Oleh: Abduh Zulfidar Akaha[1]
Mukadimah
Dibanding Yahudi, pembahasan tentang agama Kristen[2] pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebetulnya lebih menarik. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama; karena baik di Madinah maupun di Makkah, kaum muslimin tidak berinteraksi secara intens dengan kaum Nasrani. Kedua; tidak pernah terjadi peperangan fisik antara kaum muslimin dengan kaum Nasrani, setidaknya hingga tahun 8 H. Ketiga; Nabi pernah meminta tolong kepada Raja Najasyi yang saat itu masih beragama Nasrani untuk memberikan jaminan kepada para sahabat yang hijrah ke Habasyah, negeri kekuasaan Najasyi.
Peta Agama Kristen dan Beberapa Agama lain Pada Masa Nabi
Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w. 751 H), umat Nasrani pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah tersebar di sebagian belahan dunia. Di Syam, (hampir) semua penduduknya adalah Nasrani. Adapun di Maghrib, Mesir, Habasyah, Naubah, Jazirah, Maushil, Najran, dan lain-lain, meski tidak semuanya, namun mayoritas penduduknya adalah Nasrani.
Sedangkan Yahudi, kebanyakannya ada di Yaman, Khaibar, Madinah dan sekitarnya, serta minoritas di pinggir Syam dan Persia. Sementara Majusi, mereka menguasai kerajaan Persia berikut seluruh negeri kekuasaannya.
Agama Sha`ibah, yang juga disebutkan dalam Al-Qur`an, terdapat di Harran, dan sebagian besar negeri kekuasaan Romawi. Adapun orang-orang musyrik penyembah berhala, mereka ada di seluruh jazirah Arab, India, Turki, dan lain-ain.[3]
Apa yang diutarakan Ibnul Qayyim bisa dibilang kurang lengkap, karena Eropa hampir tak disinggung sama sekali. Bahkan, saat menyebut Romawi pun, Ibnul Qayyim justru mengaitkannya dengan agama Sha`ibah, bukan Nasrani. Padahal, sejarah mengatakan bahwa dua kerajaan besar di dunia saat itu adalah Persia dan Romawi. Persia beragama Majusi dan Romawi beragama Kristen. Demikian pula yang dinyatakan dalam Al-Qur`an pada awal surat Ar-Rum, di mana waktu itu Nabi dan kaum muslimin cenderung lebih suka jika yang menang adalah Romawi karena mereka Ahlu Kitab (Nasrani). Sementara kaum musyrikin lebih menyukai jika yang menang adalah Persia, karena sama-sama penyembah benda mati (ahlul awtsan).[4] Kaum musyrikin menyembah berhala, sedangkan orang-orang Persia menyembah api.
Sekadar catatan, pada tahun 64 M, ketika terjadi kebakaran hebat di kota Roma, Italia, sudah ada orang-orang Kristen di sana, di mana saat itu Kaisar Nero menyalahkan orang-orang Kristen sebagai penyebabnya.[5]
Pada tahun 177 M, Ireneus diangkat menjadi Uskup Lyons (Perancis) dan memerangi ajaran-ajaran sesat yang merundung gereja. Dan pada tahun 312 M, saat Kaisar Romawi Konstantinus I masuk Kristen, dia menjadikan Kristen sebagai agama resmi kerajaan Romawi. Pada masa Konstantin I yang dikenal sebagai Konstantin Agung ini pula lahir Konsili Nikea I,[6] tahun 325 M.[7]
Lalu, pada 387 M di Milan, Agustinus Hippo menjadi orang Kristen. Dia menulis buku berjudul Confessionum (Buku Pengakuan) dan De Civitate Dei (Kota Allah) yang masih banyak dibaca umat Kristen hingga saat ini. Melalui Patrick, pada tahun 432 M, Kristen masuk ke Irlandia. Kemudian pada 563 M, Columbia membawa Kristen masuk ke Skotlandia dan mendirikan pusat misi kerahiban yang melegenda di Iona. Dan pada tahun 664 M, di Inggris, Sinode Whitby memutuskan bahwa gereja Inggris akan berada di bawah otoritas gereja Roma.[8]
Sebagai komparasi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lahir di Makkah tahun 571 M dan wafat 633 M[9] di Madinah. Artinya, sesungguhnya waktu itu agama Kristen telah banyak dipeluk oleh masyarakat Eropa dan menjadi mayoritas di sebagian Negara, seperti Italia, Perancis, dan Inggris.
Kristen di Makkah
Beberapa waktu sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lahir, terjadi peristiwa penyerbuan pasukan gajah yang dipimpin Abrahah ke Makkah. Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah. Namun, sebelum Abrahah dan pasukannya sampai di Makkah, mereka dihancurkan terlebih dahulu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengirimkan pasukan burung Ababil. Burung-burung ini menjatuhkan batu-batu panas membara yang berasal dari neraka Sijjil dari cengkeraman kakinya kepada Abrahah dan pasukannya, termasuk kepada gajah-gajah yang mereka kendarai.[10] Para ulama mengatakan, bahwa Abrahah ini beragama Nasrani.[11]
Tiada diketahui secara pasti pengaruh penyerbuan Abrahah dan pasukannya ke Makkah yang tak kesampaian ini, selain adanya sebagian tawanan yang beragama Nasrani. Itu pun tidak terdengar adanya aktifitas agama Nasrani di Makkah dalam kurun waktu antara peristiwa penyerangan pasukan bergajahnya Abrahah hingga diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ringkas cerita, esok hari sepulangnya kembali Nabi ke rumahnya dari gua Hira setelah menerima wahyunya yang pertama, beliau pun dibawa istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘Anha untuk menemui anak pamannya (saudara sepupu), Waraqah bin Naufal. Usai mendengar penuturan Nabi, Waraqah berkata, “Ini adalah Namus (Malaikat Jibril) yang dulu turun kepada Musa. Duhai kalau saja aku saat itu masih muda belia. Andai aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Apakah mereka akan mengusirku?” Kata Waraqah, “Ya. Tidak ada seorang (nabi) pun yang datang membawa risalah sepertimu, melainkan pasti dimusuhi. Dan jika pada hari itu aku masih hidup, aku akan menolongmu dengan pertolongan yang gigih.” Tak lama setelah itu, Waraqah pun meninggal dunia, dan wahyu sempat terputus beberapa waktu. [12]
Tentang Waraqah, para ulama menyebutkan bahwa ia adalah seorang kakek yang sudah tua dan penglihatannya sudah buta. Ia adalah seorang pendeta Nasrani yang telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Waraqah menguasai bahasa Ibrani, dia menulis Injil dalam Ibrani.[13] Adapun Ibnu Taimiyah, dia menyebut Waraqah sebagai seorang ulama besar dari jajaran para ulama Nasrani.[14] Dan, biasanya hanya sampai di sini kisah Waraqah. Tidak disebutkan pengaruh Waraqah dalam penyebaran agama Nasrani di Makkah atau wilayah Hijaz secara umum.
Keislaman Najasyi
Najasyi memang tidak hidup di Arab, apalagi di Makkah. Najasyi adalah Raja Habasyah, atau Ethiopia sekarang. Raja Najasyi perlu kami sebutkan di sini, karena dia bukan sekadar beragama Nasrani saja. Namun, dia adalah seorang Nasrani yang berpindah memeluk agama Islam. Najasyi beriman kepada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ketika kaum muslimin di Makkah semakin tertekan oleh kaum kafir Quraisy dan kebebasan beribadahnya terkekang, Nabi pun memerintahkan sebagian mereka untuk berhijrah ke Habasyah. Beliau bersabda,
إِنَّ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ مَلِكًا لَا يُظْلَمُ أَحَدٌ عِنْدَهُ ، فَالْحَقُوْا بِبِلَادِهِ حَتَّى يَجْعَلَ اللهُ لَكُمْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيْهِ .
“Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja di mana tidak seorang pun yang terzhalimi di sisinya. Pergilah kalian ke negerinya sehingga Allah memberikan kemenangan dan jalan keluar dari yang kalian alami sekarang ini.”[15]
Nama aslinya adalah Ashhamah. Najasyi adalah sebutan atau gelar bagi raja-raja Habasyah. Ibnul Atsir menyebutkan, bahwa Najasyi adalah Raja Habasyah yang masuk Islam pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berbuat baik kepada kaum muslimin yang hijrah ke negerinya.[16] Ketika kaum kafir Quraisy mengirimkan utusannya[17] untuk meminta Najasyi agar mengembalikan orang-orang Islam kepada mereka, Najasyi menolak.[18]
Ummu Salamah Radhiyalahu ‘Aha menceritakan, saat itu Najasyi meminta kaum muslimin yang datang kepadanya untuk menyampaikan sebagian ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Ja’far bin Abi Thalib maju mewakili kaum muslimin. Dibacakannya surat Maryam. Najasyi pun menangis mendengarnya hingga janggutnya basah terkena tetesan air matanya. Para uskup yang hadir juga turut menangis. Lalu Najasyi berkata, “Sesungguhnya perkataan ini dan apa yang dibawa oleh Isa benar-benar keluar dari satu sumber yang sama.”[19]
Dalam hadits shahih dikisahkan, bahwa pada hari Najasyi meninggal, Nabi mengabarkan berita duka tersebut kepada para sahabat. Lalu, beliau pergi ke masjid dan shalat ghaib dengan empat kali takbir bersama para sahabat untuk Raja Najasyi.[20]
Riwayat lain menyebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
إِنَّ أَخَاكُمْ النَّجَاشِيَّ قَدْ مَاتَ فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَيْهِ .
“Sesungguhnya saudaramu Najasyi telah meninggal, maka berdirilah kalian untuk menshalatkannya.”[21]
Addas An-Ninawa
Wafatnya Abu Thalib yang tak berapa lama kemudian disusul oleh Khadijah istri tercinta menghadap Rabb-nya, membuat Nabi sangat berduka cita. Lebih dari itu, kaum kafir Quraisy semakin berani menyakiti beliau (dan kaum muslimin), di mana sebelumnya mereka tidak berani melakukannya saat Abu Thalib masih hidup. Mereka semakin menjadi-jadi dalam menghalangi risalah dakwah.
Nabi pun lalu pergi ke Thaif mencari pertolongan dan perlindungan, seraya berharap mereka mau menerima dakwah beliau. Akan tetapi, mereka tidak mau menolong dan enggan menerima dakwah beliau. Bahkan, beliau dikejar oleh anak-anak dan orang-orang bodoh Thaif yang melempari beliau dengan batu sehingga wajah beliau berdarah terkena lembaran batu. Mereka terus mengejar-ngejar Nabi bahkan sambil tertawa sampai Nabi tiba di depan halaman rumah milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah, yang kebetulan adalah orang Makkah, sama seperti Nabi.
Kejaran itu berhenti. Nabi pun duduk istirahat di sana, di depan halaman rumah Utbah dan Syaibah yang melihat kondisi beliau. Muncul rasa kasihan mereka berdua pada Nabi. Lalu, mereka memanggil bujangnya yang bernama Addas untuk memberikan sedikit makanan kepada beliau.
Addas pun membawakan untuk Nabi dan berkata, “Makanlah.” Addas heran, karena ketika Nabi hendak memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya, Nabi membaca: Bismillah.. Addas memandang ke arah Nabi dan berkata, “Demi Allah, sungguh perkataan ini tidak pernah diucapkan oleh penduduk kota ini.” Nabi berkata, “Dari mana asalmu dan apa agamamu, hai Addas?” Jawab Addas, “Aku beragama Nasrani dan berasal dari Ninawa.”[22]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Dari desanya laki-laki shalih Yunus bin Mata.” Addas berkata, “Memangnya apa yang engkau tahu tentang Yunus bin Mata? “Jawab Nabi, “Dia itu saudaraku. Dia Nabi dan aku juga Nabi.” Maka, Addas pun bersungkur sujud. Dia cium kepala, dua tangan, dan dua kaki Nabi.
Ketika Addas kembali, Utbah dan Syaibah berkata, “Celaka kau, hai Addas! Kenapa kau cium kepala, tangan, dan kaki orang itu? Addas menjawab, “Wahai tuanku, tidak ada sesuatu pun di bumi yang lebih baik dari laki-laki ini. Sesungguhnya dia telah memberitahukan kepada bahwa dia adalah seorang Nabi.” Utbah dan Syaibah berkata, “Celaka kau Addas, jangan sampai dia memalingkan dirimu dari agamamu, karena agamamu itu lebih baik daripada agamanya.”[23]
Meski kisah persinggungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sejarah cukup singkat dan tidak disebutkan secara tegas keislamannya, sebagian ulama ada yang memasukkan Addas An-Ninawa ke dalam golongan sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Di antara para ulama besar yang memasukkan Addas sebagai sahabat Nabi, yaitu: Abu Nu’aim Al-Ashbahani,[24] Ibnu Hajar Al-Asqalani,[25] dan Ibnul Atsir Al-Jazari.[26] Terlepas dari masuk Islam atau tidaknya Addas, yang jelas, menurut kami, pengaruh Addas tidak begitu signifikan dalam dakwah penyebaran Islam.
Kristen Arab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) berkata, “Dan datang sekelompok orang dari kalangan Ahlu Kitab dari kaum Nasrani kepada beliau di Makkah. Mereka pun beriman kepada beliau sekalipun diganggu dan disakiti oleh kaum musyrikin Makkah. Mereka bersabar atas cobaan yang mereka hadapi. Maka, Allah pun menurunkan firman-Nya,
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ . وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آَمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ . أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ . وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ . (القصص: 52-55)
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur`an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur`an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur`an) kepada mereka, mereka berkata; ‘Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur`an itu adalah kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya).’ Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan mereka menafkankan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya seraya berkata; ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al-Qashash: 55)[27]
Dalam Dala`il An-Nubuwwah, Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Ishaq, bahwa saat masih di Makkah, pernah ada dua puluh orang laki-laki beragama Nasrani yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka mendengar kabar tentang Nabi ketika berada di Habasyah. Di Makkah, mereka mendapatkan Nabi sedang berada di sebuah majlis. Mereka pun bertanya dan berbicara dengan Nabi. Sementara itu, banyak orang kafir Quraisy yang berkumpul di sekitar Ka’bah.
Kepada “para tamu” ini, Nabi menjawab semua pertanyaan mereka dan menyampaikan dakwahnya. Beliau juga membacakan Al-Qur`an kepada mereka sehingga menangis meneteskan air matanya. Kemudian, mereka pun memenuhi ajakan dakwah Nabi. Mereka beriman kepada Nabi, membenarkan kenabiannya, dan meyakini bahwa beliau adalah Nabi yang dijanjikan dalam Injil.
Ketika mereka pergi meninggalkan Nabi, mereka dihadang oleh Abu Jahal dan sejumlah orang dari suku Quraisy yang mencela perbuatan mereka yang mengkhianati agama lama mereka (Kristen) dan mengatakan mereka sebagai orang-orang yang dungu karena percaya kepada apa yang dikatakan Muhammad. Kaum Nasrani Najran yang telah masuk Islam ini pun berkata, “Keselamatan atas kalian. Kami tidak mau berurusan dengan kalian. Bagi kami amal kami dan bagi kalian amal kalian. Kami tidak menginginkan apa pun bagi diri kami kecuali kebaikan.” Dan, turunlah beberapa ayat dari surat Al-Qashash yang berkenaan dengan mereka.[28]
Ibnu Sayyidin Nas mengawali kisah ini dengan judul bab Dzikr Khabar Ahli Najran (Penyebutan Kabar tentang Penduduk Najran). Lalu, Ibnu Sayyidin Nas pun menyebutkan hadits Ibnu Ishaq di atas.[29] Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (w. 774 H) berkata, “Ada yang mengatakan bahwa orang-orang Nasrani ini berasal dari Najran.”[30]
Pengiriman Delegasi Kepada Raja-raja Kristen
Pada tahun 8 H,[31] setelah perjanjian damai Hudaibiyah dan masih dalam masa gencatan senjata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirimkan utusan-utusan kepada para raja dan pemuka kabilah di sekitar jazirah Arab, termasuk kepada para penguasa Kristen seperti; Kaesar (Qaishar) Raja Syam, Heraklius Raja Romawi, dan Muqauqis Raja Mesir,[32] serta Raja Najasyi di Habasyah.
Kepada Heraklius,[33] Nabi mengutus Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi Radhiyallahu ‘Anhu untuk menyerahkan suratnya. Nabi menulis dalam suratnya,
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah untuk Heraklius Raja Agung Romawi. Keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk.
Amma ba’du… Sesungguhnya aku mengajakmu dengan dakwah Islam. Masuk Islamlah, engkau akan selamat. Allah akan memberimu pahala dua kali. Tetapi jika engkau berpaling, maka engkau berdosa seperti dosanya orang-orang Aris (al-arisiyyin).[34]
Katakanlah; ‘Hai Ahlu Kitab, kemarilah menuju satu kalimat yang sama antara kami dan kalian, yakni janganlah kita menyembah selain Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Jangan pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah; Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam.”[35] (Ali ‘Imran: 64)
Syaikh Muhammad Al-Khudhari rahimahullah menyebutkan, Syuja’ bin Wahab diutus kepada Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani, Raja Syam. Kepada Muqauqis Raja Mesir,[36] Nabi mengutus Hathib bin Abi Balta’ah. Sedangkan kepada Raja Najasyi di Habasyah, diutus Amr bin Umayah Adh-Dhamri.[37] Adapun surat-surat lainnya isinya tidak jauh berbeda dengan surat yang beliau kirim kepada Heraklius.
Utusan Kaum Nasrani Najran
Kisah kedatangan utusan kaum Nasrani Najran ke Madinah sangat terkenal. Persinggungan Nabi dan kaum muslimin bersama mereka banyak diabadikan dalam hadits, kitab tarikh, dan tafsir. Ayat yang turun berkenaan dengan mereka pun ada dalam Al-Qur`an. Kepada mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengirimkan sepucuk surat,
“Dengan nama Tuhannya Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Amma ba’du, sesungguhnya aku mengajak kalian untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada sesama hamba-Nya. Aku juga mengajak kalian untuk tunduk kepada kekuasaan Allah dan meninggalkan ketundukan kepada kekuasaan sesama hamba-Nya. Apabila kalian menolak, kalian harus membayar jizyah. Dan jika tidak mau membayar pajak, maka aku akan mengumumkan perang pada kalian. Wassalam.”[38]
Surat ini membuat Kaum Nasrani Najran gentar. Mereka lalu mengirimkan utusannya sebanyak 60 orang laki-laki –di mana 24 orang di antaranya adalah tokoh pemuka agama mereka– di bawah pimpinan Syurahbil bin Wada’ah Al-Hamdani[39] pergi ke Madinah untuk menjumpai Rasulullah. Rombongan ini sampai Madinah bertepatan setelah kaum muslimin usai menunaikan shalat ashar. Mereka masuk masjid dan melakukan shalat menurut cara mereka dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis. Para sahabat pun ingin mencegah apa yang mereka lakukan. Namun Nabi berkata, “Biarkanlah mereka sampai menyelesaikan ibadahnya.”
Semula, mereka hendak menemui Nabi dengan memakai pakaian mewah berlapis sutera sembari mengenakan cincin emas. Tetapi Nabi enggan berbicara dengan mereka sehingga mereka kembali mengenakan pakaian biasa tanpa perhiasan.
Di antara mereka ada yang bertanya kepada Nabi, “Hai Muhammad, apakah engkau ingin kami sembah sebagaimana Isa bin Maryam disembah?” Nabi berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan menyembah selain Allah atau menyuruh orang agar menyembah selain-Nya. Bukan untuk itu aku diutus dan Dia juga tidak memerintahkanku demikian.”
Allah pun menurunkan firman-Nya,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ . وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ .
“Tidak selayaknya bagi seorang manusia yang Allah berikan Al-Kitab, hikmah dan kenabian kepadanya, lalu dia berkata kepada manusia; ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata); ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.. Dan, (tidak juga tidak layak dia) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (Ali ‘Imran: 79-80)
Kemudian, Nabi menjelaskan sedikit tentang agama Islam kepada orang-orang Najran dan mengajak mereka masuk Islam. Tetapi mereka menolak. Mereka berkata, “Kami sudah masuk Islam sebelum kamu.” Nabi berkata, “Kalian berdusta. Kalian tidak mau masuk Islam karena kalian menganggap Allah punya anak. Kalian juga menyembah salib dan makan babi.”
Lalu, Nabi pun berdebat dengan kaum Nasrani Najran dalam masalah Nabi Isa ‘Alaihissalam. Nabi menjelaskan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, Isa adalah manusia biasa. Namun mereka bersikeras bahwa Isa adalah bukan manusia biasa, Isa adalah anak tuhan dan sekaligus juga sebagai tuhan.
Ketika perdebatan tak kunjung usai dan Nabi melihat tampaknya mereka akan tetap ngotot, Nabi pun menyudahi perdebatan hari itu. Nabi minta waktu hingga esok hari. Dan, Allah menurunkan firman-Nya,
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ . الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ . فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ . (آل عمران : 59-61)
“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah itu seperti Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya; ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia. Itulah kebenaran yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa setelah datang ilmu kepadamu, maka katakanlah; ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, dan diri kami juga diri kalian; lalu mari kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (Ali ‘Imran: 59-61)
Esoknya, Nabi pun keluar menemui utusan kaum Nasrani Najran bersama Ali, Fatimah, dan dua cucunya, Hasan dan Husain, untuk bermubahalah. Utusan Najran mendengarkan baik-baik penjelasan dan ajakan Nabi untuk mubahalah. Mereka melihat ke arah Fatimah dan dua anak kecilnya. Mereka teringat anak istri mereka di rumah. Mereka takut dan gentar. Mereka sangat takut jika Muhammad benar-benar Nabi, maka akan hancurlah mereka beserta keluarganya.
Orang-orang Narani Najran tidak berani melayani tantangan mubahalah dari Nabi. Mereka berkata, “Sungguh kami takut jika dia adalah benar-benar Nabi, sementara doa Nabi itu tidak sama dengan orang biasa.” Lalu, mereka pun menawarkan perjanjian damai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka, dibuatlah perjanjian damai antara kaum muslimin dan kaum Nasrani Najran. Di antara sekian poin perjanjian, sebagai konsekuensi enggannya mereka masuk ke dalam agama Islam, mereka sanggup membayar jizyah (pajak) kepada pemerintahan kaum muslimin di Madinah. Para ulama mengatakan, bahwa Najran adalah negeri di luar Madinah yang pertama kali membayar jizyah kepada umat Islam.[40]
Keislaman Adi bin Hatim
Yang ini berbeda dengan para utusan dari berbagai negeri dan kabilah yang datang ke Madinah. Jika rata-rata mereka datang bersama rombongan, maka Adi bin Hatim Ath-Tha`i yang terkenal sebagai al-jawad (orang yang dermawan), datang sendirian menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mungkin, –antara lain– dikarenakan hal inilah, Syaikh Muhammad Al-Buthi memberikan tempat khusus untuk membahas Adi bin Hatim dalam Fiqh Sirahnya.[41]
Sebelum masuk Islam, Adi bin Hatim adalah seorang Nasrani. Dia adalah orang yang mulia dan dimuliakan kaumnya. Sebagai seorang pemimpin kaum, dia selalu mendapatkan seperempat ghanimah perang dari kaumnya. Dan ketika mendengar kabar tentang Nabi, dia pergi ke Syam dengan membawa serta keluarganya untuk berkumpul bersama orang-orang Nasrani di sana, dikarenakan kebenciannya kepada Nabi dan dakwahnya.
Namun, Adi tak tahan menahan kebenciannya. Dia ingin langsung menemui Nabi. Dia hendak membuktikan, apakah Muhammad ini betul-betul Nabi, ataukah raja, atau seorang pendusta. Adi pun berangkat ke Madinah.
Tiba di Madinah, Adi mendapatkan Nabi sedang berada di dalam masjid. Adi masuk masjid dan memberikan salam kepada Nabi. Nabi berkata, “Siapakah engkau?” Kata Adi, “Aku Adi bin Hatim.” Nabi pun segera berdiri dan mengajak Adi bin Hatim ke rumahnya. Sekeluarnya dari masjid dan dalam perjalanan menuju rumah, ada seorang perempuan tua menghentikan Nabi. Nabi berhenti cukup lama mendengarkan apa yang dikatakan perempuan tua tersebut. Adi berkata dalam hatinya, “Sungguh, ini bukan raja.”
Nabi terus membawa Adi ke rumahnya. Saat di dalam rumah, Nabi mempersilakan Adi duduk di atas bantalnya yang terbuat dari kulit tipis. Semula Adi enggan duduk di atasnya. Tapi Nabi kembali mempertegas agar Adi duduk di atas bantalnya, dan Adi pun duduk. Sementara Nabi, beliau duduk di atas tanah. Adi berkata dalam hatinya, “Sungguh ini bukan raja.”
“Masuklah ke dalam agama Islam, engkau akan selamat,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Adi bin Hatim Ath-Tha`i. Adi berkata, “Aku sudah punya agama.” Kata Nabi, “Aku lebih tahu darimu tentang agamamu.” Adi berkata, “Apakah engkau benar-benar mengetahui agamaku daripada aku?” “Ya,” kata Nabi. Lalu, terjadilah dialog antara Nabi dan Adi bin Hatim. Semula Adi enggan masuk Islam. Namun, Allah memberikan hidayah-Nya kepada Adi sehingga Adi pun akhirnya masuk ke dalam agama islam, dan menjadi seorang muslim yang baik.[42]
Selain Adi bin Hatim, di antara para sahabat yang tadinya beragama Nasrani, yaitu; Tamim bin Kharijah Ad-Dari, Simawaih Al-Balqawi, Al-Ashbagh bin Hajar Al-Hamdani, Al-Ashbagh bin Amr Al-Kalbi, Hani` bin Qubaishah, Al-Jarud Al-Abdi, Nuaim bin Shakhr Al-Adawi, Harmalah bin Al-Mundzir, Katsir bin Al-Ashbagh, dan lain-lain.[43]
Perang Melawan Kristen
Syam adalah negara Nasrani. Penguasa dan penduduknya memeluk agama Nasrani. Heraklius pernah singgah di sana setelah mengalahkan Persia. Adi bin Hatim juga melarikan diri ke sana saat mendengar kabar datangnya Islam. Salman Al-Farisi juga pernah pergi ke Syam untuk belajar agama Nasrani. Raja Syam saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di Madinah, adalah Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani.
Syam mempunyai beberapa wilayah kekuasaan, di antaranya adalah kerajaan Bushra yang juga Nasrani. Kerajaan Bushra waktu itu dipimpin oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Kepada Syurahbil Raja Bushra ini, Nabi mengirimkan Al-Harits bin Umair Al-Azdi sebagai utusannya. Namun, Al-Harits dibunuh oleh Syurahbil. Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Dan tidak ada seorang pun utusan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang dibunuh selain Al-Harits. Saat diberi tahu tentang hal ini, beliau sangat murka mendengarnya.”[44]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menceritakan, setelah Nabi mengirimkan para utusannya kepada raja-raja dan para pemuka kabilah di sekitar jazirah Arab, beliau pun mulai menabuh genderang perang melawan kaum Nasrani. Beliau mengirimkan pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan panglima perang Zaid bin Haritsah, seraya berpesan jika Zaid gugur, digantikan Ja’far bin Abi Thalib, dan jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang menggantikannya. Mereka pun berangkat ke Mu`tah dalam satu rombongan pasukan untuk memerangi orang-orang Nasrani di sana.[45]
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim pasukan perang di bawah pimpinan panglima Zaid bin Haritsah. Beliau (Nabi) berkata, “Jika Zaid terbunuh atau mati syahid, maka pemimpin kalian adalah Ja’far. Apabila Ja’far terbunuh atau mati syahid, maka pimpinan kalian adalah Abdullah bin Rawahah.” Mereka pun berjumpa musuh, Zaid membawa bendera. Zaid maju ke medan perang dan terbunuh. Kemudian Ja’far yang membawa bendera. Dia pun maju dan terbunuh. Lalu bendera dibawa Abdullah bin Rawahah. Dia maju dan terbunuh juga. Bendera pun dibawa Khalid bin Al-Walid. Dia mengambil alih kepemimpinan. Maka, Allah memberikan kemenangan melalui kepemimpinannya…. Saat berita ini sampai kepada Nabi, beliau pun menceritakannya kepada para sahabat tentang kronologi kejadian di Mu`tah. Dan, beliau menyebut Khalid bin Al-Walid sebagai saif min suyufillah (salah satu pedang Allah).[46]
Perang Mu`tah yang terjadi pada tahun 8 H ini membawa bekas mendalam bagi orang-orang Kristen Arab dan Romawi. Muncul ketakutan luar biasa dalam diri mereka. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa ada kekuatan lain yang sanggup menggentarkan mereka. Padahal setelah mengalahkan Persia, praktis Romawi adalah kekuatan terbesar di dunia saat itu. Mereka menganggap ini adalah bahaya besar yang mengancam eksistensi kaum Kristen, cepat atau lambat, apalagi Syam berada di sekitar Arab. Tiada pilihan lain, mereka pun memutuskan untuk menghabisi umat Islam.
Tak sampai setahun pasca perang Mu`tah, Qaishar telah menyiapkan pasukan yang sangat besar jumlahnya yang merupakan gabungan tentara Romawi dan orang-orang Arab untuk menyerang Madinah. Saat mendengar kabar orang-orang Kristen Arab dan Romawi bersatu hendak menyerang Madinah, Nabi mengambil sikap pro-aktif. Nabi segera mengumpulkan dan menyiapkan pasukan perang kaum muslimin. Beliau memimpin langsung pasukan menuju Tabuk, menyambut pasukan musuh yang telah bergerak lebih dulu. Peristiwa ini dikenal sebagai perang Tabuk. Dua puluh hari lamanya Nabi dan kaum muslimin berkemah di Tabuk menanti kedatangan pasukan orang-orang Kristen.
Akan tetapi, tak satu pun pasukan musuh baik orang-orang Nasrani Arab maupun Romawi yang tampak batang hidungnya. Mereka takut luar biasa mendengar kedatangan pasukan kaum muslimin. Mereka gentar berhadapan dengan orang-orang yang menyambut kematian, orang-orang yang mencari mati syahid. Di saat mereka hanya mencari kemenangan dan materi duniawi serta takut mati, kaum muslimin justru lebih mencintai mati syahid demi menggapai nikmat surgawi. Mereka mundur ke belakang. Mereka balik kanan kembali ke Syam. Mereka tidak berani berperang melawan kaum muslimin![47]
Sikap Islam Terhadap Kristen
Demikian beberapa ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi yang menggambarkan bagaimana Islam menyikapi (pemeluk) agama Kristen:[48]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ . (البقرة : 120)
“Dan orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ . (المآئدة : 51)
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Barangsiapa di antaramu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.” (Al-Ma`idah: 51)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
لأُخْرِجَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ حَتَّى لاَ أَدَعَ إِلاَّ مُسْلِمًا .
“Sungguh akan aku usir orang Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arah, sehingga tak aku sisakan selain orang Muslim.”[49]
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga bersabda,
أَخْرِجُوا يَهُودَ أَهْلِ الْحِجَازِ وَأَهْلِ نَجْرَانَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَاعْلَمُوا أَنَّ شِرَارَ النَّاسِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ .
“Keluarkanlah Yahudi penduduk Hijaz dan (Nasrani) penduduk Najran dari jazirah Arab! Ketahuilah, sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah mereka yang menjadikan kuburan-kuburan nabinya sebagai masjidnya.”[50]
Khatimah
Kabar tentang Nasrani semasa hidup Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam laksana bedug. Ia ada saat pertama kali Nabi menerima wahyu dan kembali muncul ketika wahyu menjelang berakhir. Pada saat Nabi dan kaum muslimin disibukkan oleh kaum musyrikin Makkah dan Yahudi Madinah, orang-orang Nasrani tak terdengar beritanya. Dan manakala kaum muslimin mulai memegang kendali kekuasaan di Madinah dan sekitarnya (Hijaz), umat Kristiani datang kembali. Sebagian ada yang masuk Islam, dan sebagian yang lain mesti ditundukkan dengan pedang. Meski mereka hendak memadamkan cahaya Allah, namun Allah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya sebagai rahmat bagi semesta alam.
Wallahu Ta’ala a’lam.
* * *
[1] Makalah ini ditulis dalam rangka pelaksanaan tugas mata kuliah Kristologi, di bawah bimbingan Ustadz DR. H. Adian Husaini, MA. dan tim, pada Program S2 Universitas Ibn Khaldun Bogor, Jurusan Pendidikan Islam, Konsentrasi Pendidikan dan Pemikiran Islam.
[2] Kristen dan Nasrani secara makna tidak berbeda. Dalam tulisan ini, terkadang kami menggunakan kata “Kristen,” dan terkadang juga memakai kata “Nasrani.”
[3] Lihat; Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah), Hidayatu Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, tahqiq: Syaikh Ahmad Sya’ban, penerbit Maktabah Ash-Shafa: Kairo, cet. I, th. 2005 M – 1426 H, hlm 35.
[4] Hadits tentang hal ini diriwayatkan Imam At-Tirmidzi (3117), Ahmad (2365), Al-Hakim (3499), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (12208), dan Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah (615); dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih gharib.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun mereka tidak mengeluarkannya.” Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah (3354) dan mengatakan, “Sanadnya hasan.” Namun dalam Tuhfatu Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, Al-Mubarakfuri mendha’ifkan hadits ini karena di dalamnya terdapat Athiyah bin Sa’ad Al-Aufi yang dilemahkan oleh para imam hadits.
Kisah ini dapat ditemukan dalam (hampir) semua kitab tafsir.
[6] Konsili Nikea II terjadi pada tahun 787 M.
[8] Ibid.
[9] Ada juga yang mengatakan, Nabi lahir tahun 570 M dan wafat 632 M.
[10] Lihat surat Al-Fil dan tafsirnya.
[11] Lihat misalnya; Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an, tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Kairo, cet. I, th. 2000 M – 1420 H, jld 24, hlm 609; Abu Abdillah Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Penerbit Dar Ihya At-Turats Al-’Arabi: Beirut, cet. I, th. 1985 M – 1405 H, jld 20, hlm 187; dan Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, tahqiq: Syaikh Ali Syairi, Penerbit Dar Ihya` At-Turats Al-’Arabi: Beirut, cet. I, th. 1988 M – 1408 H, jld 2, hlm 209.
[12] HR. Al-Bukhari (3, 6467), Muslim (422), Ahmad (24681), Al-Hakim (4830), Al-Baihaqi (Dala`il An-Nubuwah/445), dan lain-lain; dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
Kisah ini juga disebutkan dalam –hampir– semua kitab sirah Nabi, seperti ‘Uyun Al-Atsar (Ibnu Sayyidinnas), As-Sirah An-Nabawiyah (Ibnu Katsir), Sirah Ibnu Hisyam, Al-Kamil fi At-Tarikh (Ibnul Atsir), Tarikh Al-Islam (Imam Adz-Dzahabi), dan lain-lain.
[13] Ibid.
[14] Ibnu Taimiyah, Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-Masih, tahqiq: DR. Ali Hasan Nashir dkk., Penerbit Dar Al-Fadhilah: Riyadh, cet. I, th. 1414 H, jld I, hlm 163.
[15] HR. Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah, hadits nomor 596, dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha. Al-Hafizh Al-Iraqi mengatakan dalam Takhrij Ahadits Al-Ihya` (2083), bahwa sanad hadits ini adalah bagus. Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam Fath Al-Bari saat menjelaskan bab Hijratu Al-Habasyah, sebelum hadits nomor 3583, tanpa memberikan keterangan perawi dan derajatnya.
[16] Ibnu Hajar menyebutkan mereka ada sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Namun ada juga yang mengatakan dua belas laki-laki dan dua perempuan. (Al-Fath/XI/195)
[17] Mereka adalah Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
[18] Izzuddin Ibnul Atsir Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Jazari, Usdu Al-Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, Tahqiq: Syaikh Khairi Said, Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyah: Kairo, Tanpa keterangan cetakan, th. 2003 M – 1423 H, jld I, hlm 139.
[19] HR. Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/80). Dalam riwayat Ahmad (1649), disebutkan Musa, bukan Isa.
Lihat juga; Al-Jawab Ash-Shahih, jld I, hlm 257; dan Ibnul Qayyim, Hidayatu Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahudi wa An-Nashara, tahqiq: Syaikh Ahmad Sya’ban, Penerbit Maktabah Ash-Shafa: Kairo, cet. I, th. 2005 M – 1426 M, hlm 53. Namun, dalam dua kitab ini yang disebutkan juga Musa, bukan Isa.
Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan Ahmad dan rijalnya adalah rijal shahih kecuali Ishaq, tetapi Ishaq secara tegas menyatakan mendengarnya (Majma’ Az-Zawa`id/9842).
[20] Hadits tentang wafatnya Najasyi dan shalat ghaibnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Najasyi ini diriwayatkan oleh hampir semua imam hadits (termasuk Al-Bukhari dan Muslim) dari Abu Hurairah dan beberapa sahabat lain Radhiyalahu ‘Anhum.
[21] HR. At-Tirmidzi (960), An-Nasa`i (1949), Ibnu Majah (1524), Ahmad (19021), dan lain-lain; dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘Anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2429).
[22] Ibnul Atsir memberi keterangan, bahwa Ninawa ada di Maushil. (Usdu Al-Ghabah, jld IV, hlm 3).
[23] Lihat; Muhammad bin Abdillah bin Yahya Ibnu Sayyidin Nas, ‘Uyun Al-Atsar fi Funun Al-Maghazi wa Asy-Syama`il wa As-Siyar, Penerbit Muassasah Izzuddin: Beirut, cet. I, th. 1986 M – 1406 H, jld I, hlm 178-179; Ismail bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqi, As-Sirah An-Nabawiyah, Tahqiq: Syaikh Musthafa Abdul Wahid, Penerbit Dar Al-Ma’rifah: Beirut, cet. I, th. 1971 M – 1396 H, jld I, hlm 150-151, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah; dan Abdul Malik bin Hisyam Abu Muhammad, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Ibnu Hisyam), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah, jld I, hlm 421.
[24] Ma’rifatu Ash-Shahabah (5049).
[25] Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah (5472).
[26] Usdu Al-Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah (3603).
[27] Al-Jawab Ash-Shahih, jld I, hlm 164.
[28] Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi (w. 458 H), Dala`il An-Nubuwwah, Bab Al-Hijrati Al-Ula Ila Al-Habasyah Tsumma Ats-Tsaniyah wa Ma Zhahara Fiha, hadits nomor 598.
Namun demikian, kabar ini terputus (munqathi’), karena Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanadnya hingga ke sahabat. (Lihat; Ibnu Ishaq, As-Sirah An-Nabawiyah, hlm 77, program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[29] Muhammad bin Abdillah bin Yahya Ibnu Sayyidin Nas, ‘Uyun Al-Atsar fi Funun Al-Maghazi wa Asy-Syama`il wa As-Siyar, Penerbit Muassasah Izzuddin: Beirut, cet. I, th. 1986 M – 1406 H, jld I, hlm 169.
[30] Abul Fida` Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim, tahqiq: DR. Kamal Ali Al-Jamal, penerbit Dar Al-Kalimah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Manshurah – Mesir, cet. II, th. 1998 M – 1419 H, jld III, hlm 476. Ibnu Katsir juga menyebutkan hal ini pada periode Makkah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, jld III, hlm 103.
Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa rombongan Nasrani ini adalah orang-orang Habasyah yang diutus Raja Najasyi untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di Makkah, sebagaimana yang disebutkan Abul Qasim As-Suhaili dalam Ar-Raudh Al-Unuf (jld II, hlm 178, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[31] Kebanyakan ulama mengatakan tahun 8 H, namun ada yang mengatakan tahun 6 H, seperti Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab fi Ma’rifati Ash-Shahabah (jld I, hlm 137, Al-Maktabah Asy-Syamilah). Menurut kami, yang benar adalah tahun 8 H. Sebab, peristiwa ini terjadi setelah perdamaian Hudaibiyah. Bahkan, Ibnu Abdil Barr sendiri pun –dalam halaman yang sama, entah sadar atau tidak– menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi setelah perdamaian Hudaibiyah.
[32] Lebih tepatnya Raja Iskandariyah, karena Raja Mesir biasa disebut sebagai Fir’aun.
[33] Terkadang, Heraklius atau Hiraql disebut sebagai Qaishar atau Kaesar. Menurut sejumlah referensi yang kami baca, Hiraql dan Qaishar adalah dua orang yang berbeda. Hiraql adalah orang Rowami. Dia Raja Agung kerajaan Kristen Romawi. Sedangkan Qaishar adalah sebutan untuk Raja Syam, di mana Raja Syam saat itu adalah Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani. Kebetulan, Syam adalah kerajaan Kristen. Sebagai kerajaan Kristen, Syam berada di bawah kekuasaan imperium Romawi. Sekadar catatan, surat Nabi untuk Heraklius disampaikan Dihyah Al-Kalbi kepada Heraklius di Syam. Waktu itu, sebagaimana termaktub dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim, Abu Sufyan bin Harb sedang berada di sana. Bahkan, Heraklius juga sempat bertanya kepada Abu Sufyan tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kenapa Heraklius berada di Syam padahal dia adalah Raja Romawi yang notabene berada di Eropa? Karena ketika itu pasukan Romawi baru saja mengalahkan kerajaan Persia. Dan, Heraklius menyempatkan diri singgah di Syam, yang rajanya saat itu adalah Al-Harits bin Abi Syimr. Namun, bisa juga Kaesar adalah Heraklius. Jika demikian, maka Raja Syam tidak bergelar apa pun. Wallahu a’lam.
[34] Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, Al-Arisiyyin adalah penisbatan kepada Abdullah bin Aris, seorang laki-laki yang diagungkan kaum Nasrani. Dia banyak membuat bid’ah yang mengada-ada dalam agamanya yang menyalahi agama Nabi Isa. Ada juga yang mengatakan, dia adalah nama suatu kaum di mana diutus seorang nabi kepada mereka, tapi mereka membunuhnya. Di sinilah maksud kalimat; engkau berdosa seperti dosanya kaum Arisiyyin. (Lihat; Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, jld 12, hlm 412, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Menurut Imam An-Nawawi, Al-Arisiyyin adalah orang-orang yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan pekerja tanam-tanaman. Mereka adalah rakyat. Maksudnya, Heraklius akan menanggung dosa rakyatnya yang mengikuti dan patuh pada perintahnya. Sebab, jika Heraklius mau masuk Islam, maka mereka pun akan masuk Islam. Sebaliknya, jika Heraklius enggan masuk Islam dan rakyatnya pun tidak mau masuk Islam, maka dia akan menanggung dosa rakyatnya. (Lihat; Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Kitab Al-Jihad wa As-Siyar, Bab Kitab An-Nabiyy Ila Hiraql, penjelasan hadits nomor 3322)
[35] HR. Al-Bukhari (2723), Muslim (4707), Ahmad (2252), Al-Baihaqi dalam Ad-Dala`il (1721), dan lain-lain; dari Ibnu Abbas dari Abu Sufyan Radhiyallahu ‘Anhum. Hadits ini disebutkan oleh hampir semua kitab sirah dan tarikh.
[36] Saat itu, Mesir yang mayoritas penduduknya Nasrani juga berada di wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Sebagian ulama tarikh menyebut Muqauqis sebagai gubernur Mesir, bukan raja.
[37] Lihat; Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Nur Al-Yaqin fi Sirati Sayyidi Al-Mursalin, tahqiq: Syaikh samir Al-Aththar, penerbit Maktabah Ar-Ridha: Kairo, tanpa keterangan cetakan, th. 2007 M – 1428 H, hlm 156-157.
[38] HR. Al-Baihaqi dalam Ad-Dala`il (2126).
Syaikh Muhammad Al-Ghazali rahimahullah mengatakan hadits ini dha’if karena di dalamnya ada perawi yang majhul. (Lihat; Fiqh As-Sirah, penerbit Dar Ar-Rayyan li At-Turats: Kairo, cet. I, th. 1987 M -1407 H, hlm 438).
[39] Versi lain menyebutkan bahwa pemimpin rombongan ini ada tiga orang, yaitu; Abdul Masih Al-Aqib, Sayyid Al-Ayham, dan Abu Haritsah bin Alqamah.
[40] Rangkuman dari; Sirah Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Hisyam, Zad Al-Ma’ad fi Hady Khairi Al-‘Ibad (Ibnul Qayyim), ‘Uyun Al-Atsar (Ibnu Sayyidin Nas), Subul Al-Huda wa Ar-Rasyad fi Sirati Khairi Al-‘Ibad (Ash-Shalihi Asy-Syami), Fiqh As-Sirah (Syaikh Muhammad Al-Ghazali), Nur Al-Yaqin fi Sirati Sayyidi Al-Mursalin (Syaikh Muhammad Al-Khudari), Ar-Rahiq Al-Makhtum (Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ath-Thabari, Dala`il An-Nubuwwah (Al-Baihaqi), dan lain-lain.
[41] Lihat; Prof. DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah, penerbit Dar As-Salam: Kairo, cet. VI, th. 1999 M – 1419 H, hlm 319-320.
[42] Lihat; Ibnul Atsir, Usdu Al-Ghabah, jld II, hlm 260; Ibnul Jauzi, Al-Muntazham, jld I, hlm 400; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah, jld II, hlm 242-243, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tarikh Al-Umam wa Ar-Rusul wa Al-Muluk, jld II, hlm 375; Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, jld II, hlm 100. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[43] Dari berbagai sumber.
[44] 'Uyun Al-Atsar, jld II, hlm 165.
[45] Al-Jawab Ash-Shahih, jld I, hlm 184.
[46] HR. Ahmad (1659), Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (1443), dan Ath-Thahawi (4498). Al-Haitsami menshahihkan hadits ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (10218).
[47] Lihat: ‘Uyun Al-Atsar, jld II, hlm 253-254; Ar-Raudh Al-Unuf, jld IV, hlm 290 dst.; Zad Al-Ma’ad, jld II, hlm 340 dst.; dan Ar-rahiq Al-Makhtum, hlm 417-419.
[48] Dalam kondsi tertentu.
[49] HR. Muslim (4693), Abu Dawud (2635), At-Tirmidzi (1532), Ahmad (196), dan lain-lain; dari Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu.
[50] HR. Ahmad (1599), Ibnu Abi Ashim (226), dan Abu Ya’la (838); dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Radhiyallahu 'Anhu.
Hadits shahih. Dishahihkan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (9660) dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1132).
* * *
Daftar Pustaka
Abdul Malik bin Hisyam Abu Muhammad, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Ibnu Hisyam), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatu Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna Abu Ya’la At-Tamimi Al-Maushili, Al-Musnad, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Amr Abu Bakr Ibnu Abi Ashim, Al-Ahad wa Al-Matsani, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Muhammad Abu Ja’far Ath-Thahawi, Musykil Al-Atsar, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Al-Musnad, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Ali Abu Bakr Al-Baihaqi Al-Khurasani, Dala`il An-Nubuwwah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
__________, Syu’ab Al-Iman, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Ali Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah,Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
__________, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Penerbit Dar Al-Manar, Kairo/Cetakan Pertama/1999 M – 1419 H.
Ahmad bin Abdil Halim Taqiyuddin Abul Abbas Ibnu Taimiyah, Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-Masih, tahqiq: DR. Ali Hasan Nashir dkk., Penerbit Dar Al-Fadhilah: Riyadh, cet. I, th. 1414 H.
Ali bin Abi Bakr Abul Husain Al-Haitsami Al-Mishri, Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ Al-Fawa`id, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Ali Abu Abdirrahman An-Nasa`i , Sunan An-Nasa`i, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ali bin Muhammad Abul Hasan Izzuddin Ibnul Atsir Al-Jazari, Usdu Al-Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, Tahqiq: Syaikh Khairi Said, Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyah: Kairo, Tanpa keterangan cetakan, th. 2003 M – 1423 H, jld I, hlm 139.
__________, Al-Kamil fi At-Tarikh, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ahmad bin Abdillah Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Ma’rifatu Ash-Shahabah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
As-Suhaili Abul Qasim, Ar-Raudh Al-Unuf, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ash-Shalihi Asy-Syami, Subul Al-Huda wa Ar-Rasyad fi Sirati Khairi Al-‘Ibad, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_gereja.
Ibrahim bin Ahmad Abu Ishaq Al-Iraqi, Takhrij Ahadits Al-Ihya`, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ismail bin Umar Abul Fida` Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, As-Sirah An-Nabawiyah, Tahqiq: Syaikh Musthafa Abdul Wahid, Penerbit Dar Al-Ma’rifah: Beirut, cet. I, th. 1971 M – 1396 H, jld I, hlm 150-151, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah
__________, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim, tahqiq: DR. Kamal Ali Al-Jamal, penerbit Dar Al-Kalimah li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Manshurah – Mesir, cet. II, th. 1998 M – 1419 H.
__________, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Tahqiq: Syaikh Ali Syairi/Penerbit Dar Ihya` At-Turats Al-Arabi/Cetakan pertama edisi baru/1988 M – 1408 H.
Khairuddin Az-Zarkali, Al-A’lam Qamus Tarajim li Asyhar Ar-Rijal wa An-Nisa`Min Al-‘Arab wa Al-Musta’rabin wa Al-Mustasyriqin, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Abu Abdillah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Hidayatu Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, tahqiq: Syaikh Ahmad Sya’ban, penerbit Maktabah Ash-Shafa: Kairo, cet. I, th. 2005 M – 1426 H.
__________, Zad Al-Ma’ad fi Hady Khairi Al-‘Ibad, tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Qadir Atha, penerbit Dar At-Taqwa li At-Turats: Kairo, cetakan I, 1999 M – 1420 H.
Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Abdilah Abu Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
__________, Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
__________, Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
__________, Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Jarir Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an, tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Kairo, cet. I, th. 2000 M – 1420 H.
__________, Tarikh Al-Umam wa Ar-Rusul wa Al-Muluk, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Abu Abdillah Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Penerbit Dar Ihya At-Turats Al-’Arabi: Beirut, cet. I, th. 1985 M – 1405 H.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Al-Bukhari), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Ahmad Syamsuddin Abu Abdillah Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Ibnu Majah Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Abdillah bin Yahya Ibnu Sayyidin Nas, ‘Uyun Al-Atsar fi Funun Al-Maghazi wa Asy-Syama`il wa As-Siyar, Penerbit Muassasah Izzuddin: Beirut, cet. I, th. 1986 M – 1406 H
Muhammad bin Ishaq, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Ibnu Ishaq), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Muhammad bin Abdillah bin Yahya Ibnu Sayyidin Nas, ‘Uyun Al-Atsar fi Funun Al-Maghazi wa Asy-Syama`il wa As-Siyar, Penerbit Muassasah Izzuddin: Beirut, cet. I, th. 1986 M – 1406 H.
Muhammad Al-Khudhari, Nur Al-Yaqin fi Sirati Sayyidi Al-Mursalin, tahqiq: Syaikh samir Al-Aththar, penerbit Maktabah Ar-Ridha: Kairo, th. 2007 M – 1428 H.
Muhammad Al-Ghazali,Fiqh As-Sirah, penerbit Dar Ar-Rayyan li At-Turats: Kairo, cet. I, th. 1987 M -1407 H.
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Prof. DR., Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah, penerbit Dar As-Salam: Kairo, cet. VI, th. 1999 M – 1419 H, hlm 319-320.
Muslim bin Al-Hajjaj Abul Husain, Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Muslim), Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi As-Sijistani Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Sulaiman bin Ahmad Abul Qasim Ath-Thabarani Al-Lakhami, Al-Mu’jam Al-Kabir, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Yusuf bin Abdillah Abu Umar Ibnu Abdil Barr Al-Andalusi, Al-Isti’ab fi Ma’rifati Ash-Shahabah, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Yahya bin Syaraf Abu Zakariya An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Azhim, penerbit Dar At-Taqwa: Kairo, tanpa keterangan cetakan dan tahun.
* * *
Assalamu 'alaikum wr.wb. artikel menarik. nitip jejak.
BalasHapusBismillahirrahmanirrahim.
BalasHapusTulisan yang bagus, sangat argumentatif.
Subhanallah..Terima kasih makalahnya sangat bermanfaat..
BalasHapusSubhanallah..Terima kasih makalahnya sangat bermanfaat..
BalasHapusSubhanallah..Terima kasih makalahnya sangat bermanfaat..
BalasHapus