiyallahu Anhu berkata,

كانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلْ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ أَوْ الْأَيْسَرِ وَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ . (رواه أبو داود)

"Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, apabila mendatangi pintu suatu kaum; beliau tidak menghadapkan wajahnya ke arah pintu, melainkan ke arah sisi kanan atau kiri seraya mengucapkan assalamu 'alaikum." (HR. Abu Dawud)[1]

Ini adalah suatu adab yang sangat tinggi dan santun dari pribadi seorang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika sedang bertamu atau mendatangi rumah salah seorang sahabatnya. Lihatlah, betapa beliau tidak mau menghadapkan wajahnya yang mulia ke arah pintu dikarenakan memelihara pandangan dari melihat sesuatu yang tidak pantas dilihat dan menjaga perasaan tuan rumah dari rasa sungkan jika dia belum dalam keadaan siap dikunjungi. Beliau lebih memilih menghadapkan wajahnya ke arah kanan atau kiri, demi menghindari melihat ke arah pintu yang jika dibuka akan langsung terlihat isi di dalamnya yang bisa jadi hal itu tidak berkenan bagi si tuan rumah.

"Mendatangi pintu suatu kaum," maksudnya yaitu mendatangi atau bertamu ke rumah sahabatnya. Disebutkannya kata "pintu" di sini, karena memang biasanya orang bertamu itu melalui pintu. Sehingga kata "pintu" ini dianggap mewakili atau sebagai kata ganti atau mempunyai pengertian sebagai rumah. Jadi, yang beliau lakukan ketika bertamu adalah; mengetuk pintu seraya mengucapkan "assalamu'alaikum" dan menghadapkan wajahnya ke arah kanan atau kiri, tidak ke arah pintu.

Tentang mengucapkan salam ketika bertamu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً .

" Apabila kalian akan masuk rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan." (An-Nur: 61)

Demikianlah salah satu kebiasaan beliau dalam bertamu. Seyogyanya kita sebagai umatnya juga mengikuti jejak beliau; tidak berdiri di depan pintu ketika berkunjung ke rumah saudara, teman, tetangga, atau siapa pun, saat menunggu tuan rumah membukakan pintunya. Jangan sampai begitu pintu dibuka, tatapan mata kita langsung bertemu dengan yang membuka pintu, sehingga mengagetkan orang yang membuka pintu jika ternyata kita bukanlah tamu yang ditunggu. Sebab, bisa jadi ketika ada seorang istri sedang menunggu-nunggu temannya sesama perempuan yang akan datang ke rumahnya, ternyata ketika ada orang yang mengetuk pintu dan dia bergegas membuka pintu tanpa bertanya lagi, namun ternyata tamu tersebut adalah seorang laki-laki. Padahal si istri tersebut sedang mengenakan pakaian rumah yang tidak menutupi sebagian auratnya.

Atau, bisa juga karena si tamu dikira adalah orang dekat yang biasa datang ke rumahnya, lalu tuan rumah langsung membukakan pintu tanpa merapikan ruang tamunya atau isi rumahnya yang kebetulan sedang berantakan yang tampak dari luar. Sehingga si tamu pun melihat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh tuan rumah. Apalagi, tidak sedikit orang yang membukakan pintu terlebih dahulu ketika ada orang yang mengetuk pintu (membunyikan bel) sebelum dia mengetahui siapa orang yang datang, sekadar untuk melihat siapa orang yang datang dan memintanya menunggu sebentar di luar tanpa langsung dipersilahkan masuk. Kemudian, setelah ruang tamu atau isi rumah yang tampak dari ruang tamu dibereskan, baru si tamu dipersilahkan masuk.

* * *

[1] Sunan Abi Dawud/Kitab Al-Adab/Bab Kam Marrah Yusallim Ar-Rajul fi Al-Isti`dzan/hadits nomor 4512. Al-Mundziri mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat Baqiyah bin Al-Walid yang ketsiqahannya diperdebatkan. Namun menurut An-Nasa`i, jika Baqiyah memakai kata haddatsana atau akhbarana, maka dia adalah tsiqah (dalam hadits ini Baqiyah memakai kata haddatsana). Adapun Al-Jurjani mengomentari Baqiyah bin Al-Walid dengan la ba`sa (tidak ada masalah).

Kamis, 22 Juli 2010

Tidak Bohong dalam Bergurau

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwasanya para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا .
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau suka mencandai kami.”
Beliau bersabda,
إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا .
‘Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar’.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)[1]

Nabi adalah seorang luwes dan tidak kaku dalam pergaulannya. Beliau sangat akrab bersama para sahabat dan tak jarang beliau mengajak mereka bergurau. Dan terkadang para sahabat yang mencandai beliau. Seperti yang dilakukan Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘Anhu yang makan korma ketika matanya sedang sakit. Nabi berkata kepadanya,
تَأْكُلُ تَمْرًا وَبِكَ رَمَدٌ ؟
“Engkau makan korma padahal matamu lagi sakit?”
Kata Shuhaib, “Aku makan dengan bagian tubuh lain yang tidak sakit, wahai Rasulullah.” Maka Nabi pun tersenyum mendengar jawaban cerdas Shuhaib.[2]

Akan tetapi meskipun senang bergurau, apa yang beliau katakan selalu benar. Beliau sama sekali tidak pernah berbohong dalam candanya. Seperti yang beliau katakan kepada seorang perempuan tua, “Perempuan yang tua tidak akan masuk surga.” Maka perempuan tua itu pun menangis. Lalu beliau berkata lagi, “Wahai ibu, sesungguhnya di surga nanti engkau tidak lagi tua. Karena perempuan di sana semuanya perawan.” Dan beliau pun membaca, “Sesungguhnya Kami akan membuat mereka menjadi muda, dan menjadikan mereka sebagai perawan.” (QS. Al-Waqi’ah: 6)[3]

Pernah suatu hari, ada seorang perempuan bernama Ummu Aiman datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia berkata, “Sesungguhnya suamiku mengundang engkau untuk makan bersama.” Kata Nabi, “Apakah suamimu itu yang di matanya ada putih-putihnya?” Ummu Aiman pun bingung dan mengatakan, bahwa suaminya bukan seperti yang beliau katakan. Namun setelah ia paham apa yang dimaksud Nabi, ia pun tertawa.[4]

Suatu ketika saat sedang dalam perjalanan, ada seorang Badui yang meminta kendaraan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dia naiki dan mengangkut barang bawaannya. Nabi berkata, “Maukah kamu aku beri anak onta?” Orang Badui itu pun berkata, “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak onta?” Kata Nabi, “Memangnya apa yang dilahirkan onta betina kalau bukan onta juga?”[5]

Demikianlah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila bergurau. Beliau sama sekali tidak pernah berbohong. Dan sudah seharusnya jika kita juga menghindari bohong, sekalipun dalam bergurau.

* * *

[1] Musnad Ahmad, Kitab Baqi Musnad Al-Muktsirin (8125) dan Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shilah wa Al-Birr (1913). At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih.

[2] Sunan Ibnu Majah, Kitab Ath-Thib (3434). Syaikh Al-Albani mengomentari hadits ini dalam Shahih Sunan Ibni Majah (3443), “Hasan shahih.”

[3] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syama`il Al-Muhammadiyyah (238). Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (2987).

[4] Lihat Ihya’ Ulumiddin 3/184.

[5] HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syama`il Al-Muhammadiyyah (236). Dishahihkan Al-Albani dalam Tahqiq Misykat Al-Mashabih (4886).

Selalu Memilih yang Lebih Mudah

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disuruh memilih di antara dua perkara, niscaya beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama itu tidak dosa. Adapun jika itu adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa.” (Muttafaq Alaih)[1]

Demikianlah kebiasaan Nabi jika disuruh memilih di antara dua perkara, beliau pasti memilih yang lebih mudah di antara keduanya. Ini adalah manhaj beliau dalam dakwah dan pengajarannya, beliau tidak ingin mempersulit umatnya. Beliau ingin agar umatnya mudah dan ringan dalam menjalankan syariat agamanya, beliau ingin membuat mereka gembira dan tidak ingin membuat mereka lari ketakutan dari ajaran Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا .
“Mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari.” (Muttafaq Alaih)[2]

Menurut DR. Yusuf Al-Qaradhawi, memilih yang lebih mudah (taysir) dalam melaksanakan ajaran agama merupakan suatu keharusan, karena hal ini merupakan sesuatu yang dituntut oleh syariat itu sendiri. Bukan dikarenakan tuntutan realitas atau menyesuaikan dengan zaman, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Dan, pada dasarnya syariat Islam berdiri di atas prinsip kemudahan dan keringanan, sebagaimana disebutkan dengan sangat jelas dalam ayat-ayat Al-Qur‘an dan Sunnah nabawiyah.[3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak ingin menyulitkanmu.” (Al-Baqarah: 185)

Dalam hadits pertama disebutkan, bahwa beliau memilih yang lebih mudah di antara dua perkara, maksudnya yaitu dalam dua perkara yang sama, bukan dalam dua perkara yang berbeda. Karena hal ini jelas tidak mungkin. Dan jika ada dua perkara yang sama di hadapan beliau, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat, maka beliau akan memilih yang lebih mudah dan ringan di antara keduanya, selama hal tersebut tidak mempunyai konsekuensi dosa atau maksiat.

Lebih jelasnya, kita ambil contoh misalnya; memilih antara beribadah dengan memberat-beratkan diri hingga dapat membuat badan sakit dan beribadah dengan porsi yang sedang tetapi intens, maka beliau memilih yang terakhir. Atau jika beliau disuruh memilih antara harus berperang atau berdamai, maka beliau akan memilih berdamai jika memungkinkan. Atau jika disuruh memilih antara berpuasa dalam berjalanan atau berbuka, tentu beliau memilih berbuka. Demikian dan seterusnya.

Terhadap orang yang senang mempersulit dan memberat-beratkan dalam melaksanakan agamanya, baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan mereka,
« هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ » . قَالَهَا ثَلاَثًا .
“Hancurlah orang-orang yang suka memberat-beratkan!” Beliau mengatakannya tiga kali.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud)[4]

Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa al-mutanaththi’un di sini, yaitu mereka yang senang mempersulit dan memberat-beratkan diri dalam urusan agama yang tidak semestinya.[5]

* * *

Hakekat Dakwah dalam Pandangan M. Natsir

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha[1]


Mukaddimah

Saat membahas tema dakwah dalam bukunya yang berjudul Fiqhud Da’wah,[2] Mohamamd Natsir rahimahullah (w. 1993 M) mengawalinya dengan ayat

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ .

“Dan hendaknya ada di antara kamu sekelompok umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh perbuatan makruf, dan mencegah dari perbuatan mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[3]

… yang merupakan suatu ayat yang berkaitan erat dengan dakwah. Seolah-olah Natsir hendak mengatakan bahwa kami adalah kelompok tersebut, kami adalah umat yang menyeru kepada Islam, memerangi segala kemungkaran, dan mengajak orang-orang untuk berbuat baik; melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.

Tentang tafsir ayat ini, Imam Ath-Thabari (w. 310 H) mengatakan, bahwa hendaknya ada suatu jama’ah di antara kaum mukminin yang mengajak kepada Islam yang telah disyariatkan Allah bagi hamba-hambaNya. Mereka menyuruh orang-orang untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya dari sisi Allah. Mereka melarang kekufuran kepada Allah dan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW serta agama yang dibawanya dari sisi Allah. Mereka berjihad dengan tangan dan anggota badannya, sehingga manusia mau tuntuk dan taat. Mereka itulah orang-orang berbahagia, orang-orang yang sukses di sisi Allah, kekal di dalam surga dan kenikmatan-Nya.[4]

Natsir pun barangkali memakai ayat ini sebagai pembuka bukannya tanpa alasan. Sebab, beberapa ayat lain yang berkaitan dengan kewajiban dakwah ditujukan kepada individu. Misalnya, firman Allah yang mengatakan,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ...

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik…”[5]

Adapun ayat yang dipakai Natsir, lebih ditujukan kepada jama’ah atau kelompok. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai umat atau kelompok oleh Natsir adalah Dewan Dakwah Islamiyah atau Masyumi. Wallahu a’lam.


Dakwah Adalah Kewajiban

Setelah menyebutkan sejumlah dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah tentang beban dakwah yang diembankan Allah atas hamba-Nya, Natsir mengambil kesimpulan bahwa hukum berdakwah adalah wajib bagi setiap individu Muslim. Natsir berkata,

“Dari ayat-ayat dan hadits yang kita ulangkan di atas tadi, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa dakwah dalam arti yang luas, adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap Muslim dan Muslimah. Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri daripadanya.”[6]

Natsir juga mengatakan, bahwa dakwah dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fithrah manusia selaku social being (makhluq ijtima’i);[7] dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah, oleh Kitabullah, dan Sunnah Rasul! Bukan monopoli golongan yang disebut ulama atau cerdik-cendekiawan.[8]

Apa yang dikatakan Natsir di sini bisa dibilang kurang spesifik atau dengan kata lain tidak memberikan ruang bagi kemampuan manusia yang terbatas. Bagaimanapun, kewajiban dakwah ini tentu bergantung pada keterbatasan manusia alias sesuai dengan kemampuannya.

Itulah makanya, pada halaman lain, Natsir menambahkan bahwa wajib da’wah adalah kewajiban tiap-tiap Muslim yang mukallaf, tanpa kecuali, dalam kehidupan sehari-hari menurut kemampuan masing-masing.[9]

Dengan demikian, pendapat Natsir dalam masalah hukum dakwah ini secara umum sama dengan pendapat para ulama. DR. Muhammad Manshur berkata,

“Jadi, dakwah ini hukumnya wajib sebatas kemampuan. Karena Allah Ta’ala berfirman; ‘Allah tidak membebani seseorang melainkan sebatas kemampuannya.’ Dia juga berfirman; ‘Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.’ Dalam arti kata, bahwa barangsiapa yang sanggup menyampaikan Islam ke seluruh dunia –dengan sarana telekomunkasi modern saat ini–, maka dakwah ini wajib baginya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala; ‘Dan tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.’ Jadi, Islam itu untuk seluruh dunia. Sedangkan barangsiapa yang sanggup menyampaikannya kepada separo dunia atau ke suatu negara atau sebagiannya atau hanya kepada penduduk suatu wilayah atau kampung atau jalan atau rumah atau sekalipun hanya kepada keluarganya saja; maka dakwah ini wajib baginya.”[10]

Bagaimanapun, kemampuan masing-masing orang memang sangat beragam di mana Allah tidak membenani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا .

“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.”[11]

Menurut Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah (w. 1420 H), pada saat jumlah da’i sedikit sementara kemungkaran merajalela, dan banyak yang tidak mengerti Islam –seperti sekarang ini–, maka hukum dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai kemampuannya. Adapun jika seseorang tinggal di suatu desa atau kota tertentu di mana di sana ada orang yang mengurusi masalah ini, terdapat orang yang berkompeten dalam masalah penyampaian agama, maka hukum dakwah pun menjadi sunnah baginya.[12]

Tidak cukup bagi orang awam, di mana Syaikh Bin Baz menggarisbawahi dengan kalimat “sesuai kemampuannya,” bahkan terhadap para ulama dan pemerintah pun, Syaikh Bin Baz tetap mengatakan bahwa hukum dakwah adalah wajib sebatas kemampuan mereka. Beliau mengatakan,

“Wajib atas ulama sebatas kemampuan mereka, juga atas waliyul amri sebatas kemampuan mereka; hendaknya mereka menyampaikan agama Allah ini dengan segala apa saja yang bisa mereka lakukan. Ini adalah fardhu ‘ain sebatas kemampuan dan kekuasaan.”[13]

Sama seperti para ulama lain, Natsir juga senantiasa memperhatikan ruang kemampuan dan keterbatasan manusia. Sebab, jika setiap orang Muslim semuanya wajib berdakwah, lalu kepada siapa dakwah akan ditujukan? Selain itu, jika kewajiban dakwah ini dipaksakan atas orang yang sangat minim pengetahuan agamanya, tentu akan muncul dampak yang tidak baik, atau setidaknya akan muncul orang-orang yang berbicara tanpa ilmu.


Dakwah Dimulai dari Diri Sendiri dan Keluarga

Kita sepakat bahwa tak mungkin seorang yang tak memiliki sesuatu bisa memberikan sesuatu kepada orang lain. Pepatah Arab mengatakan, “Faaqid Asy-syay`i laa yu’thii” (orang yang tak punya tak bisa memberi). Begitu pula dalam hal berdakwah. Tak mungkin seseorang yang tidak bisa mendakwahi dirinya sendiri dan keluarganya akan bisa berdakwah kepada orang lain dan masyarakat.

M. Natsir berkata,

“Selemah-lemah keadaan seseorang, sekurangnya dia wajib menolak kemungkaran dengan hatinya, kalau dia masih ingin dianggap Allah s.w.t. sebagai seorang yang masih mempunyai iman, walaupun iman yang paling lemah. Yakni: mental, dia berteguh menolak kemungkaran kalaupun lisannya tidak mampu mencegahnya; berpantang dia mempersewakan untuk melapangkan jalan bagi kemungkaran untuk berlaku terus. Physiek, dia menjauhkan diri dari turut-turut serta berbuat mungkar, sekurang-kurangnya anggauta rumah tangganya sendiri yang berada dalam kekuasaan dan tanggung jawabnya, dijaganya supaya jangan terbawa hanyut ikut-ikut berbuat mungkar, dan supaya menghindarkan pergaulan dengan mereka yang terus bergelimang dengan kemungkaran.”[14]

Hal ini diucapkan Natsir ketika dia menjelaskan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ .

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya. Dan apabila masih tak mampu, maka cukup –dia ingkari– dengan hatinya, dan itu adalah iman yang terlemah.”[15]

Meski sepintas lalu, tampak M. Natsir menekankan bahwa seorang Muslim harus menolak segala kemungkaran, minimal dengan hatinya. Walaupun ini adalah selemah-lemah iman, tetapi tersirat dari perkataan Natsir bahwa dakwah harus dimulai dari diri sendiri, yakni mendakwahi diri sendiri untuk mengingkari setiap kemungkaran dan jangan sampai turut serta dalam kemungkaran itu sendiri. Artinya, tidak mungkin seseorang bisa berdakwah kepada orang lain, sementara dirinya sendiri adalah pelaku kemungkaran atau seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat.

Selanjutnya, M. Natsir juga mengatakan, bahwa seorang da’i mesti menjaga anggota rumah tangganya dari kemungkaran. Setelah diri sendiri, keluarga adalah tanggung jawab seorang da’i. Ia adalah amanah yang harus dijaga. Natsir menekankan, agar jangan sampai keluarga yang berada dalam kekuasaan dan tanggung jawabnya terbawa hanyut ikut melakukan perbuatan mungkar. Seorang da’i harus menjaga keluarganya dari bergaul dengan orang-orang yang bergelimang dalam kemungkaran.

Apa yang dikatakan Natsir ini selaras dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا . (التحري : 6)

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka.” (At-Tahrim: 6)

Menukil dari Mujahid dan Qatadah, Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Bertakwalah kamu kepada Allah dan berwasiatlah kepada keluargamu agar juga bertakwa kepada-Nya. Perintahkan mereka agar taat kepada Allah, larang mereka dari perbuatan maksiat kepada-Nya, dan tegakkan ajaran Allah pada mereka.”[16]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Berhentilah kamu dari apa yang dilarang Allah dan lakukan perbuatan taat kepada-Nya. Suruh keluargamu untuk melakukan kebaikan dan laranglah mereka dari perbuatan buruk. Ajari dan didiklah mereka. Takut-takutilah mereka dengan neraka agar melakukan itu semua.”[17]


Berdakwah Harus Berani

Banyak cobaan dan rintangan yang akan dialami seorang da’i. Untuk itu, selain bekal ilmu yang cukup serta pengetahuan metode dakwah, diperlukan juga mental yang kuat. Dibutuhkan keberanian dalam menyampaikan dakwah kepada umat, karena seorang da’i akan berada di front terdepan sebagai ujung tombak penyeru risalah Allah.

M. Natsir berkata,

“Dalam pada itu, da’wah adalah konfrontasi. Konfrontasi dalam suasana kebebasan, berfikir, dan beri’tikad. Di sini tidak ada jalan satu jurusan, ibarat jalan air dalam pembuluh. Sebagaimana seorang muballigh menghadapi orang banyak, orang banyak itu pun mengadapinya dengan bermacam cara dan gayanya pula. Terutama pada permulaan konfrontasi itu, dia akan sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit.”[18]

Kata “konfrontasi” yang dipakai Natsir di sini mengandung makna berani, yakni berani menghadapi risiko dakwah. Berani berdakwah di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, pun berani berdakwah kepada penguasa, mengingatkan mereka jika mereka salah. Berani mengatakan kebenaran sekalipun pahit. Itulah makanya, Natsir menekankan bahwa seorang da'i itu akan sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit.

Natsir mengisahkan saat Nabi diancam dan ditentang keras oleh para tokoh kaum kafir Qurasiy Makkah, di mana beliau tetap berani dan tegar di jalan dakwah. Kata Natsir,

“Waktu beliau (Nabi) mendengar segala ancaman ultimatum dari para pemimpin Quraisy supaya beliau menghentikan saja memanggil orang-orang kepada Tauhied, tidaklah beliau diliputi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya… Beliau lebih rela gugur dalam melaksanakan tugas daripada menyerah kalah dan tunduk kepada gertaka, lalu dihadapinya tantangan dengan jawaban yang setimpal.”[19]

Begitulah seharusnya seorang da'i, harus mempunyai keberanian dalam berdakwah dan tidak ada yang ditakutinya selain Allah semata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا .

“Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah yang hanya takut kepada-Nya dan tiada seorang pun yang mereka takuti selain Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.”[20]

Bahkan terhadap penguasa pun seorang da’i harus berani meluruskannya jika si penguasa bersalah atau melenceng dari kebenaran. Di sini, Natsir memberikan ilustrasi saat Umar bin Khathab berpidato setelah dibaiat sebagai khalifah, di mana ada seorang hadirin yang berteriak lantang mengingatkannya, “Demi Allah, jika kedapatan oleh kami suatu ketidakjujuran pada dirimu, kami akan meluruskannya dengan ujung pedang.”[21]

Keberanian semacam inilah tampaknya yang dikehendaki Natsir. Berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa, apa pun risikonya. Bagaimanapun risiko “berani” dalam berdakwah di tengah-tengah umat tidak seberat “risiko” yang mungkin akan ditanggung saat “berani” menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa, apalagi jika penguasanya adalah penguasa yang lalim. Bahkan, keberanian semacam ini dikategorikan sebagai salah satu jihad paling utama di dalam Islam.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam bersabda,

إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ .

“Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.”[22]


Kisah Air Liur Anjing Antara Natsir dan Soekarno

Di majalah Pandji Islam tahun 1940, Soekarno membuat tulisan berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara. Soekarno memulai tulisannya dengan sebuah cerita tentang anaknya, Ratna Juami, yang melihat anjing kesayangannya menjilat air dalam panci.

“Papi, papi, si Ketuk (nama anjing itu, red) menjilat air dalam panci!” teriak Ratna.

“Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin,” jawab Soekarno. Ratna termenung sebentar. Kemudian ia bertanya, “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci itu mesti dicuci tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah?”

Soekarno menjawab, “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi tenang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti tersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar. Demikian tulis Soekarno.

Natsir mengeritik kisah yang ditulis Soekarno itu sebagai “akal merdeka yang salah pasang”. Natsir berpendapat bahwa ajaran Nabi saw dengan mencuci tujuh kali dan satu kali dengan tanah terhadap bejana yang dijilat anjing bukan semata perbuatan “duniawi”, tapi sebagai sebuah ubudiyah yang sudah diatur caranya oleh Islam, seperti berwudhu dan lain-lain.

Jadi, kalau Soekarno mengatakan tak perlu cuci dengan tanah, cukup dengan sabun, karena zaman Nabi tidak ada sabun, maka kata Natsir, nanti akan ada yang berpendapat, kalau kita terpaksa bertayamum tak perlu dengan tanah lagi. “Dulu orang belum bisa pakai bedak wangi yang lebih higienis dari tanah, sekarang sudah ada bedak wangi. Dus, kalau mau shalat dan terpaksa tayamum, boleh berbedak saja,” sindir Natsir.

Akibat dari akal merdeka itu, kata Natsir agama bukan lagi diinterpretasi, tapi sudah dilikuidasi. Natsir menyatakan, agamalah batas-batas yang telah diberikan Ilahi agar akal merdeka berfungsi dengan semestinya, menjadi lampu petunjuk jalan dan tidak menimbulkan kebakaran yang berkobar-kobar. Dalam agama, kata Natsir, ada hikmah-hikmah tersembunyi dalam syariat-Nya.[23]

Nukilan kisah di atas sejalan dengan keberanian Natsir dalam berdakwah kepada penguasa. Bukan hanya berani saat berhadapan langsung, namun berani juga bisa melalui tulisan. Baik itu sifatnya mengkritik maupun membantah, selama dalam koridor ad-da’wah ilallah.

Namun demikian, berani juga harus dengan pertimbangan. Berdakwah –atau lebih tepatnya mengkritik– pun, juga mesti dengan bekal keilmuan yang cukup serta landasan hujjah yang kuat. Sehingga jika memang berbeda pendapat, setidaknya bisa lebih arif dalam menyikapi perbedaan.

Khusus dalam kasus air liur anjing yang cukup terkenal ini, sesungguhnya terdapat perbedaan pendapat klasik di sana yang sudah terjadi sejak dulu. Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili hafizhahullah mengatakan, bahwa menurut madzhab Hambali, sabun dan alat pembersih lain yang bisa menghilangkan kotoran dapat menggantikan posisi tanah, sekalipun tanah itu ada, dan selama alat pembersih itu tidak merusak tempat bekas jilatan anjing tersebut.[24] Dan dengan rangkaian kalimat yang hampir senada, para ulama Kuwait juga mengatakan hal yang sama dalam kitab Ensiklopedi Fiqih mereka.[25]

Jauh sebelumnya, Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 676 H) berkata,

“Menurut pendapat yang paling benar, sabun dan kreolin serta yang sejenisnya dapat menggantikan posisi tanah. Tidak ada perbedaan antara ada tanahnya atau tidak.”[26]

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali rahimahullah (w. 620 H) menyebutkan dua pendapat dalam Al-Mughni, salah satunya adalah bolehnya menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya untuk menghilangkan najis bekas jilatan anjing karena ia lebih bisa menghilangkan kotoran daripada tanah. Adapun kenapa teks yang dipakai adalah kata “tanah”, itu merupakan penekanan dalam hal penghilangan najis di mana tanah adalah barang keras yang bisa menghilangkan najis, jadi bisa saja dipakai barang lain yang semacamnya.[27]

Salah seorang ulama besar Saudi saat ini, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid hafizhahullah berkata,

“Para ulama berbeda pendapat, apakah wajib menggunakan tanah ataukah boleh memakai sarana pembersih yang lain semisal sabun dan alat-alat pembersih yang lain? Dalam hal ini, madzhab Imam Asy-Syafi’i[28] mengatakan wajibnya menggunakan tanah dan tidak boleh menggunakan selain tanah, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam jelas menyebutkan kata “tanah” dan memerintahkan untuk menggunakannya. Adapun menurut madzhab Imam Ahmad, adalah boleh menggunakan selain tanah seperti sabun dan yang semacamnya.”[29]

Demikian sedikit koreksi atas keberanian M. Natsir yang mengkritik Soekarno dalam masalah menyucikan bekas jilatan atau air liur anjing. Meluruskan kesalahan pemerintah dan memperingatkannya jika salah adalah bagian dari dakwah. Dan dalam berdakwah terhadap penguasa memang harus berani. Tetapi, terkadang kebenaran itu bisa saja berpihak kepada orang yang awam agama sekalipun yang bersangkutan tidak menyadarinya. Sebaliknya, terkadang seorang ulama pun bisa saja tergelincir dalam kesalahan jika dia tidak berhati-hati dalam pendapat maupun sikapnya. Wallahu a’lam.


Khatimah

Sungguh, terlalu banyak hakekat dakwah dalam pemikiran dan kehidupan M. Natsir yang bisa dikaji. Sebab, pada dasarnya M. Natsir sendiri pada dasarnya telah menjadikan hidupnya ini sebagai ladang dakwah. Di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun, M. Natsir senantiasa berdakwah. Dan, inilah sejatinya hakekat dakwah. Berdakwah di segala lini kehidupan.

Dalam dunia politik misalnya, M. Natsir berusaha menjadikannya sebagai ladang dakwah, tanpa harus memolitisasinya. “Kita tidak lagi mengadakan dakwah dengan cara-cara politik, namun terlibat dalam aktifitas-aktifitas politik dengan cara-cara dakwah hasilnya akan sama,” kata Natsir suatu ketika.[30]

AM Fatwa mengatakan, bahwa Natsir memadukan dunia yang berbeda yakni antara dakwah dan politik. Bagi Natsir, kunci keduanya adalah akhlak karimah. Jadi, seorang dai harus mempunyai akhlak mulia, sedangkan politisi harus mempunyai fatsoen politik.[31]

Terakhir, sikap toleransi beragama yang dipadu dengan ketegasan aqidah adalah salah satu karakter dakwah Natsir dalam hubungannya dengan umat agama lain. Natsir berkata,

“Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antar agama bukanlah toleransi yang bersifat pasif. Ia itu aktif! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam-macam perbedaan. Bukan itu saja! Kemerdekaan beragama bagi seorang muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya.”[32]

Selamat jalan Pak Natsir, semangat dakwahmu akan dilanjutkan oleh generasi penerusmu. Semoga.


* * *


DAFTAR PUSTAKA


1. Al-Qur`an Al-Karim

2. Abdul Aziz binAbdillah bin Baz, Ad-Da’wah Ilallah wa Akhlaq Ad-Du’ah. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

3. Abdullah bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi, Al-Mughni, Jld I, Hlm 88, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

4. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq: Syaikh Abu Mazin Al-Mishri, Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyah: Kairo, tanpa keterangan cetakan dan tahun.

5. Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim, tahqiq: Syaikh Sami Muhammad Salamah, Penerbit Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Riyadh, Cet. II, Th. 1999 M – 1420 H.

6. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an, Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Kairo – Mesir, Cet. 1, Th. 2000 M/1420 H.

7. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi Asy-Syafi’i (w. 516 H), Ma’alim At-Tanzil fi At-Tafsir, Tahqiq: Syaikh Muhammad Abdullah An-Namr, Penerbit Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Riyadh, Cet. IV, Th. 1997 M – 1417 H.

8. Majalah Al-Mujtama’, Edisi 3, Th. I, 14 Rajab 1429 H – 17 Juli 2008, Hlm 24.

9. Majalah Sabili, Edisi khusus 100 Tahun Mohamad Natsir, Tahun 2009 M, Hlm 116.

10. M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H.

11. _______, Demokrasi di Bawah Hukum, Penerbit Media Da'wah: Jakarta, Hlm 22, Cet. III, t. 2002 M – 1423 H; dan Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 127.

12. _______, Capita Selecta, Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta: Jakarta, Cet. II, Th. 2008 M, Jld II.

13. Muhammad bin Abdirrauf Al-Munawi Al-Mishri, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, Tahqiq: Syaikh Ahmad Abdussalam, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: Beirut, Cet. I, Th.1994 M – 1415 H.

14. Muhammad Manshur DR., Ad-Da’wah Al-Fardiyah Wasa`il wa Mafahim, Penerbit Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah; Kairo, Cet. I, Th. 2003 M – 1424 H.

15. Muhammad Shalih Al-Munjid, Fatawa Al-Islam Su`al wa Jawab. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

16. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah

17. ________, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

18. Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, Tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Azhim, Penerbit Dar At-taqwa li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Kairo, tanpa keterangan cetakan, Th. 2004 M.

19. ________, Riyadh Ash-Shalihin. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

20. Wahbah Az-Zuhaili Prof. DR., Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Penerbit Dar Al-Fikr: Damaskus, Cet. IV edisi revisi, Th. 1997 M – 1418 H.

21. Wizarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah (Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman) Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Penerbit Dar As-Salasil: Kuwait, Cet. II. Th. 1404 H. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

22. Dan lain-lain (kitab-kitab matan hadits).

* * *



[1] Makalah ini ditulis dalam rangka pelaksanaan tugas mata kuliah Kajian Pemikiran Tokoh: Pemikiran dan Dakwah M. Natsir, di bawah bimbingan DR. Mohammad Noer dan tim hafizhahumullah, pada Program S2 Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Pendidikan Islam, Konsentrasi Pendidikan dan Pemikiran Islam.

[2] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 111.

[3] QS. Ali ‘Imran: 104.

[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an, Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Kairo – Mesir, Cet. 1, Th. 2000 M/1420 H, Jilid VII, Hlm 90-91.

[5] QS. An-Nahl: 125.

[6] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 121.

[7] Ibnu Khaldun (w. 808 H) mengistilahkannya sebagai, “Al-Insan madaniyy bi ath-thab’i” (manusia itu secara tabiat adalah makhluk sosial). Lihat; Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Tahqiq: Syaikh Abu Mazin Al-Mishri, Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyah: Kairo, Hlm 44, tanpa keterangan cetakan dan tahun.

[8] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 121.

[9] Ibid, Hlm 129.

[10] DR. Muhammad Manshur, Ad-Da’wah Al-Fardiyah Wasa`il wa Mafahim, Penerbit Dar At-Tauzi’ wa An-Nasyr Al-Islamiyyah; Kairo, Cet. I, Th. 2003 M – 1424 H, Hlm 5-6.

[11] QS. Al-Baqarah: 286.

[12] Syaikh Bin Baz, Ad-Da’wah Ilallah wa Akhlaq Ad-Du’ah, Hlm 17. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[13] Ibid.

[14] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 125-126.

[15] HR. Muslim (186), Ibnu Majah (4003), Ahmad (10651), Abdurrazaq (5649), Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/7297), Ibnu Hibban (308), dan lain-lain; dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu.

[16] Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim, tahqiq: Syaikh Sami Muhammad Salamah, Penerbit Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Riyadh, Cet. II, Th. 1999 M – 1420 H, Jld IV, Hlm 167.

[17] Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi Asy-Syafi’i (w. 516 H), Ma’alim At-Tanzil fi At-Tafsir, Tahqiq: Syaikh Muhammad Abdullah An-Namr, Penerbit Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Riyadh, Cet. IV, Th. 1997 M – 1417 H, Jld VIII, Hlm 169.

[18] M. Natsir, Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 147.

[19] Ibid, hlm 153.

[20] QS. Al-Ahzab: 39.

[21] M. Natsir, Demokrasi di Bawah Hukum, Penerbit Media Da'wah: Jakarta, Hlm 22, Cet. III, t. 2002 M – 1423 H; dan Fiqhud Da’wah, Penerbit Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah: Jakarta, Cet. XIII, Th 2008 M – 1429 H, Hlm 127.

Natsir menyebutkan kisah ini cukup panjang lebar dan sebuah kisah lain tentang Umar ketika dia diprotes seseorang yang menanyakan asal muasal kain pakaian yang dikenakannya, dalam dua buku ini.

[22] HR. Ahmad (10716), An-Nasa`i (4138), Ibnu Majah (4002), Al-Hakim (8685), Ath-Thabarani (Al-Kabir/8007), Abu Ya'la (1063), dan lain-lain; dari Abu Said Al-Khudri, Abu Umamah Al-Bahili, dan Thariq bin Syihab Radhiyallahu 'Anhum.

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir (210), An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin (197), dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (491) dan Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir (1980).

[23] Lihat; Majalah Al-Mujtama’, Edisi 3, Th. I, 14 Rajab 1429 H – 17 Juli 2008, Hlm 24.

[24] Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Penerbit Dar Al-Fikr: Damaskus, Cet. IV edisi revisi, Th. 1997 M – 1418 H, Jld I, Hlm 289.

[25] Lihat; Wizarah Al-Awqaf wa Asy-Syu`un Al-Islamiyah (Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman) Kuwait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Penerbit Dar As-Salasil: Kuwait, Cet. II. Th. 1404 H, Jld XIV, Hlm 50. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[26] Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, Tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Azhim, Penerbit Dar At-taqwa li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Kairo, tanpa keterangan cetakan, Th. 2004 M, Jld II, Hlm 535.

[27] Abdullah bin Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi, Al-Mughni, Jld I, Hlm 88. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[28] Namun, tidak semua ulama madzhab Syafi’i sependapat dengan Imam Asy-Syafi’i dalam hal ini. Imam An-Nawawi adalah salah satunya, sebagaimana kami sebutkan sebelumnya.

[29] Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid, Fatawa Al-Islam Su`al wa Jawab, Hlm 4589, pertanyaan nomor 46314. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[30] Andy Sulistiana, artikel berjudul “Memadukan Dakwah dan Politk”, dalam Majalah Sabili, Edisi khusus 100 Tahun Mohamad Natsir, Tahun 2009 M, Hlm 116.

[31] Ibid.

[32] M. Natsir, Capita Selecta, Penerbit Abadi dan Yayasan Capita Selecta: Jakarta, Cet. II, Th. 2008 M, Jld II, Hlm 315-316.

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...