Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. At-Tirmidzi)
Kita semua pernah tersenyum. Saat kita melemparkan senyum kepada saudara kita, dia pun membalas dengan senyuman. Dan ketika saudara kita tersenyum kepada kita, kita juga membalas senyumnya. Terasa damai hidup ini jika hari-hari terlalui dengan senyuman.
Tersenyum bukan hanya mudah dilakukan, namun ia juga mempunyai banyak manfaat. Dengan senyum, keakraban antarsesama bisa terjalin, beban yang berat terasa lebih ringan, dan kemarahan serta permusuhan pun bisa mencair. Seseorang juga lebih menarik dengan senyumannya. Bahkan, seseorang tampak lebih muda dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
Seseorang yang murah senyum lagi berwajah ceria biasanya mudah bergaul dan mempunyai banyak kawan. Sebaliknya, orang yang selalu bermuka cemberut dan pasang tampang masam, cenderung sulit bergaul dan sedikit temannya. Senyum adalah sinyal persaudaraan dan keramahan.
Dari segi kesehatan, terbukti secara ilmiah bahwa senyum bisa menurunkan tekanan darah, meningkatkan imunitas tubuh, dan dapat menghilangkan stres. Tidak heran, jika Nabi SAW adalah orang yang sangat sehat, karena beliau adalah sosok yang murah senyum dalam interaksinya bersama keluarga dan para sahabat.
Jarir bin Abdillah RA berkata, “Sejak aku masuk Islam, Nabi SAW tidak pernah menghalangiku untuk menemuinya. Dan setiap kali berjumpa denganku, beliau selalu tersenyum padaku.” (HR. Al-Bukhari)
Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR. Muslim)
Jadi, tersenyum dan bermuka manis adalah Sunnah. Ia bukan sekadar suatu formalitas atau aktivitas kemanusiaan semata. Tersenyum adalah ibadah. Siapa yang melakukannya akan memperoleh pahala.
Sungguh ironis, jika ada orang yang tidak mau tersenyum kepada saudaranya karena menganggap dirinya berada di atas Sunnah, sementara saudaranya dianggap sebagai ahlu bid’ah yang tidak pantas mendapatkan senyumannya. Padahal di saat yang sama, dialah sesungguhnya yang telah meninggalkan Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
* * *
Kamis, 22 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik
Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...
-
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha P erseteruan antara kaum Asya’irah dan Salafiyah [1] adalah cerita lama. Bukan hanya sekarang. Dalam ...
-
Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar