Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Siapa yang mau menjadi pemulung? Mungkin, jawabannya adalah tidak ada atau hampir tidak ada. Sebab, bekerja sebagai pemulung barang bekas dan sampah bukanlah pilihan, melainkan sebuah “keterpaksaan” hidup. Nasib kurang beruntunglah yang mengantarkan seseorang menjadi pemulung.
Bagaimanapun, memulung adalah sebuah pekerjaan, dan bekerja adalah ibadah. Dengan bekerja, seseorang bisa melangsungkan eksistensi kehidupannya dan mencukupi keperluannya. Lebih dari itu, seseorang bisa tenang beribadah kepada Tuhannya manakala kebutuhannya terpenuhi.
Suatu hari, saat Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat, lewat seorang lelaki pemulung berpakaian kumal. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang semacam ini juga termasuk fi sabilillah (di jalan Allah)?”
Nabi pun bersabda, “Sekiranya dia melakukan hal ini demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Kalaupun dia melakukan hal ini demi menghidupi kedua orangtuanya yang sudah renta, maka dia pun di jalan Allah. Dan jika dia melakukannya untuk dirinya sendiri demi menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta, maka dia juga di jalan Allah.” (HR. Ath-Thabarani)
Subhanallah! Begitu mengenanya sabda Nabi ini. Betapa banyak di antara kita yang sinis terhadap pemulung. Sampai-sampai di sejumlah komplek perumahan elit tertulis papan pengumuman dengan gagahnya, “Pemulung Dilarang Masuk!” Begitu hinakah mereka sehingga masuk saja tidak boleh?
Apa pun, yang dilakukan pemulung adalah fi sabilillah. Baik itu demi menghidupi anak-anaknya, orangtuanya, ataupun untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain.
Lagi pula, sampah bukanlah harta yang bisa dibanggakan. Sampah adalah barang buangan. Bagi tuannya, sampah adalah barang tak berguna. Tiada yang mau menimbun sampah di dalam rumah kecuali orang malas lagi bodoh. Tidakkah kita berterima kasih, jika ada orang yang mau “menelateni” sampah yang kita buang daripada membusuk di bak sampah?
Pemulung -yang jujur– sama sekali tidak merugikan masyarakat, bahkan ia justru membantu. Lagi pula, memulung adalah pekerjaan halal. Islam sangat memuliakan orang yang makan dari hasil keringatnya sendiri. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang didapat dari hasil kerjanya sendiri.” (HR Al-Bukhari). Pemulung, sejatinya mengajak kita untuk merenung.
Wallahu a'lamu bish-shawab.
* * *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik
Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...
-
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha P erseteruan antara kaum Asya’irah dan Salafiyah [1] adalah cerita lama. Bukan hanya sekarang. Dalam ...
-
Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar