Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 191-240. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]
Telah kami sampaikan sebelumnya, bahwa Al Ustadz Fulan - - - dan kelompoknya adalah orang-orang yang sangat anti terhadap manhaj muwazanah, dimana kita harus adil dan objektif dalam menilai seseorang. Sebagai ‘tandigan’nya, kelompok ‘salafi’ versi beliau ini memblow up istilah al-jarh wa at-ta’dil yang biasa dipakai oleh para ulama masa lalu untuk menilai seorang perawi, yang intinya berujung pada apakah hadits yang diriwayatkannya bisa diterima atau ditolak, atau diterima dengan catatan tertentu. Akhirnya, karena pada saat ini tidak ada seorang pun perawi yang masih hidup, maka terjadilah pemaksaan kehendak. Metode al-jarh wa at-ta’dil pun kembali dihidupkan oleh mereka untuk menjatuhkan para ulama dan syuhada yang tidak sependapat dengan mereka. Padahal, jelas-jelas mereka (para ulama dan syuhada) tersebut bukanlah para perawi hadits dan juga bukan ahlu bid’ah pengusung paham sesat.
Ringkas kata, Al Ustadz Fulan dan kelompoknya ingin menjatuhkan para ulama dan syuhada tertentu dengan cara menafikan segala kelebihan dan kebaikan yang terdapat pada diri mereka, diiringi dengan membeberkan sebanyak mungkin daftar ‘dosa-dosa’nya, tanpa peduli apakah ‘dosa-dosa’ tersebut termasuk dalam masalah ijtihadiyah dan khilafiyah ataukah tidak. Sehingga, yang ada pun akhirnya bukan lagi al-jarh wa at-ta’dil,[1] melainkan al-jarh wa al-jarh;[2] sebuah metode baru (baca: bid’ah) yang merupakan ‘plesetan’ dari manhaj al-jarh wa at-ta’dil.
Untuk mematahkan manhaj muwazanah yang dibencinya, Al Ustadz Fulan membuat satu bab khusus yang merupakan bab terpanjang dalam MDMTK, “Metodologi Al-Jarh wat Ta’dil versi Abduh ZA,” dimana sebagian isinya telah kita bahas. Dan kali ini, kita akan membahas sekaligus membuktikan seperti apa sesungguhnya manhaj al-jarh wa at-ta’dil versi Al Ustadz Fulan. Beliau berkata,
“Setelah kita mengikuti bersama jawaban permasalahan pertama,[3] maka sekarang kita memasuki jawaban permasalahan yang kedua, yaitu menanggapi pernyataan saudara Abduh ZA: “… Apalagi dengan menafikan segala kebenaran yang ada pada diri seseorang yang didiskreditkan. …”[4] (hal. xxiii, cetak tebal dari kami).”[5]
Dari perkataan dan nukilan di atas, tampak jelas bahwa memang Al Ustadz Fulan tidak mau dan tidak suka menyebutkan (apalagi mengakui) berbagai kelebihan dan kebaikan pada diri orang yang sedang dijarh. Bahkan, menyebutkan kebenarannya pun beliau tak sudi. Padahal, jelas-jelas yang kami sebutkan (dalam kalimat yang dinukil Al Ustadz Fulan) adalah kata “KEBENARAN,” yang tentu saja kebenaran yang berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah. Bukan ‘sekadar’ kelebihan ataupun kebaikan yang bisa jadi bersifat subjektif.
Jadi, sangat bisa dimaklumi jika suatu kebenaran saja beliau berani menafikannya, maka bukan hal yang aneh apabila berbagai kesalahan manusiawi ataupun pendapat-pendapat yang dianggap menyalahi kelompoknya, dengan mudahnya beliau beberkan dengan disertai penyematan gelar yang dianggap cocok atau dicocok-cocokkan. Dan, yang semacam inilah yang beliau sebut sebagai metode al-jarh wa at-ta’dil. Meski sebetulnya lebih tepat jika disebut sebagai al-jarh wa al-jarh, dikarenakan beliau sendiri mengakui menafikan kebenaran orang yang dijarh, sehingga tidak ada lagi at-ta’dil di dalamnya. Dengan demikian, secara tidak sadar (semoga beliau sadar), Al Ustadz Fulan mengakui metodenya sebagai metode al-jarh wa al-jarh, bukan al-jarh wa at-ta’dil.
Selanjutnya, Al Ustadz Fulan - - - mengomentari perkataan kami,
“Sebenarnya, apa yang dinyatakan saudara Abduh ZA ini lebih dikenal dengan istilah manhaj Al-Muwazanah,[6] yaitu metode “keseimbangan” dan “keadilan” dalam mengkritik dan membantah aliran atau paham sesat serta para tokohnya, dengan cara menyebutkan kebaikan keutamaan pihak yang dikritik atau dibantah, di samping menyebutkan kesalahan dan kesesatannya.
Jika manhaj ini diukur dan ditinjau dengan tinjauan perasaan yang jauh dari bimbingan ilmu serta teladan dari Rasulullah serta generasi as-salafush shalih, terkesan bahwa prinsip ini adalah prinsip yang penuh keadilan dan sportivitas.
Benarkah demikian adanya? Mari kita ikuti bersama pemaparan berikut ini,[7] yang insya Allah akan kami sertakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta pernyataan dan sikap generasi as-salafus shalih dan para ‘ulama yang mengikuti jejak mereka. Ini semua untuk membuktikan sejauh mana tingkat kebenaran dan keilmiahan pernyataan saudara Abduh ZA di atas.”[8]
Perkataan Al Ustadz Fulan, “… Terkesan bahwa prinsip ini adalah prinsip yang penuh keadilan dan sportivitas,” mengesankan bahwa beliau memang tidak menyukai sebuah prinsip yang di dalamnya mengandung keadilan dan sportivitas. Wajar, jika kemudian beliau akan menampilkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta pernyataan dan sikap generasi as-salafus shalih dan para ‘ulama yang mengikuti jejak mereka, yang menurut beliau mendukung metode al-jarh wa at-ta’dil versi beliau.
Dalil-dalil dari Al-Qur`an versi Al Ustadz Fulan
Al Ustadz Fulan - - - berkata,
“Berikut ini beberapa ayat Al-Qur`an yang menyebutkan kejelekan dan kekufuran orang-orang kafir, tanpa sedikitpun Allah menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka. Di antaranya, Firman Allah
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ . (اللهب : 1-5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Tidaklah berfaedah baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang berkobar.” (Begitulah pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” [Al-Lahab: 1-5]
Begitu pula dalam ayat berikut ini:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ . (البينة : 6)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan kalangan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ . (المآئدة : 72)
“Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Isra`il, ibadahilah Rabbku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan baginya Al-Jannah (surga), dan pasti tempatnya adalah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” [Al-Ma`idah: 72]
Perhatikan ayat-ayat di atas, bagaimana Allah menyebutkan kejelekan serta kekufuran orang-orang kafir dan musyrikin tanpa sedikitpun Allah menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka.”[9]
Pembaca yang budiman, dari tiga contoh ayat yang diberikan oleh Al Ustadz Fulan, semuanya berbicara tentang orang-orang kafir dan Ahlu Kitab. Tidak ada satu pun yang berbicara tentang orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Padahal, mereka yang dijelek-jelekkan, dilecehkan, dijatuhkan, disesat-sesatkan, dan diberi gelar macam-macam oleh Al Ustadz Fulan dalam MAT adalah jelas-jelas kaum mukminin. Sungguh, ini adalah analogi yang keliru. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan inilah yang biasa dikenal sebagai, “al-qiyas ma’al fariq” (qiyas/analogi dengan hal yang berbeda).
Al Ustadz Fulan mempertegas analogi tidak proporsionalnya ini dengan mengatakan,
“Sebaliknya, Allah menyebutkan kondisi orang-orang kafir serta kaum musyrikin dan munafiqin dengan menyebutkan kejelekan, kekurangan, dan kejahatan mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan maupun jasa-jasa mereka.”[10]
Benar-benar analogi yang aneh dan peletakan dalil yang tidak pada tempatnya. Apakah para ulama dan syuhada serta mujahidin yang beliau zhalimi dalam buku MAT itu adalah orang-orang kafir serta kaum musyrikin dan munafiqin yang hanya pantas disebutkan segala kejelekan, kekurangan, dan kejahatannya? Apakah kebaikan-kebaikan maupun jasa-jasa mereka tidak layak untuk disebutkan? Masya Allah…
Kemudian Al Ustadz Fulan berkata lagi,
“Allah menyifati orang-orang kafir itu dengan tuli, bisu, dan buta bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi (Al-A’raf: 179). Allah menyebutkan orang-orang kafir yang cenderung mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari ketaatan kepada Allah bagaikan anjing yang menjulurkan lidahnya (Al-A’raf: 175-176). Allah menyebutkan adzab yang pedih dengan berbagai bentuknya yang akan mereka terima sebagai balasan terhadap kekufuran dan keengganan mereka untuk beramal dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Itu semua Allah sebutkan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan dan kelebihan yang ada pada mereka dalam rangka prinsip “keseimbangan” dan “keadilan”.”[11]
Semakin jelas sudah, bahwa Al Ustadz Fulan telah membuat perumpamaan yang sangat jauh sekali. Menyamakan para ulama, syuhada, dan mujahidin, dengan orang-orang kafir, musyrik, dan munafiq. Jelas ini adalah sebuah perumpamaan yang bukan hanya tidak tepat, melainkan kelewat berani. Ya, kelewat berani! Karena hal ini sudah menyentuh dasar keimanan seseorang. Bagaimanapun juga, orang beriman tidak bisa disamakan dengan orang kafir. Bahkan, orang yang beriman pun tidak boleh dibunuh (diqishas) dikarenakan dia telah membunuh orang kafir, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ .
“Tidaklah seorang mukmin dibunuh karena dia membunuh seorang kafir.” [12]
Dalam riwayat lain disebutkan,
أَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ .
“Bahwasanya seorang muslim tidak dibunuh karena dia membunuh orang kafir.”[13]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُونَ (18) أَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (19) وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ (20) (السجدة : 18-20)
“Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang fasiq (kafir)? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang fasiq (kafir), maka tempat mereka adalah neraka, setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan lagi ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka; Rasakanlah siksa neraka yang dulu kalian dustakan.” (As-Sajdah: 18-20)
Jelas, bahwa Allah dan Rasul-Nya membedakan antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Mereka tidak sama dan memang tidak bisa disamakan sampai kapan pun. Ini Al-Qur`an dan Sunnah yang berbicara. Apakah Al Ustadz Fulan yang seorang ustadz salafi ini hendak menentang Al-Qur`an dan Sunnah? Lebih dari itu, yang disamaratakan secara semena-mena oleh Al Ustadz Fulan hafizhahullah dengan kaum kafir dan musyrik ini bukan sekadar seorang mukmin biasa atau orang Islam awam, melainkan para ulama dan syuhada yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dalam Al-Qur`anul Karim jelas-jelas disebutkan,
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ . (القلم : 35)
“Maka apakah Kami akan menjadikan orang-orang Islam sama seperti para penjahat (orang kafir)?” (Al-Qalam: 35)
Apakah Al Ustadz Fulan memang hendak menjadikan para ulama dan syuhada tersebut layaknya para penjahat dari kaum kafir? Nau’dzu billah…
Pelecehan Al Ustadz Fulan terhadap para ulama dan syuhada ini semakin tampak nyata dan terang benderang ketika beliau membahas keutamaan kaum mukminin. Beliau berkata,
“Di dalam Al-Qur`an, Allah telah menyebutkan banyak ayat yang memuji kaum mu`minin dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan dan tingkat ibadah serta ketaatan mereka kepada Allah. Kemudian menyebutkan apa yang telah Allah siapkan untuk mereka di Hari Akhir, berupa berbagai macam kenikmatan dan kesenangan, sebagai ganjaran terhadap amalan-amalan mereka yang terpuji. Namun, Allah sama sekali tidak menyebutkan kekurangan kaum mu`minin ataupun aib dan kesalahannya, dalam rangka “prinsip keseimbangan”.”[14]
Pembaca, coba perhatikan perkataan yang kelewat berani dari Al Ustadz Fulan ini, “Allah telah menyebutkan banyak ayat yang memuji kaum mu`minin…” Apakah menurut Al Ustadz Fulan, Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah menurut Al Ustadz Fulan, Syaikh Sayyid Quthub rahimahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah menurut Al Ustadz Fulan, Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah menurut Al Ustadz Fulan, Prof. DR. Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah menurut Al Ustadz Fulan, DR. Syaikh Safar Al-Hawali hafizhahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah menurut Al Ustadz Fulan, Syaikh DR. Salman Al-Audah hafizhahullah bukan termasuk kaum mukminin? Apakah Syaikh DR. Nashir Al-Umar bukan termasuk kaum mukminin? Dan… dan…
Jika Al Ustadz Fulan masih menganggap para ulama dan syuhada yang mulia itu sebagai bagian dari kaum mukminin, kenapa beliau tidak turut memuji mereka? Kenapa beliau justru merendahkan mereka sedemikian rupa dengan kata-kata dan kalimat yang sangat menyesakkan dada umat Islam? Sekiranya dalam Al-Qur`an, Allah memuji kaum mukminin, kenapa Al Ustadz Fulan tidak mengikuti apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur`an?
Apabila, “Allah sama sekali tidak menyebutkan kekurangan kaum mu`minin ataupun aib dan kesalahannya, dalam rangka “prinsip keseimbangan,” kenapa Al Ustadz Fulan - - - malah menyebutkan –meski bisa saja tidak berdasar– kekurangan ataupun aib dan kesalahan para ulama dan syuhada kaum mukminin? Apakah Al Ustadz Fulan memang sedemikian alergi dan bencinya terhadap “prinsip keseimbangan?” Apakah Al Ustadz Fulan justru lebih mencintai “prinsip ketidakseimbangan?”
Masih mending jika Al Ustadz Fulan memusuhi prinsip “kesimbangan” dan “keadilan” ini dikarenakan ketidaktahuannya. Tetapi ini tidak. Sebab, banyak di antara kita yang tahu bahwa beliau adalah seorang ustadz yang mengajar di sebuah Pondok Pesantren salafi di Jember Jawa Timur. Tentu, (insya Allah) beliau tahu betul masalah keseimbangan dan keadilan ini. Apalagi beliau sendiri berkata,
“Allah selalu memerintahkan kaum mu`minin untuk senantiasa berbuat adil dan sportif terhadap semua pihak, bahkan terhadap musuh-musuh-Nya sekalipun. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ . (المآئدة : 8)
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaknya kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena (mengharap ridha) Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berbuat tidak adil. Berbuat adillah, karena sikap adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan. Bertaqwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [Al-Ma`idah: 8]”
Jadi, jelaslah sudah, bahwa sikap Al Ustadz Fulan yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya ini adalah berdasarkan pengetahuan, alias dengan kesadarannya sendiri. Seorang penyair berkata,
إِنْ كُنْتَ لَا تَدْرِيْ فَتِلْكَ مُصِيْبةٌ
وَ إِنْ كُنْتَ تَدْرِيْ فَالْمُصِيْبَةُ أَعْظَمُ
“Sekiranya engkau tidak mengetahui, maka itu adalah musibah
Dan jika engkau mengetahui, maka musibahnya lebih besar lagi”[15]
Kita berdo’a kepada Allah semoga dihindarkan dari hawa nafsu semacam ini. Amin.
Dalil-dalil dari Sunnah versi Al Ustadz Fulan
Secara singkat, kami sampaikan bahwa ada tiga buah hadits yang disebutkan Al Ustadz Fulan di sini, dimana semuanya sudah pernah kita bahas sebelumnya. Tiga buah hadits tersebut,[16] yaitu:
Yang pertama,
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ .
“Izinkan orang itu. Dia adalah sejelek-jelek sanak saudara.”
Kedua,
وَأمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ ، وَأمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ العَصَا عَنْ عَاتِقِهِ . وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ .
“Adapun Muawiyah, dia adalah orang faqir yang tidak memiliki harta. Sedangkan Abul Jahm, dia orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.”
Ketiga,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ .
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit. Dia tidak memberi nafkah yang cukup kepadaku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya dimana dia tidak tahu?”
Inilah tiga buah hadits yang disebutkan Al Ustadz Fulan dalam sub-bab ini, dan tiga hadits ini pula yang beliau sebutkan sebagai contoh tentang halalnya ghibah versi beliau. Dan, karena pada catatan kali ini kita sedang membahas masalah manhaj muwazanah yang ditentang oleh Al Ustadz Fulan, maka kami pun akan membahasnya dari sisi ini.
Al Ustadz Fulan berkata,
“Coba kita perhatikan dengan baik pernyataan-pernyataan Rasulullah di atas. Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa pada pihak-pihak tersebut terdapat nilai-nilai kebaikan. Siapa yang tidak kenal dengan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang ikut berjuang bersama Rasulullah membela Islam dan tergolong salah seorang penulis wahyu Al-Qur`an, dan sekian kelebihan dan keutamaan shahabat Mu’awiyah ini yang telah disebutkan oleh para ‘ulama dalam kitab-kitab hadits dan sejarah.
Demikian juga dengan shahabat Abul Jahm, yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan keutamaan yang tidak bisa dibandingkan dengan orang terbaik di masa ini sekalipun. Tetapi toh ternyata Rasulullah , seorang Rasul yang penuh amanah dan lebih bisa bersikap adil, tidak menyebutkan sedikitpun kebaikan dan keutamaan kedua shahabat yang mulia tersebut karena beliau memandang kondisinya tidak perlu untuk menyebutkan kebaikan dan keutamaan keduanya.
Begitu juga pada shahabat Abu Sufyan, yang memiliki keutamaan. Toh ternyata Rasulullah tidak mengingkari laporan isteri Abu Sufyan yang mengadukan tentang suaminya, tanpa menyebutkan nilai-nilai kebaikan dan keutamaan sang suami di hadapan Rasulullah . Beliau pun tidak menilai sikap wanita itu sebagai suatu sikap yang tidak adil atau tidak sportif, dan beliau juga tidak menuntut wanita tersebut untuk menyebutkan kebaikan dan kelebihan suaminya.”[17]
Ada sejumlah catatan untuk Al Ustadz Fulan dalam hal ini. Pertama; Benar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kekurangan sebagian sahabat di atas, tanpa menyebutkan kebaikannya. Namun, Al Ustadz Fulan sendiri mengakui berbagai kelebihan dan keutamaan para sahabat tersebut. Masalahnya, apakah Al Ustadz Fulan pernah menyebutkan kebaikan-kebaikan para ulama dan syuhada yang dilecehkannya?
Kedua; Kekurangan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap sebagian sahabat tersebut, semuanya berkaitan dengan akhlaq atau kondisi keuangannya. Masalahnya, apakah yang disebutkan oleh Al Ustadz Fulan tentang para ulama dan syuhada yang menjadi ‘korban’nya adalah juga soal akhlaq dan kondisi keuangannya?
Ketiga; Siapa pun sahabat yang pernah di’jarh’ oleh Rasul, tidak ada satu pun di antata mereka yang divonis sesat, ahlu bid’ah, Khawarij, dan pemberontak. Masalahnya, kenapa ‘jarh’ dari Al Ustadz Fulan justru berkonsentrasi dan terfokus dalam hal ini?
Keempat; Apa pun ucapan Nabi yang bernada ‘jarh’ terhadap sebagian sahabat, tidak ada satu pun kata-kata kasar yang dan tidak santun yang keluar dari lisan beliau yang mulia. Sangat berbeda seratus tujuh puluh sembilan derajat dengan kata-kata Al Ustadz Fulan yang semacam ini: provokator,[18] pengkhayal,[19] pemikir linglung,[20] bocah-bocah ingusan,[21] jagoan konyol,[22] teroris,[23] Khawarij,[24] dungu,[25] si jahil,[26] dan lain-lain.
Kelima; Apa pun ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bernada ‘jarh’ terhadap sebagian sahabat, tidak ada satu pun yang diiringi dengan peringatan kepada sahabat-sahabat lainnya agar menjauhi sahabat yang kena ‘jarh’ tersebut. Ringkas kata, tidak ada satu sahabat pun yang ditahdzir oleh Nabi.[27] Ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Al Ustadz Fulan - - - hafizhahulullah terhadap para ulama dan syuhada.
Jadi, demikianlah dalil-dalil dari Sunnah versi Al Ustadz Fulan yang ternyata memang dipaksakan sekadar agar dapat menumpahkan kata-kata apa pun yang diinginkannya terhadap para ulama dan syuhada yang tidak sependapat dengannya.
Dalil-dalil dari Atsar Salafush Shalih Versi Al Ustadz Fulan
Sebetulnya, sub-bab ini kurang lebih hanya pengulangan saja dari pembahasan yang telah ada sebelumnya. Intinya, Al Ustadz Fulan hendak mengatakan kepada pembaca bahwa para sahabat, salafush shalih, dan para ulama itu dalam menilai kekurangan seseorang hanya menyebutkan kekurangannya saja tanpa menyinggung sedikit pun kebaikannya. Al Ustadz Fulan berkata,
“Untuk mengetahui contoh-contoh pernyataan para shahabat[28] dan para ‘ulama generasi as-salafush shalih serta para ‘ulama yang mengikuti jejak mereka, maka para pembaca bisa melihat kembali sebagian pemaparan kami pada halaman 74-96.”[29]
Dalam pembahasan ini, ada tiga nama yang dianggap tokoh sesat yang disebutkan oleh Al Ustadz Fulan, yaitu: Amr bin Ubaid, Ma’bad Al-Juhani, dan Husain Al-Karabisi. Dua nama yang pertama jelas-jelas sesat menyesatkan berdasarkan fatwa para ulama besar, dan inilah yang hendak beliau samakan dengan para ulama dan syuhada. (Benar-benar pelecehan!) Dua nama pertama telah kita bahas sebelumnya. Adapun tentang Husain Al-Karabisi, maka sebetulnya terdapat pro-kontra tentang dirinya. Akan tetapi, sebagian kalangan terlalu membesar-besarkan dan senantiasa mengulang-ulang perkataan Imam Ahmad terhadap Husain Al-Karabisi ini.[30] Dalam MDMTK saja, Al Ustadz Fulan menukil tiga fatwa tentang Husain Al-Karabisi, dan ketiga-tiganya adalah perkataan Imam Ahmad.[31] Sekiranya tiga perkataan Imam Ahmad tentang Husain Al-Karabisi masih dianggap kurang, ini kami tambahi lagi:
Al-Marrudzi berkata kepada Imam Ahmad, “(Husain) Al-Karabisi mengatakan bahwa barangsiapa yang tidak mengatakan bacaan Al-Qur`an yang diucapkannya adalah makhluk, maka dia adalah kafir.” Imam Ahmad berkata, “Dia (Husain Al-Karabisi) itulah yang kafir.”[32]
Abul Harits berkata, “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang perkataan Husain Al-Karabisi yang mengatakan; Al-Qur`an yang aku ucapkan adalah makhluk. Maka Imam Ahmad berkata; Ini adalah perkataan kelompok Jahmiyah.”[33]
Demikian beberapa perkataan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah tentang Husain Al-Karabisi (w. 248 H)[34] yang tak lain adalah salah seorang murid sekaligus sahabat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang terkemuka. Dan di sini, ada baiknya jika kami sebutkan juga perkataan para ulama lain tentang Husain Al-Karabisi, sekadar sebagai penyeimbang dan supaya berkeadilan serta agar tidak terkesan terlalu mengeksploitasi kasus ini.
Ibnu Qadhi Syuhbah (w. 851 H) berkata, “Husain bin Ali Al-Karabisi bin Yazid Abu Ali Al-Baghdadi Al-Karabisi mengambil fiqih dari Asy-Syafi’i. Dia dulunya seorang yang bermadzhab ahlu ra`yi (rasionalis).”[35]
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syirazi (w. 476 H) berkata, “Dulu dia (Husain Al-Karabisi) adalah seorang mutakallim, menguasai ilmu hadits, dan mempunyai banyak karya tulis dalam bidang ushul fiqih serta cabang-cabang (furu’)nya.”[36]
Abu Ashim Muhammad Al-Abbadi (w. 458 H) berkata, “Tidak ada murid Asy-Syafi’i di Iraq yang lulus seperti Husain Al-Karabisi.”[37]
Imam Jamaluddin Abdurrahim Al-Isnawi (w. 772 H) berkata, “Kitab al-qadim (yang lama) yang diriwayatkan oleh Husain Al-Karabisi dari Asy-Syafi’i itu ada satu jilid yang sangat tebal.”[38]
Imam Al-Hafizh Abu Ahmad Abdullah Ibnu Adi Al-Jurjani (w. 365 H) berkata, “Dan Husain Al-Karabisi mempunyai sejumlah karya tulis. Di dalamnya, dia menyebutkan berbagai perbedaan pendapat orang-orang dalam banyak masalah. Dia adalah seorang hafizh. Dalam buku-bukunya, dia menyebutkan banyak sekali khabar (hadits) dimana tidak saya dapatkan hadits mungkar selain yang saya sebutkan. Adapun yang mendorong Ahmad bin Hambal tidak menyukainya adalah karena masalah pelafalan Al-Qur`an saja. Sedangkan tentang ilmu hadits, menurut saya tidak ada masalah dengannya.”[39]
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Husain bin Ali bin Yazid Al-Karabisi Al-Faqih Al-Baghdadi. Mendalami fiqih di Baghdad dan mendengar banyak hadits. Dia adalah sahabat Asy-Syafi’i, melanjutkan estafet ilmu darinya, dan terhitung salah seorang sahabatnya yang senior.”[40]
Imam Abu Bakar Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 463 H) berkata, “Dia (Husain Al-Karabisi) adalah seorang yang memiliki pemahaman bagus, alim, faqih, dan mempunyai banyak karya tulis dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang bagus pemahamannya dan sangat berlimpah ilmunya.”[41]
Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr (w. 463 H)[42] berkata, “Dia (Husain Al-Karabisi) adalah seorang alim, banyak karyanya, dan kokoh ilmunya. Waktu itu, fatwa penguasa banyak yang berpihak kepadanya. Dia adalah seorang yang pandai mengemukakan pendapat, ahli berdebat, pada dirinya terdapat sifat yang sombong, dan bermadzhab dengan madzhab penduduk Iraq. Namun, setelah Imam Asy-Syafi’i datang ke Baghdad, dimana dia (Husain) sering menimba ilmu darinya dan mendengar kitabnya, maka berpindahlah dia ke madzhab Asy-Syafi’i, dan dia pun semakin dihormati. Dia mempunyai syair dan karya tulis yang banyak, yang jumlahnya hampir dua ratus juz. Dulu, antara dirinya dan Ahmad ada pertemanan dan persaingan. Tetapi, manakala dia menyelisihi Ahmad dalam masalah Al-Qur`an, maka berubahlah pertemanan itu menjadi permusuhan. Masing-masing dari keduanya saling mencela yang lainnya. Dan, para pengikut madzhab Hambali pun meng-hajr (memboikot) Husain Al-Karabisi.”[43]
Imam Al-Hafizh Syamsuddin Adz-Dzahabi berkata, “Al-Karabisi: Al-Allamah, ahli fiqihnya orang Baghdad. Dia adalah Abu Ali Husain bin Ali bin Yazid Al-Baghdadi, orang yang memiliki sejumlah karya tulis. … Dia belajar fiqih dari Imam Asy-Syafi’i. … Dia termasuk salah seorang lautan ilmu, cerdas, jenius, dan fasih lisannya. Karya-karyanya dalam masalah furu’ dan ushul membuktikan kedalaman ilmunya. Hanya saja terjadi permusuhan antara dirinya dan Imam Ahmad. … Namun demikian, apa yang dilakukan dan dikatakan Al-Karabisi dalam masalah at-talaffuzh (pengucapan Al-Qur`an) bahwa itu adalah makhluk adalah haq (benar). Tetapi, Imam Ahmad tidak bisa menerima hal ini demi mencegah terseretnya orang-orang pada perkataan Al-Qur`an adalah makhluk, sehingga beliau langsung menutup pintu ke arah sana.”[44]
Imam Adz-Dzahabi juga berkata tentang para tokoh yang meninggal pada tahun 248 H, “… Di dalamnya juga terdapat Abu Ali Husain bin Ali Al-Karabisi, seorang pakar fiqih dan ilmu kalam, di Baghdad. Tetapi ada yang mengatakan dia meninggal tahun 245. Dia mendalami fiqih dari Asy-Syafi’i, dan mendengar hadits dari Ibnu Ishaq Al-Azraq dan sejumlah imam lain. Dia menulis banyak karya tulis, sangat kokoh penguasaannya dalam bidang fiqih, ushul fiqih, hadits, dan mengetahui para rijal hadits.”[45]
Imam Shalahuddin Khalil Ash-Shafadi (w. 764 H) berkata, “… Dan yang pertama kali mengatakan soal pelafalan Al-Qur`an adalah Husain bin Ali Al-Karabisi. Itu terjadi pada tahun 234. Dan adalah Al-Karabisi termasuk salah seorang ulama besar fiqih.”[46]
Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi berkata dalam Thabaqat Al-Fuqaha` tentang para murid terkemuka dari Imam Asy-Syafi’i, “… Dan di antara mereka adalah Abu Ali Husain bin Ali Al-Karabisi. Meninggal pada tahun 245 dan ada yang mengatakan 248. Dia adalah seorang mutakallim yang menguasai ilmu hadits. Dia mempunyai banyak karya tulis dalam bidang fiqih dan cabang-cabangnya. Mereka[47] adalah orang-orang yang terkenal di antara para sahabatnya. Dan sungguh masih banyak lagi orang yang mengambil ilmu fiqih darinya (Imam Asy-Syafi’i) selain mereka.”[48]
Imam Abul Abbas Ibnu Khallikan (w. 681 H) berkata, “Abu Ali Husain bin Ali bin Yazid Al-Karabisi Al-Baghdadi, sahabat Imam Asy-Syafi’i Radhiyallahu ‘Anhuma.[49] Dia adalah orang yang paling terkenal dalam menggantikan majlisnya dan paling hafal madzhabnya. Dia mempunyai banyak karya tulis dalam ushul fiqih dan furu’nya. Dia adalah seorang mutakallim yang menguasai ilmu hadits. Bahkan dia juga menulis kitab tentang al-jarh wa at-ta’dil, dan lain-lain. Banyak orang yang berguru fiqih kepadanya.”[50]
Hampir senada dengan Ibnu Khallikan, Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi berkata, “Husain bin Ali bin Yazid Al-Karabisi Al-Baghdadi, sahabat Imam Asy-Syafi’i Radhiyallahu ‘Anhu. Dia dikenal sebagai orang yang paling layak untuk duduk di majlisnya dan yang paling hafal madzhabnya. Dia adalah orang pertama yang dikenal sebagai perawi madzhabnya yang lama, yang kedua yaitu Az-Za’farani, yang ketiga Abu Tsaur, yang keempat Ahmad bin Hambal… Gelarnya adalah Abu Ali. Dia mempunyai karya tulis yang banyak dalam bidang ushul fiqih dan furu’nya. Dia adalah seorang mutakallim yang menguasai ilmu hadits. Bahkan dia juga menulis kitab tentang al-jarh wa at-ta’dil, dan lain-lain. Banyak orang yang berguru fiqih kepadanya… Dia rahimahullah wafat pada tahun 245 namun ada yang mengatakan 248, dan ini yang lebih mendekati kebenaran.”[51]
Ketika berkisah tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Al-Hafizh Abul Fida` Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi (w. 774 H) menyebut Husain Al-Karabisi sebagai ulama. Ibnu Katsir berkata, “… Kemudian Asy-Syafi’i kembali lagi ke Iraq pada tahun 195. Maka, berkumpullah dengannya pada kali ini sejumlah ulama. Di antaranya, yaitu: Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, Husain Al-Karabisi, Al-Harits bin Syuraih, Abu Abdirrahman Asy-Syafi’i, Az-Za’farani, dan lain-lain.”[52]
Dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Ibnu Taimiyah (w. 728 H) juga menyebut Husain Al-Karabisi sebagai ulama. Bahkan, hanya nama Husain Al-Karabisi saja yang disebut, bukan yang lain. Ketika menyebutkan hadits tentang Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu, Ibnu Taimiyah berkata, “… Adapun hadits yang shahih –dalam hal ini– yaitu; ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok yang melewati batas.’[53] Namun, sejumlah ulama mendha’ifkan hadits ini. Di antara mereka, yaitu Husain Al-Karabisi dan selain dia. Dan, yang senada dengan itu juga ada dinukil dari Ahmad.”[54]
Dalam majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah,[55] dalam tulisan berjudul “Risalah fi Anna Al-Qur`an Ghair Makhluq,” karya Imam Al-Hafizh Ibnu Ishaq Al-Harbi, disebutkan di sana pada catatan kaki tentang Al-Karabisi, “Dia adalah Husain bin Ali bin Yazid Al-Karabisi Al-Baghdadi Al-Faqih, sahabat Asy-Syafi’i, seorang yang jujur, dan mulia. Ahmad mengkritiknya dalam masalah pelafalan Al-Qur`an. … Dia dijauhi oleh Imam Ahmad dan juga murid-muridnya, sehingga kredibilitasnya pun terganggu di kalangan Ahlu Sunnah. Letak masalahnya adalah perkataan Al-Karabisi: Lafzhii bil Qur`aani makhluuq (Pelafalanku terhadap Al-Qur`an adalah makhluk), pada masa Imam Ahmad mengalami mihnah (cobaan berat) dan beberapa waktu setelahnya. … Sebetulnya, perkataan Al-Karabisi ini bukan berarti dia bermaksud mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk, sebagaimana yang dikatakan kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan yang semisalnya. Akan tetapi, yang dimaksud adalah lafal-lafalnya dan gerakan-gerakan lisannya, karena memang perbuatan semacam ini adalah sesuatu yang diciptakan (makhluk).[56] … Semoga Allah merahmati semuanya.”[57]
Dalam kumpulan fatwa-fatwanya, ketika menjelaskan tentang hujjiyah (kekuatan sebagai hujjah) hadits ahad, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz memasukkan Husain Al-Karabisi di antara para ulama yang mendukung pendapat ini. Beliau berkata, “Maka, di antara para ulama yang menetapkan bahwa khabarul wahid (hadits ahad) itu bisa dijadikan sebagai hujjah, yaitu: Malik, Asy-Syafi’i, sahabat-sahabat Abu Hanifah, Dawud bin Ali dan sahabat-sahabatnya seperti Abu Muhammad bin Hazm, Husain bin Ali Al-Karabisi, dan juga Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi.”[58]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani pun menyebut Husain Al-Karabisi termasuk dalam barisan para huffazhul hadits. Ketika membahas sebuah hadits dan menyebutkan pendapat Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib tentang seorang perawi bernama Amr bin Abdillah As-Sabi’i, beliau berkata, “… Namun dia (Ibnu Hajar) lupa menyifati Amr sebagai mudallis, padahal sejumlah hafizh telah menyifatinya demikian. Di antara mereka yaitu: Ibnu Hibban, Abu Ja’far Ath-Thabari, dan Husain Al-Karabisi, dan lain-lain. Itulah makanya, Al-Hafizh Ibnu Hajar memasukkan Amr dalam Thabaqat Al-Mudallisin.”[59]
Demikian sekilas tentang Al-Karabisi. Kami kira sudah cukup jelas siapa gerangan Husain Al-Karabisi yang dijadikan contoh buruk oleh Al Ustadz Abu Abdillah Fulan bin Muhammad - - - hafizhahullah. Beliau adalah seorang ulama besar murid langsung dari Imam Asy-Syafi’i yang memiliki berbagai kelebihan dan keutamaan, menurut kesaksian para ulama besar. Terlalu sombong rasanya jika kita mengabaikan begitu saja perkataan para ulama sekelas; Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Imam Adz-Dzahabi, Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Khathib Al-Baghdadi, Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan lain-lain. Jika mereka semuanya memberikan apresiasi positif kepada Husain Al-Karabisi, seraya memahami dan memaklumi dengan baik sikap Imam Ahmad, kenapa kita mesti mengeksploitasi sikap Imam Ahmad dalam hal ini?
Pembaca yang budiman, dari sini kita bisa melihat, betapa tidak adilnya jika satu kesalahan seseorang (itu pun kalau benar-benar disepakati salah) membuatnya harus kehilangan semua kebaikan dan keutamaannya. Insya Allah kita semua bisa memahami sikap Imam Ahmad terhadap Husain Al-Karabisi, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebagian ulama di atas. Akan tetapi, jika sikap Imam Ahmad ini dieksploitasi sedemikian rupa demi menjatuhkan para ulama dan syuhada yang ikhlas berjuang di jalan-Nya demi tegaknya agama Islam di muka bumi, maka yang semacam inilah sesungguhnya yang sulit untuk dipahami. Wallahu a’lam.
Pernyataan Para Ulama Versi Al Ustadz Fulan
Ada tiga ulama besar pada masa ini yang pendapatnya dinukil oleh Al Ustadz Fulan dalam rangka mendukung sikapnya yang anti muwazanah.[60] Mereka yaitu; Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Shalih Fauzan. Di sini, kami tidak hendak mengutip semua yang dikatakan oleh tiga ulama yang mulia tersebut, melainkan hanya yang kami anggap intinya saja.
Ketika ditanya tentang apakah dalam menilai seseorang itu harus menerapkan prinsip muwazanah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
“Tidak, itu bukan suatu keharusan, itu bukan suatu keharusan. …”[61]
Kalimat inilah yang dibold (ditebalkan) oleh Al Ustadz Fulan dari dua jawaban Syaikh Bin Baz atas dua pertanyaan yang diajukan dalam dua kesempatan berbeda. Namun demikian, apa yang dikatakan Syaikh Bin Baz sebagaimana yang dinukil Al Ustadz Fulan pun bukan berarti menunjukkan bahwa Syaikh Bin Baz adalah seorang ulama yang anti muwazanah. Dari kata-kata yang ditebalkan oleh Al Ustadz Fulan saja kita bisa melihat, bahwa beliau sama sekali tidak melarang seseorang memakai metode muwazanah dalam menilai seseorang. Beliau jelas-jelas mengatakan, “… itu bukan suatu keharusan, itu bukan suatu keharusan.” Artinya, memang itu bukan suatu keharusan, tetapi juga sebaliknya bukan sesuatu yang dilarang.
Ini perkataan Syaikh Bin Baz yang juga dinukil Al Ustadz Fulan, tetapi tidak ditebalkan,
“… Sedangkan perkara yang baik, jelas diketahui dan cenderung diterima (oleh umat). Namun maksud dari itu semua adalah memberi peringatan kepada umat dari kesalahan-kesalahan mereka: Al-Jahmiyah… Ar-Rafidhah… dan yang semisalnya.”[62]
Perhatikan kata “Al-Jahmiyyah” dan “Ar-Rafidhah” yang ditulis miring (italic) oleh Al Ustadz Fulan. Di sini jelas-jelas Syaikh Bin Baz menyebutkan dua kelompok sesat dari sekian banyak aliran sesat, yaitu: Jahmiyah dan Syi’ah Rafidhah. Dan, para ulama dan syuhada yang dijatuhkan secara tidak etis oleh Al Ustadz Fulan sama sekali tidak termasuk dalam dua kelompok sesat ini.
Perkataan Syaikh Bin Baz berikut ini lebih memperjelas lagi siapa sebetulnya yang tidak harus diperlakukan dengan prinsip muwazanah, “Maksud utama dari itu adalah memberikan peringatan dari kebatilan mereka. Sementara kebaikan-kebaikan mereka itu tidak ada nilainya bagi pihak yang telah jatuh pada kekafiran, jika bid’ah yang dia lakukan adalah jenis bid’ah yang menyeretnya kepada kekafiran, maka batallah semua kebaikannya.”[63]
Jadi, bagi mereka yang bid’ahnya sudah kelewatan atau telah menyeretnya kepada kekafiran, maka yang semacam ini memang tidak harus dan bahkan tidak perlu lagi membuang-buang energi untuk memuji-mujinya atau menampilkan segala kebaikannya. Dan, tentu saja hal ini tidak berlaku bagi para ulama dan syuhada yang dijarh oleh Al Ustadz Fulan. Karena mereka adalah para ulama dan syuhada yang mulia menurut kesaksian kaum muslimin di berbagai belahan bumi, meskipun ada sebagian kalangan yang tidak menyukai mereka.
* * *
Adapun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah yang takhrij hadits-hadits beliau sering kami pakai, memang cenderung tidak sependapat dengan manhaj muwazanah. Dan ini adalah hak beliau untuk berpendapat apa pun yang beliau yakini kebenarannya yang mesti kita hormati bersama. Karena bagaimanapun juga yang namanya manusia itu, sebagaimana kata Imam Malik:
كُلّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِه وَيُتْرَكُ إِلَّا رَسُوْلَ اللهِ .
“Setiap orang bisa diambil pendapatnya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[64]
Al Ustadz Fulan - - - menyebutkan, bahwa Syaikh Al-Albani ditanya tentang metode muwazanah dalam rangkaian Silsilatul Huda wan Nur, kaset rekaman nomor 850.[65] Lalu beliau menjawab,
“Segala bentuk kebaikan ada pada sikap mengikuti jejak salaf, apakah dahulu generasi salaf mempraktekkan kaidah ini?......[66] Metode seperti ini adalah metodenya Al-Mubtadi’ah. …”[67]
Demikian sekilas perkataan Syaikh Al-Albani yang dinukil oleh Al Ustadz Fulan. Dan, yang ditebalkan memang hanya kalimat di atas. Setelah ini, masih ada lagi sekitar dua setengah halaman lagi perkataan Syaikh Al-Albani yang ditampilkan Al Ustadz Fulan. Namun, tampaknya yang dipandang sebagai inti oleh Al Ustadz Fulan adalah perkataan Syaikh Al-Albani di atas, karena kalimat itulah yang beliau tebalkan. Selanjutnya, beliau menutup nukilan dari Syaikh Al-Albani ini dengan menyebutkan sumbernya, “http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query=.”[68] Akan tetapi, situs yang disebutkan oleh Al Ustadz Fulan ini tidak bisa dibuka. Begitu pula ketika kami klik http://www.sahab.org/books/book.php?id=366&query, dengan menghilangkan tanda “=“ tetap saja tidak bisa dibuka.
Namun demikian, ini hanya soal teknis saja. Bisa jadi dulu situs tersebut bisa dibuka, tetapi sekarang kebetulan sudah tidak bisa dibuka lagi. Meskipun Al Ustadz Fulan mempermasalahkan bahkan mendustakan kami hanya karena ada situs yang kami tampilkan dalam STSK tidak bisa dibuka, namun kami tidak ingin mengikuti jejak beliau dalam hal ini. Yang jelas, bagi pembaca yang ingin membaca langsung fatwa Syaikh Al-Albani tentang manhaj al-muwazanah, silakan klik: http://www.geocities.com/zin200/sq4.html, http://www.alsonan.net/vb/archive/index.php/t-366.html, atau http://www.al-borhan.com/vb/showthread.php?t=289.[69]
* * *
Berikutnya, Al Ustadz Fulan menukil fatwa Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah. Beliau (Syaikh Shalih) berkata,
“Jika anda menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka maknanya anda mengajak (umat) untuk mengikuti mereka. Jangan, jangan anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Sebutkan saja kesalahan yang mereka lakukan.”[70]
Demikian salah satu perkataan Syaikh Shalih yang dibold oleh Al Ustadz Fulan. Sekilas, perkataan ini bisa dipakai untuk dialamatkan kepada siapa saja yang dianggap punya ‘kesalahan’ menurut pihak yang menyalahkan. Akan tetapi, perkataan Syaikh yang masih satu paragraf yang juga dinukil Al Ustadz Fulan tetapi tidak dibold ini barangkali bisa agak memperjelas maksudnya,
“Bisa saja kesalahan yang mereka lakukan menghilangkan seluruh kebaikan mereka, jika kesalahan itu berbentuk kekufuran atau kesyirikan.”[71]
Syaikh Shalih Al-Fauzan juga berkata,
“Tetapi jika pihak yang dikritik adalah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan kesalahan-kesalahannya adalah dalam perkara-perkara yang tidak membikin cacat aqidah, maka benar. Yang seperti ini disebutkan kelebihan-kelebihan dan kebaikan-kebaikannya. Kesalahan-kesalahan dia tertutupi oleh sikap pembelaannya terhadap As-Sunnah.”[72]
Dari kata-kata yang kami bold, bisa terbaca dengan jelas. Silakan direnungkan dan diperhatikan, apakah para ulama dan syuhada yang dicerca habis-habisan oleh Al Ustadz Fulan - - - itu bukan dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah? Apabila Al Ustadz Fulan tidak memasukkan mereka ke dalam kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka sungguh ini merupakan suatu penistaan dan kelancangan yang teramat luar biasa. Sebab, para ulama besar di Saudi Arabia dan pemerintahnya sendiri mengakui dan menghormati ‘para korban’ Al Ustadz Fulan ini. Dan jika memang mereka termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah, lalu kenapa Al Ustadz Fulan tidak mau menyebutkan kelebihan-kelebihan dan kebaikan-kebaikannya sebagaimama yang dikatakan Syaikh Shalih Al-Fauzan?
Ringkas kata, meskipun Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan termasuk salah seorang ulama yang tidak setuju dengan manhaj muwazanah, namun beliau tetap saja bisa bersikap objektif dan proporsional. Apa yang beliau katakan masih dalam batas kesantunan dan selaras dengan akhlaq Islam. Tidak ada penyebutan nama seseorang ataupun kelompok tertentu di sana.[73] Tidak seperti sebagian kalangan yang sepertinya sependapat dengan beliau tetapi tidak sependapat (baca: tidak sama) dalam hal kesantunan dan objektivitasnya. Dan, kami sangat menghormati setiap ulama yang adil dalam bersikap dan menghargai perbedaan pendapat.
Dengan demikian, selesai sudah pembahasan tentang manhaj muwazanah yang dibantah oleh Al Ustadz Fulan, dimana beliau mengatakan bahwa manhaj ini bertentangan dengan metode al-jarh wa at-ta’dil versi beliau dan kelompoknya.
Al-Qur`an Al-Karim dan Muwazanah
Telah kami sampaikan sebelumnya, bahwa seusai menampilkan dalil-dalil Al Ustadz Fulan yang membantah prinsip muwazanah (keseimbangan dan keadilan), kami pun akan menampilkan hal yang sama. Bagaimanapun juga, karena muwazanah ini adalah sesuatu yang sifatnya fitrah, maka bukan hal yang aneh jika secara umum prinsip muwazanah ini banyak terdapat dalam Al-Qur`an, Sunnah, sikap atau perkataan sahabat, dan atsar salafush shalih.
Adapun di antara ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan diisyaratkan dan disyariatkannya muwazanah ini, yaitu:
- QS. Al-Baqarah: 237
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ .
“Dan hendaknya kalian memaafkan, itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kalian melupakan kebaikan di antara kalian.”
Ayat ini sebenarnya berkaitan dengan masalah perceraian suami istri. Namun, secara umum ayat ini berlaku bagi kaum muslimin secara keseluruhan, ketika mereka sedang menghadapi masalah dengan orang lain. Dalam rangkaian ayat ini dijelaskan, meskipun antara suami dan istri yang (akan) bercerai biasanya disebabkan oleh masalah tertentu yang tidak ringan bahkan bisa membawa permusuhan, tetapi Allah memerintahkan masing-masing pihak agar saling memaafkan dan jangan melupakan kebaikan atau keutamaan yang ada pada pihak lain. Sebab, seburuk apa pun seseorang, tentu ada sisi positif pada dirinya.
Ini adalah prinsip muwazanah. Kita harus adil, seimbang, dan objektif dalam menilai seseorang, sekalipun orang itu adalah orang yang baru saja ada masalah dengan kita. Allah bahkan melarang kita melupakan kebaikan yang ada pada diri orang lain, meskipun bisa saja maksud dari “Janganlah kalian melupakan” ini adalah “Janganlah kalian melupakan dengan sengaja” atau sengaja melupakannya.
Imam Hasan bin Muhammad An-Naisaburi rahimahullah (w. 850 H) berkata, “(Walaa tansawul fadhla bainakum): Janganlah kalian meninggalkan kebaikan dan toleransi yang pernah ada di antara kalian. Dan ayat ini bukanlah merupakan larangan lupa, karena hal ini sudah di luar kemampuan. Namun yang dimaksud yaitu: jangan meninggalkan.”[74]
Syaikh Al-Allamah Thahir bin Asyur rahimahullah berkata, “… Maka mereka diperintahkan dalam ayat ini agar saling menjaga kebaikan (di antara mereka) dan jangan mereka melupakannya. Sebab, melupakan kebaikan ini akan membuat mereka saling menjauhi dan bisa membuat di antara mereka ada yang dendam. Hal ini akan menyebabkan sulitnya memaafkan pihak yang lain jika ada kejadian lagi di lain waktu. Itulah makanya, dalam menjaga kebaikan itu terdapat pengaruh yang besar untuk mempererat kasih dan rasa cinta. Ini adalah cara tepat untuk memperkokoh persatuan dan mempererat persaudaraan, serta bisa bermanfaat ketika menyelesaikan suatu permasalahan.”[75]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala: Walaa tansawul fadhla bainakum, maksudnya yaitu; Janganlah kalian meninggalkan kebaikan –yakni, perbuatan baik di antara kalian– dengan memberikan dan maaf.”[76]
Masih dalam bab yang sama, Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, “Seyogyanya manusia itu jangan sampai melupakan kelebihan saudara-saudaranya dalam pergaulannya, karena Allah Ta’ala berfirman (Walaa tansawul fadhla bainakum), dan dalam hadits disebutkan: ‘Semoga Allah merahmati seorang hamba yang lemah lembut ketika menjual, lemah lembut ketika membeli, dan lemah lembut ketika menagih hutang,’[77] maka secara tekstual ini adalah perintah bersikap baik dalam bermuamalah. Dan, agama Islam memang mendorong untuk bermuamalah dengan baik, berakhlaq baik, dan berbuat baik dalam segala hal.”[78]
- QS. Al-Maa`idah: 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى .
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil.”
Ayat ini juga berbicara tentang muwazanah, dimana kita harus bersikap adil dan objektif sekalipun terhadap musuh atau lawan kita. Jangan sampai kebencian kita terhadap seseorang, membuat kita tidak bisa berlaku adil dalam menyikapi atau menilainya.
Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Dan firman-Nya (Walaa yajrimannakum syana`aanu qowmin ‘alaa allaa ta’diluu), maksudnya yaitu: Jangan sekali-kali kebencian kalian kepada suatu kaum itu membuat kalian mengabaikan keadilan terhadap mereka. Bahkan, hendaknya senantiasalah bersikap adil kepada setiap orang, baik itu kawan maupun lawan. Dikarenakan hal ini, Allah berfirman (I’diluu huwa aqrobu lit taqwaa), maksudnya yaitu: sikap adil kalian itu lebih dekat kepada taqwa daripada sikap meninggalkan keadilan.”[79]
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar Fakhruddin Ar-Razi rahimahullah (w. 606 H) berkata, “… Maknanya yaitu: Jangan sekali-kali rasa benci kalian terhadap suatu kaum itu mendorong kalian untuk berbuat aniaya dan bersikap berlebihan terhadap mereka. Akan tetapi, berlaku adillah kalian terhadap mereka, sekalipun mereka melakukan kejahatan kepada kalian. Dan berbuat baiklah kepada mereka, sekalipun mereka sangat menyakiti kalian. Ini adalah perintah yang sifatnya umum. Artinya, Allah Ta’ala memerintahkan semua makhluk-Nya agar jangan sampai mereka memperlakukan orang lain kecuali dengan cara yang adil dan objektif; serta meninggalkan subjektivitas, kezhaliman, dan cara-cara yang tidak baik.”[80]
Dalam kitab tafsirnya, Fadhilatul Imam Al-Akbar Syaikhul Azhar Prof. DR. Muhammad Sayyid Thanthawi hafizhahullah berkata, “… Kalian harus senantiasa bersikap adil dalam segala keadaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (Walaa yajrimannakum syana`aanu qowmin ‘alaa allaa ta’diluu…). Termasuk dalam hal ini adalah perkataan Abdullah bin Rawahah –Radhiyallahu ‘Anhu– ketika diutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengambil buah-buahan dan hasil panen penduduk Khaibar. Waktu itu mereka (penduduk Khaibar) hendak menyuap Abdullah agar dia mau bersikap lunak terhadap mereka. Maka Abdullah berkata; ‘Demi Allah, aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling aku cintai. Dan sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang sangat aku benci. Akan tetapi, kecintaanku pada padanya (Nabi) dan kebencianku pada kalian tidak akan membuatku tidak bersikap adil terhadap kalian.’ Maka mereka pun berkata; ‘Dengan yang semacam inilah langit dan bumi bisa tegak’.”[81]
- QS. An-Nisaa`: 58
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ .
“Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kalian menetapkan dengan adil.”
Ayat ini juga menyuruh kita agar senantiasa bersikap adil jika sedang mengadili atau memberikan suatu keputusan terhadap orang yang bersengketa. Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (w. . 1376 H) berkata, “(Wa idzaa hakamtum bainan naasi an tahkumuu bil ‘adl): ini mencakup hukum di antara mereka dalam masalah darah, harta, dan kehormatan, baik itu sedikit ataupun banyak, terhadap keluarga dekat maupun orang jauh, terhadap orang baik maupun yang suka berbuat maksiat, serta sahabat maupun musuh. Sedangkan maksud “bil ‘adl” (dengan adil) yaitu: Allah memerintahkan agar kita menghukumi dengan adil. Adil ialah apa yang disyariatkan Allah melalui lisan Rasul-Nya, dalam masalah hudud dan hukum-hukum lainnya.”[82]
Syaikh Manna’ Khalil Al-Qaththan rahimahullah (w. 1420 H) berkata, “(Wa idzaa hakamtum bainan naasi an tahkumuu bil ‘adl): Ini adalah nash yang bersifat mutlak lagi tegas. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menuntut kita untuk menegakkan keadilan di antara manusia semuanya dengan segala perbedaan agamanya dan tingkatannya. Tidak hanya khusus untuk antar umat Islam saja. Sebab, keadilan adalah fondasi dasar sistem kehidupan. Dengan demikian, ia merupakan hak setiap orang dari agama mana pun dan bangsa serta warna kulit apa pun. Inilah dia undang-undang Islam yang agung, bukan sekadar bersembunyi di atas keistimewaan ras tertentu, dan tidak pula merendahkan agama untuk melayani para penguasa.”[83]
Syaikh Prof. DR. Abdussalam Al-Harras hafizhahullah berkata, “Ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi serta penerapan praktik moderasi agama ini banyak sekali. Semuanya menunjukkan keadilan agama yang senantiasa kuat dengan keadilan hingga sekarang sekalipun banyak yang melemahkan dan mengacaukan prinsip keadilan ini. Hal ini dikarenakan kaedah [Adil adalah fondasi dasar kekuasaan] merupakan kaedah Islami, dimana Allah berfirman (Wa idzaa hakamtum bainan naasi an tahkumuu bil ‘adl). Dan, Allah tidak mengatakan Wa idzaa hakamtum bainal muslimiin (Dan jika kalian menghukumi di antara kaum muslimin). Jadi, keadilan itu mencakup semua manusia.”[84]
- QS. Ar-Rahman: 9
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ .
“Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Bisa dibilang, kata “muwazanah” berasal dari kata “al-waznu” yang terdapat dalam ayat ini. Al-waznu artinya timbangan. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita agar adil dalam menimbang dan jangan sekali-kali kita mengurangi timbangan. Sekiranya menimbang suatu barang dagangan saja kita disuruh Allah untuk berbuat adil, bagaimana halnya jika yang ditimbang adalah seorang manusia? Akankah kita mengurangi timbangannya? Masih mending jika timbangan kebaikan seseorang dikurangi sedikit, tetapi yang terjadi pada sebagian kalangan pada saat ini adalah justru menihilkan timbangan kebaikan orang yang dibenci dan menginventarisir (baca: mengumpulkan dan mengoleksi) kesalahan orang tersebut sebanyak mungkin. Ini sungguh menyedihkan. Ini adalah suatu sikap yang benar-benar bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla, dan juga Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta teladan salafush shalih Radhiyallahu ‘Anhum.
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah (w. 310 H) berkata, “Dan firman-Nya (Wa aqiimul wazna bil qisthi), yakni: Dan tegakkanlah besi timbangan itu dengan adil. Adapun firman-Nya (Walaa tukhsirul miizaan), maksudnya: Dan janganlah kalian mengurangi timbangan jika kalian menimbang untuk orang-orang dan jangan kalian menzhalimi mereka.”[85]
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) berkata, “Menurut Hasan Al-Bashri, Qatadah, dan Adh-Dhahhak: miizaan adalah lisan, dimana dengan lisan itulah seseorang menilai orang lain. Dan, ini adalah khabar tentang perintah berbuat adil. Hal ini ditunjukkan dengan firman Allah Ta’ala (Wa aqiimul wazna bil qisthi), dan al-qisth adalah keadilan.”[86]
Mengutip Qatadah, Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Bersikap adillah hai anak Adam, sebagaimana engkau suka jika orang lain bersikap adil kepadamu. Dan menimbanglah engkau sebagaimana engkau suka orang lain menimbang untukmu. Karena sesungguhnya keadilan itu adalah untuk kebaikan manusia.”[87]
Imam Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi rahimahullah (w. 1270 H) berkata, “(Wa aqiimul wazna bil qisthi), maksudnya yaitu: tegakkanlah timbangan kalian dengan adil. Ar-Raghib Al-Ashfahani mengatakan, bahwa ini adalah isyarat agar manusia senantiasa menjaga sikap adil dengan sungguh-sungguh pada setiap perbuatan dan perkataannya.”[88]
- QS. Al-Qashash: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ .
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”
Imam Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi rahimahullah (w. 516 H) berkata, “(Wabtaghi fiimaa aataakallaahud daaral aakhirah), yakni carilah pada harta dan nikmat yang telah diberikan Allah kepadamu untuk meraih surga, yaitu dengan cara bersyukur kepada Allah dalam segala yang Dia karuniakan kepadamu. Dan hendaknya engkau menginfaqkan hartamu untuk mencari ridha Allah Ta’ala. (Walaa tansa nashiibaka minad dun-yaa), Mujahid dan Ibnu Zaid berkata; Janganlah kamu meninggalkan amal baik di dunia untuk akhiratmu agar kamu selamat dari adzab. Sebab, sesungguhnya hakekat bagian kenikmatan manusia di dunia ini adalah hendaknya dia beramal untuk akhirat. As-Suddi berkata; Dengan bersedekah dan silaturahim.”[89]
Prof. DR. Ashim Ahmad Ad-Dasuqi berkata, “Selain menyeru untuk saling mengasihi dan menyayangi, agama Islam ini juga merupakan agama moderat yang menyeru untuk bekerja dan berproduksi, demi memakmurkan alam dan agar manusia senantiasa dalam kebaikan dan kebahagiaan manakala cahaya iman menerangi hatinya, menjaga dirinya, dan mendidik akhlaqnya. Dengan demikian, maka dia pun hidup dengan amal kebaikannya… Dan tidak berlebihan jika ini disebut sebagai muwazanah (keseimbangan) antara materi dan ruh, dan antara agama dengan dunia.”[90]
Syaikh DR. Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki hafizhahullah berkata, “Moderasi (wasathiyah) pemeluk agama Islam yang konsisten dengan petunjuknya ini tampak dalam sikap adil dan seimbangnya mereka dalam memenuhi kebutuhan duniawi dan kecenderungan padanya dengan mencari dan beramal untuk akhirat. Mereka melakukan hal-hal yang dapat mengantarkan pada apa yang diinginkan tanpa melebihkan ataupun mengurangi, tidak terlalu ngoyo dan juga tidak malas-malasan. Allah Ta’ala berfirman: (Wabtaghi fiimaa aataakallaah…)… Jadi, Islam ini adalah agama yang berada di tengah-tengah (moderat) antara orang yang berlebihan dalam urusan dunia tetapi melalaikan akhirat, dan orang orang yang berlebihan dalam urusan akhirat namun melupakan dunianya. Inilah dia at-tawazun (keseimbangan) antara kebutuhan badan dan kebutuhan hati.”[91]
Muwazanah dalam Sunnah Nabi Saw
Muwazanah yang bermakna keseimbangan dan keadilan dalam Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada dasarnya adalah muwazanah dalam Islam itu sendiri, yakni muwazanah dalam arti yang universal dan komprehensif. Ia tidak hanya muwazanah dalam hal menilai karakter seseorang saja, melainkan juga muwazanah dalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Muwazanah dalam beribadah dan bekerja mencari nafkah, muwazanah dalam berbicara dan diam, muwazanah dalam menyukai dan membenci sesuatu, muwazanah dalam bersikap keras lagi tegas dan lemah lembut, muwazanah dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat, dan muwazanah dalam segala hal.
Jangan sekali-kali kita menyangka bahwa muwazanahnya Nabi adalah sebagaimana muwazanah yang dikehendaki oleh Al Ustadz Fulan - - - hafizhahullah, yakni muwazanah dalam menilai seseorang dalam kebaikan dan keburukannya. Justru kalau kita mencari muwazanah model begini dalam Sunnah nggak bakalan ketemu. Sebab, Nabi bukanlah orang yang suka menilai-nilai sahabatnya; si fulan begini begini…, si anu begitu dan begitu… dalam konotasi yang negatif. Bukan, sama sekali bukan. Yang ada bahkan sebaliknya. Itulah makanya, kita akan menjumpai dengan mudah dalam kitab-kitab hadits tentang manaqib (kebaikan) dan fadha`il (keutamaan) sahabat. Dan sebaliknya kita akan sangat kesulitan bahkan tidak akan menemukan hadits-hadits khusus tentang kekurangan-kekurangan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
Adapun hadits-hadits yang dibawakan oleh Al Ustadz Fulan dalam rangka mementahkan prinsip muwazanah dan penghalalan ghibah terhadap saudara sesama muslim bahkan terhadap ulama dan syuhada sekalipun; itu tak lain hanyalah manipulasi belaka. Tengoklah misalnya hadits:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ .
“Izinkan orang itu. Dia adalah sejelek-jelek sanak saudara.”[92]
Bagaimana mungkin Al Ustadz Fulan bisa memasukkan hadits ini dalam bab kontra muwazanah jika orang yang bersangkutan memang tidak mempunyai kebaikan atau keutamaan lain yang membuatnya bisa dimuwazanah? Lain halnya, apabila (hadits) yang dijadikan contoh oleh Al Ustadz Fulan menyangkut seorang sahabat yang dikenal mempunyai keutamaan tertentu. Ini masih memungkinkan untuk dibahas dalam bab kontra muwazanah, karena Nabi menjarh sahabat yang mempunyai keutamaan. Tetapi, adakah hadits seperti ini? Tidak ada!
Sekadar tambahan dari apa yang telah kami sampaikan sebelumnya,[93] Imam An-Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini tersirat bolehnya bersikap lunak terhadap orang yang ditakuti ketajaman lisannya (kekasaran perangainya), dan juga bolehnya ghibah terhadap orang fasiq yang terang-terangan menampakkan kefasikannya.”[94]
Bahkan, Al-Qadhi Abul Fadhl Iyadh bin Musa Al-Yahshabi rahimahullah (w. 544 H) menduga bahwa orang yang ditakuti karena ketajaman lisannya ini belum masuk Islam saat itu, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam kategori sahabat. Al-Qadhi berkata, “Waktu itu Uyainah[95] wallahu a’lam belum masuk Islam, sehingga apa yang dikatakan Nabi tentang dia tidak termasuk ghibah. Atau, bisa juga dia telah masuk Islam, tetapi keislamannya belum baik.”[96] Ringkasnya, bagaimana mungkin Nabi akan memuji-muji kelebihan Uyainah tersebut jika yang bersangkutan sendiri adalah orang fasiq yang terang-terangan menampakkan kefasikannya plus tidak tampak ada kelebihan pada dirinya dalam keislamannya?
Sungguh, tidak bijak dan terlalu dipaksakan jika sabda Nabi ini dipolitisir sedemikian rupa untuk melegalkan pen-jarh-an para ulama dan syuhada sesuka hati menuruti hawa nafsu. Dalam muqaddimah kitab “At-Ta’dil wa At-Tajrih” karya Al-Hafizh Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki rahimahullah (w. 474 H), Syaikh Ahmad Al-Bazzar[97] berkata, “Membicarakan rijal, baik itu jarh maupun ta’dil, ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat, tabi’in, dan para ulama setelah mereka; dimana Nabi pernah menjarh orang yang beliau anggap tidak layak untuk dita’dil.”[98] Jadi, sangat berbeda antara orang yang pernah dijarh Nabi dengan para sahabat yang secara umum semuanya telah dita’dil oleh Allah dan Rasul-Nya, karena yang dijarh Nabi adalah memang orang yang tidak layak untuk dita’dil.
Pembaca yang budiman, sungguh kita kita akan kesulitan mencari hadits tentang celaan[99] Nabi terhadap sahabat. Sebab, Nabi memang bukan seorang pencela. Beliau adalah seorang yang sangat santun lagi lemah lembut. Lisan beliau yang mulia tak akan mungkin mengeluarkan kata-kata celaan. Jangankan celaan kepada sahabat, bahkan kepada binatang maupun tumbuh-tumbuhan pun tidak ada. Kalaupun ada, paling jumlahnya hanya segelintir. Itu pun sangat kasuistis, sebagaimana beberapa (baca: cuma tiga saja) hadits yang dieksploitasi oleh Al Ustadz Fulan. Dan itu juga tidak bisa dikategorikan sebagai celaan apalagi tahdzir, melainkan sekadar memberikan masukan atau nasehat kepada orang yang bertanya kepada beliau. Lebih tepatnya, itu merupakan jawaban Nabi atas pertanyaan Fathimah binti Qais tentang Muawiyah dan Abul Jahm yang datang melamarnya. Dan, apa yang dikatakan Nabi tentang Muawiyah dan Abul Jahm pun sesungguhnya relatif tidak bisa disebut sebagai celaan secara mutlak.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
أمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ ، وَأمَّا أَبُو الْجَهْمِ ، فَلاَ يَضَعُ العَصَا عَنْ عَاتِقِهِ .
“Adapun Muawiyah, dia adalah orang faqir yang tidak memiliki harta. Sedangkan Abul Jahm, dia orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.”[100]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anhuma (w. 60 H) sebagai orang miskin yang tidak punya harta; apakah ini celaan? Apakah ini jarh? Apakah miskin itu adalah aib, sehingga orang yang miskin menjadi tercela? Betapa anehnya dan terlalu dipaksakan jika hadits ini dimasukkan dalam bab al-jarh wa at-ta’dil, apalagi dipergunakan untuk merobohkan prinsip muwazanah. Sebab, ini adalah perkara ghibah yang diperbolehkan dalam kasus tertentu. Para ulama pun biasanya meletakkan hadits ini dalam bab seputar ghibah dan pernikahan.[101] Adapun Al Ustadz Fulan, beliau meletakkan hadits ini dalam bab al-jarh wa at-ta’dil versi beliau demi melegalkan berbagai celaan dan penyematan gelar-gelar buruk yang telah beliau lakukan terhadap para ulama dan syuhada.
Sedangkan perkataan Nabi tentang Abul Jahm bin Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu,[102] “Dia orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya,” adalah kata kiasan yang sangat santun tanpa embel-embel apa pun. Tidak ada celaan di sana. Paling banter, adalah riwayat lain yang menyebutkan bahwa Abul Jahm adalah seorang lelaki yang suka memukul perempuan (dharrab lin nisa`). Dan, ini pun masih bisa dimaklumi untuk kasus ini. Yang jelas, karena hadits tentang Abul Jahm dan Muawiyah ini masih dalam satu rangkaian, bisa dibilang bahwa para ulama –pada umumnya– tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil bolehnya kita menjarh (baca: menjelek-jelekkan) seorang muslim yang layak dita’dil atau dianggap masih mempunyai kelebihan dan keutamaan.
Adapun hadits terakhir yang dipakai dalil oleh Al Ustadz Fulan untuk merobohkan manhaj muwazanah, yaitu hadits Hindun binti Utbah yang menceritakan keadaan suaminya, Abu Sufyan bin Harb Radhiyallahu ‘Anhuma. Hindun berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ ؟ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ .
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit. Dia tidak memberi nafkah yang cukup kepadaku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya dimana dia tidak tahu?”
Maka Nabi bersabda, “Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.”[103]
Hadits ini pun juga kurang tepat jika diletakkan sebagai dalil yang membolehkan kita menjarh orang lain tanpa menta’dilnya. Sebab, yang men’jarh’ Abu Sufyan bukan Nabi, melainkan Hindun, istrinya sendiri. Nabi sama sekali tidak menjarh Abu Sufyan ataupun mentahdzirnya. Dan, kalaupun ada seorang istri yang mau curhat tentang perilaku buruk suaminya kepada orang lain, hendaknya dia menyampaikannya kepada orang yang bisa dipercaya dan mempunyai kapasitas untuk memberikan solusi. Bukan kepada sembarang orang. Yang jelas, menggunakan hadits ini sebagai dalil bolehnya menjarh orang lain secara semena-mena tanpa menta’dilnya hanyalah sebuah pemaksaan semata.
Di bawah ini adalah sebagian hadits tentang muwazanah di dalam Sunnah:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhuma,
صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا .
“Puasalah dan berbuka. Bangun malamlah dan tidur. Karena sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu punya hak atas dirimu, istrimu punya hak atas dirimu, dan tamumu juga punya hak atas dirimu.”[104]
Hadits ini menjelaskan tentang muwazanah dalam beribadah; harus seimbang antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan jasmani duniawi.
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي .
“Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa di antara kalian. Tetapi aku ini puasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur, dan aku pun menikah dengan sejumlah perempuan. Maka barangsiapa yang membenci Sunnahku, berarti dia bukan golonganku.”[105]
Hadits ini juga menyebutkan tentang muwazanah dalam beribadah; harus seimbang antara kebutuhan ukhrawi dan duniawi.
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ .
“Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah-Nya dikerjakan, sebagaimana Dia benci jika maksiat kepada-Nya dilakukan.”[106]
Ini adalah hadits muwazanah dalam hal reward (hadiah) dan punishment (hukuman) dari Allah ‘Azza wa Jalla..
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ .
“Sesungguhnya Allah meridhai[107] dan membenci[108] tiga perbuatan pada kalian: (1) Dia ridha kalian menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun; (2) Kalian semua berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah; (3) Dan hendaknya kalian saling memberi nasehat pada orang yang diberi Allah kekuasaan mengurusi perkara kalian.
Dan Dia membenci: (1) Bicara yang tidak jelas sumbernya; (2) Membuang-buang harta; (3) Dan banyak bertanya.”[109]
Ini adalah keadilan, dan inilah muwazanah; ada tiga hal yang disukai Allah, dan ada tiga hal pula yang Dia benci.
5. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلَاثَةٌ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ السُّوءُ وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ .
“Di antara tanda kebahagiaan Anak Adam itu ada tiga, dan tanda kesengsaraannya juga ada tiga. Di antara tanda kebahagiaannya, yaitu: (1) Istri shalihah, (2) tempat tinggal yang layak, dan (3) kendaraan yang baik. Sedangkan tanda kesengsaraannya, yaitu: (1) Istri yang buruk perangainya, (2) tempat tinggal yang tidak layak, dan (3) kendaraan yang jelek.”[110]
Kebahagiaan adalah lawan kata dari kesengsaraan. Ada tiga faktor tanda kebahagiaan manusia, dan juga ada tiga faktor tanda kesengsaraan manusia. Ini seimbang, dan ini adalah muwazanah.
Muwazanah Para Sahabat dan Tabi’in
1. Perkataan Ibnu Abbas terhadap Muawiyah
Sebagaimana kita ketahui, sesungguhnya Abdullah bin Abbas berada di pihak Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan dalam perseteruannya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Bahkan, Ibnu Abbas adalah salah seorang tokoh utama yang sangat gigih membela sikap dan keputusan Ali selama masa kekhalifahannya. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak menyurutkan sikap objektivitas dan keadilan Ibnu Abbas ketika ketika ditanya tentang Muawiyah, Radhiyallahu ‘Anhum.
Ibnu Abi Mulaikah (w. 171 H) menceritakan, bahwa ada seorang laki-laki[111] yang bertanya kepada Ibnu Abbas:
هَلْ لَكَ فِي أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ مُعَاوِيَةَ فَإِنَّهُ مَا أَوْتَرَ إِلَّا بِوَاحِدَةٍ؟ قَالَ أَصَابَ إِنَّهُ فَقِيهٌ .
“Apa pendapatmu tentang Amirul Mukminin Muawiyah, sesungguhnya dia tidak shalat witir kecuali satu raka’at?” Ibnu Abbas berkata, “Dia benar. Sesungguhnya dia seorang yang faqih.”[112]
2. Perkataan Ali terhadap Thalhah
Ali bin Abi Thalib dan Thalhah bin Ubaidillah adalah dua orang sahabat Nabi yang mulia. Keduanya termasuk dalam sepuluh orang yang dijanjikan (al-’asyrah al-mubasysyarun) Nabi masuk ke dalam surga. Akan tetapi, ketika Ali menjadi khalifah, terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya dalam masalah menyikapi para pembunuh Utsman bin Affan. Singkat cerita, bersama dengan Az-Zubair bin Al-Awwam dan sebagian kaum muslimin, Thalhah turut serta membela Aisyah dalam Perang Jamal melawan Ali dan pasukannya, Radhiyallahu ‘Anhum.
Selesai perang, Ali mendengar salah seorang prajuritnya ada yang mencela Thalhah bin Ubaidillah. Ali pun memarahinya dan berkata,
إِنَّكَ لَمْ تَشْهَدْ يَوْمَ أُحُدٍ! لَقَدْ رَأَيْتُهُ وَإِنَّهُ لَيَحْتَرِسُ بِنَفْسِهِ دُوْنَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ السُّيُوْفَ لَتَغْشَاهُ وَإِنْ هُوَ إِلَّا جُنَّةٌ بِنَفْسِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Sungguh engkau tidak menyaksikan Perang Uhud! Waktu itu aku benar-benar melihatnya menggunakan tubuhnya untuk membentengi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam padahal pedang-pedang mengarah kepadanya. Sungguh dia bagaikan perisai dengan tubuhnya bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[113]
Demikian yang dikatakan Ali tentang Thalhah. Padahal, baru saja Thalhah berperang melawan dirinya dan pasukannya dalam Perang Jamal. Sungguh, sikap adil dan objektif (baca: muwazanah) adalah sikap seorang muslim sejati. Permusuhan dan perbedaan tidak akan melenyapkan sikap adil dan objektif terhadap kebaikan dan keutamaan orang lain.
3. Perkataan Ibnu Umar terhadap Ibnu Az-Zubair
Meskipun sama-sama berada di Makkah, Ibnu Umar sama sekali tidak pernah memberikan baiatnya kepada Ibnu Az-Zubair, Radhiyallahu ‘Anhum. Ibnu Umar tetap pada baiatnya kepada khilafah Bani Umayyah yang berpusat di Syam. Ketika Ibnu Az-Zubair terbunuh oleh (pasukan) Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, panglima perang Khalifah Abdul Malik bin Marwan, jasadnya disalib di salah satu sudut kota Makkah.
Ibnu Umar berpesan kepada pembantunya agar jangan membawanya berjalan melewati jasad Ibnu Az-Zubair. Namun si pembantu ini lupa. Dia berjalan bersama Ibnu Umar melalui jasad Ibnu Az-Zubair, dan Ibnu Umar pun melihatnya. Lalu, Ibnu Umar berkata,
رَحِمَكَ اللهُ أَبَا خُبَيْبٍ ، مَا عَلِمْتُكَ إِلَّا صَوَّامًا قَوَّامًا ، وُصُوْلًا لِرَحِمِكَ . أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُوْ مَعَ مَسَاوِئِ مَا قَدْ عَمِلْتَ أَنْ لَّا يُعَذِّبَكَ اللهُ .
“Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Khubaib (Ibnu Az-Zubair). Aku tidak mengenalmu kecuali seorang yang rajin berpuasa, selalu shalat malam, dan senantiasa menyambung persaudaraan (silaturahim). Tetapi demi Allah, sesungguhnya aku berharap dengan segala keburukan yang telah engkau lakukan, mudah-mudahan Allah tidak mengadzabmu.”[114]
Pembaca, lihatlah apa yang dikatakan Ibnu Umar terhadap Ibnu Az-Zubair. Sungguh suatu perkataan yang mengandung muwazanah yang indah sekali. Dia sebutkan beberapa keutamaan Ibnu Az-Zubair, lalu dia hanya menyebutkan kata masawi` (keburukan-keburukan) tanpa memperincinya. Itu pun diakhiri Ibnu Umar dengan mendoakan Ibnu Az-Zubair.
4. Perkataan Ibnu Sirin terhadap Al-Hajjaj bin Yusuf
Abu Bakr Muhammad bin Sirin rahimahullah termasuk salah seorang ulama tabi’in yang cukup vokal mengkritisi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H), panglima perang Khalifah Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi dan gubernurnya di Hijaz dan Iraq. Siapa yang tidak kenal kebengisan dan kekejaman Al-Hajjaj yang dengan mudahnya membunuh orang hanya dikarenakan suatu kesalahan yang sangat ringan? Tak kurang dari seratus dua puluh empat ribu (124.000) orang yang telah dia bunuh.[115] Abdullah bin Az-Zubair Radhiyallahu ‘Anhuma dan Said bin Jubair rahimahullah adalah sebagian di antara korbannya. Bahkan, penyebab wafatnya Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma pun tak lepas dari konspirasi busuk Al-Hajjaj yang menyuruh seseorang untuk melemparkan tombak beracun kepadanya. Dan ketika Al-Hajjaj meninggal, ada delapan puluh ribu (80.000) orang yang berada dalam tahanannya, dimana tiga puluh ribu (30.000) di antaranya adalah perempuan.[116]
Dikarenakan berbagai kejahatan dan seabreg dosanya ini, sampai-sampai Umar bin Abdil Aziz rahimahullah berkata, “
لَوْ تَخَابَثَتِ الْأُمَمُ فَجَاءَتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِخَبِيْثِهَا وَجِئْنَاهُمْ بِالْحَجَّاجِ لَغَلَبْنَاهُمْ .
“Kalau semua umat manusia saling menunjukkan keburukannya, dimana setiap umat datang dengan tokoh penjahatnya, dan kita datang pada mereka dengan membawa Al-Hajjaj, sungguh kita akan mengalahkan mereka.”[117]
Ketika ada orang menyebut-nyebut Al-Hajjaj dalam majlisnya, Ibnu Sirin pun berkata,
مِسْكِيْنٌ أَبُوْ مُحَمَّدٍ ، إِنْ يُعَذِّبْهُ اللهُ فَبِذَنْبِهِ ، وَإِنْ يَغْفِرْ لَهُ فَهَنِيْئـاً.
“Kasihan sekali Abu Muhammad (Al-Hajjaj). Kalau Allah menyiksanya, itu memang karena dosanya. Dan jika Dia mengampuninya, maka selamat baginya.”
Ibnu Sirin juga pernah menegur seseorang yang mencela Al-Hajjaj setelah Al-Hajjaj meninggal. Dia berkata,
مَهْ أَيُّهَا الرَّجُلُ ، فَإِنَّكَ لَوْ قَدْ وَافَيْتَ الْآخِرَةَ كَانَ أَصْغَرُ ذَنْبٍ عَمِلْتَهُ قَطُّ أَعْظَمُ عَلَيْكَ مِنْ أَعْظَمِ ذَنْبٍ عَمِلَهُ الْحَجَّاجُ ، وَاعْلَمْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى حَكَمُ عَدْلٍ إِنْ أَخَذَ مِنَ الْحَجَّاجِ لِمَنْ ظَلَمَهُ فَسَوْفَ يَأْخُذُ لِلْحَجَّاجِ مِمَّنْ ظَلَمَهُ فَلَا تُشْغِلَنَّ نَفْسَكَ بِسَبِّ أَحَدٍ .
“Jangan begitu, hai sobat… Sesungguhnya kalau engkau sudah berada di akhirat, dosa terkecil yang pernah engkau lakukan itu adalah termasuk dosa terbesaryang pernah dilakukan Al-Hajjaj. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah wasit yang paling adil. Jika Dia mengambil kebaikan Al-Hajjaj untuk orang yang dizhaliminya, maka Dia pun akan mengambil kebaikan orang lain yang telah menzhalimi Al-Hajjaj. Jadi, janganlah sekali-kali engkau sibukkan dirimu untuk mencela seseorang.”[118]
Demikianlah Ibnu Sirin, salah seorang tokoh ulama tabi’in yang dikenal sangat kritis dalam dunia periwayatan hadits, tetap bersikap adil dan objektif terhadap Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Bahkan, manakala Ibnu Sirin diberi tahu bahwa Al-Hajjaj telah menghembuskan nafas terakhirnya, dia berkata,
إِنِّي لَأَرْجُوْ لِلْحَجَّاجِ مَا أَرْجُوْ لِأَهْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ .
“Sesungguhnya aku berharap untuk Al-Hajjaj sebagaimana yang aku harapkan untuk orang yang mengatakan Laa ilaaha illallaah.”[119]
5. Perkataan Muhammad bin Al-Hanafiyah terhadap Yazid bin Muawiyah
Bisa dibilang bahwa Abul Qasim Muhammad bin Ali bin Abi Thalib atau lebih dikenal sebagai Muhammad bin Al-Hanafiyah rahimahullah (w. 73 H)[120] adalah termasuk orang yang paling berhak marah terhadap Yazid. Sebab, ayahnya (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu) adalah musuh politik ayah Yazid (Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anhuma). Dan kematian saudaranya (Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma) di tangan Ibnu Ziyad juga terjadi pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah.[121]
Akan tetapi, lihatlah apa yang dikatakan Muhammad bin Al-Hanafiyah tentang Yazid bin Muawiyah, ketika ada beberapa orang datang kepadanya seraya memberikan gambaran buruk tentang Yazid. Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata,
مَا رَأَيْتُ مِنْهُ مَا تَذْكُرُوْنَ ، وَقَدْ أَقَمْتُ عِنْدَهُ فَرَأَيْتُهُ مُوَاظِباً لِلصَّلَاةِ ، مُتَحَرِّياً لِلْخَيْرِ ، يَسْأَلُ عَنِ الْفِقْهِ ، مُلَازِماً لِلسُّنَّةِ .
“Aku tidak melihat apa yang kalian sebutkan pada dirinya (Yazid). Sungguh aku pernah menginap di rumahnya, dan aku melihatnya sebagai orang yang rajin melaksanakan shalat, senang berbuat kebaikan, bertanya soal fiqih, dan konsisten terhadap Sunnah.”[122]
Ini benar-benar perkataan yang mengandung makna muwazanah yang sesungguhnya. Sekalipun terdapat perbedaan yang tajam antara Muhammad bin Al-Hanafiyah dan Yazid bin Muawiyah, bahkan bisa dikatakan bahwa Yazid adalah musuh politik bagi Ibnul Hanafiyah, namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi penilaiannya terhadap diri Yazid yang sering dikritisi oleh banyak kalangan. Muhammad bin Al-Hanafiyah tetap mengatakan diri Yazid secara adil, objektif, dan proporsional. Keburukan-keburukan yang ada pada diri Yazid sama sekali tidak mempengaruhi Ibnul Hanafiyah untuk menafikan segala kebaikan dan kelebihannya.
6. Muwazanah Abu Sufyan bin Harb Sebelum Masuk Islam
Sikap muwazanah terkadang bukan hanya masalah keadilan dan objektivitas semata, namun terkadang ia juga berkaitan erat dengan sikap ksatria dan kejujuran seseorang. Jika seorang mempunyai jiwa ksatria dan tidak suka berdusta, niscaya dia akan mengatakan sesuatu apa adanya sesuai kenyataan, tanpa menutup-nutupi ataupun membumbui, sekalipun dia bukan seorang muslim. Lihatlah apa yang dikatakan Abu Sufyan bin Shakhr bin Harb bin Umayyah Radhiyallahu ‘Anhu (w. 31 H)[123] sebelum dia masuk Islam, ketika ditanya oleh Raja Heraklius tentang pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat dia dan rombongannya berdagang di Syam pada masa masih berlangsungnya perjanjian damai Hudaibiyah.
Secara ringkas, demikian kami nukilkan inti pembicaraan antara Abu Sufyan dan Heraklius, sebagaimana yang dikisahkan –secara panjang lebar– dalam sejumlah hadits shahih dan kitab-kitab tarikh Islam.
Heraklius : Siapakah di antara kalian yang paling dekat nasabnya dengan orang yang mengaku dirinya nabi ini?
Abu Sufyan : Di antara kami, sayalah yang paling dekat nasabnya dengan dia.
Heraklius : Bagaimana nasabnya di antara kalian?
Abu Sufyan : Dia adalah orang yang bernasab mulia di antara kami.
Heraklius : Apakah ada orang lain dari kalian yang sebelumnya pernah mengatakan hal semacam ini?[124]
Abu Sufyan : Tidak ada.
Heraklius : Apakah di antara leluhurnya (bapak, kakek, dst.) dulu ada yang menjadi raja?
Abu Sufyan : Tidak ada.
Heraklius : Apakah yang mengikutinya itu dari golongan orang-orang kaya dan terkemuka atau kaum lemahnya (dhu’afa)?
Abu Sufyan : Kaum lemahnya.
Heraklius : Jumlah mereka bertambah atau berkurang?
Abu Sufyan : Bertambah.
Heraklius : Apakah ada orang yang murtad di antara mereka setelah dia masuk ke dalam agamanya?
Abu Sufyan : Tidak ada.
Heraklius : Apakah kalian pernah melihatnya berbohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya ini?
Abu Sufyan : Tidak pernah.
Heraklius : Apakah dia pernah mengkhianati janji?
Abu Sufyan : Tidak pernah. Tapi sekarang kami sedang dalam masa perjanjian damai. Saya tidak tahu apa yang (akan) dilakukannya dalam masa ini. Tidak ada kata-kata lain yang bisa saya katakan selain ini.
Heraklius : Apakah kalian pernah memeranginya?
Abu Sufyan : Ya, pernah.
Heraklius : Lalu, apa yang terjadi ketika kalian memeranginya?
Abu Sufyan : Perang di antara kami berlangsung seimbang. Dia pernah mengalahkan kami, dan kami juga pernah mengalahkannya.[125]
Heraklius : Apa yang dia perintahkan pada kalian?
Abu Sufyan : Dia mengatakan, “Sembahlah Allah Yang Maha Esa, jangan kalian menyekutukan-Nya, dan tinggalkanlah apa yang dikatakan nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk melaksanakan shalat, membayar zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan diri, dan menyambung persaudaraan (silaturahim).”[126]
Pembaca, lihatlah bagaimana Abu Sufyan yang nota bene musuh Islam (waktu itu) mengatakan dengan sejujurnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang tidak pernah berdusta dan tidak pernah ingkar janji. Selain itu, dengan jujur Abu Sufyan juga menyebutkan sejumlah ajaran yang dibawa oleh beliau. Sekiranya orang (yang masih) kafir saja bisa bersikap adil dan objektif dalam menilai orang lain sekalipun itu musuhnya, bahkan musuh terbesarnya, kenapa kita sebagai orang muslim tidak bisa?
* * *
[1] Al-jarh, artinya luka, aib, atau cacat. Dan at-ta’dil, artinya meluruskan atau menyikapi secara adil. Maksud al-jarh wa at-ta’dil, adalah untuk menyebutkan kekurangan dan kelemahan seseorang (perawi hadits), disertai dengan menyebutkan berbagai kelebihan dan kebaikannya. Semuanya disebutkan secara seimbang dan adil.
Syaikh Sulaiman Al-Baji dalam kitabnya “At-Ta’dil wa At-Tajrih” menyebutkan bahwa arti ta’dil secara bahasa yaitu: At-Tazkiyah. Sedangkan menurut istilah, yaitu menguatkan –kapabilitas– seorang perawi dan menyifatinya dengan al-’adalah (adil) serta ketelitian.”
[2] Maksud kami, hanya menyebutkan kekurangan dan kelemahannya saja (itu pun terkesan dicari-cari), tanpa mau menyebutkan berbagai kelebihan dan kebaikannya, sekalipun kaum muslimin di berbagai belahan bumi mengakuinya. Lebih parahnya lagi, mereka tidak pernah mau diajak (apalagi mengajak) berdialog langsung dengan dengan pihak yang tidak sependapat dengan mereka, apalagi dengan para ulama yang ‘dipreteli’ berbagai ‘dosa’nya oleh mereka. Bahkan, ada salah seorang dari mereka yang sukses menemukan segudang kesalahan seorang syahid (insya Allah) sekitar 25 tahun setelah yang bersangkutan menjumpai Rabb-nya. Wallahu a’lam.
[3] Permasalahan pertama yang dimaksud, yaitu masalah penyematan gelar “si fulan sesat,” “si fulan ahlu bid’ah, dan “si fulan Khawarij,” yang menurut Al Ustadz Fulan sesuai dengan contoh salafush shalih, padahal tidak.
[4] Agar lebih jelas, selengkapnya perkataan kami ini berbunyi, “Untuk itu, sebagai saudara sesama muslim, adalah kewajiban kita semua untuk saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran, yang tentu saja dengan cara yang baik dan santun. Bukan dengan cara mencari-cari dan mengoleksi kesalahan orang atau ulama yang tidak disukai untuk kemudian disebar-luaskan dengan disertai bumbu-bumbu penyedap bahwa si fulan sesat, si fulan ahlu bid’ah, si fulan Khawarij, dan sebagainya. Apalagi dengan menafikan segala kebenaran yang ada pada diri seseorang yang didiskreditkan. Sungguh, yang demikian ini sama sekali tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita generasi salafus-shalih.” (STSK, hlm xxiii).
[5] MDMTK, hlm 125. Huruf tebal dari Al Ustadz Fulan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[6] Satu hal yang perlu diketahui, dalam STSK dari halaman pertama hingga halaman terakhir, termasuk halaman romawi dan daftar pustaka: tidak terdapat satu pun kata “muwazanah” atau “manhaj al-muwazanah.” Al Ustadz Fulan sendirilah yang mewacanakan “manhaj al-muwazanah” ini dalam MDMTK. Bahkan, yang sedang dikomentari Al Ustadz Fulan soal “manhaj al-muwazanah” ini hanyalah cuplikan satu kalimat dari sebuah alinea yang agak panjang yang itu pun terdapat dalam Pengantar Penulis pada halaman romawi, yang bukan merupakan bagian inti dari isi buku secara keseluruhan.
[7] Insya Allah setelah membuktikan bahwa Al Ustadz Fulan tidak tepat dalam mengambil dan menempatkan dalil-dalilnya, kami akan sebutkan dalil-dalil dari sumber yang sama dengan yang diambil oleh Al Ustadz Fulan, yaitu: Al-Qur`an, Sunnah, dan atsar salafush shalih.
[8] Ibid. Huruf tebal dari Al Ustadz Fulan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[9] MDMTK, hlm 128-130. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
Sedikit catatan, bahwasanya apa yang dikatakan Al Ustadz Fulan ini tidak mutlak benar. Sebab, pada ayat lain, Allah membolehkan kita berbuat baik dan bergaul dengan orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ .
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Allah juga memuji kaum Nasrani dalam firman-Nya,
وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ .
“Dan sungguh akan kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah meeka yang berkata; ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (kaum Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rabib-rabib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maa`idah: 82)
Allah juga berlaku adil dalam menilai Ahlu Kitab,
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آَيَاتِ اللَّهِ آَنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ .
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahlu Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, dan mereka pun bersujud (shalat).” (Ali Imran: 113)
[10] Ibid, hlm 126. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[11] Ibid, hlm 126-127. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[12] HR. Abu Dawud (3907), Ahmad (6405), dan Ibnu Khuzaimah (2092); dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhuma. Juga At-Tirmidzi –dengan redaksi wa allaa yuqtala… – (1332), An-Nasa`i (4652), Ahmad (913), Al-Hakim (2574), dan Ath-Thahawi (1054); dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Dan Ibnu Majah (2650) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai kriteria Al-Bukhari dan Muslim, namun mereka tidak mengeluarkannya.” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (11612), Shahih Sunan Ibni Majah (2660), Shahih Sunan An-Nasa`i (4746), Shahih Sunan Abi Dawud (4530), dan Shahih Sunan At-Tirmidzi (1412).
[13] HR. Al-Bukhari (6404), Ibnu Majah (2648), Ath-Thabarani (Al-Awsath/2654), dan Ad-Daraquthni (3302); dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.
[14] MDMTK, hlm 125-126. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[15] Syair ini sangat masyhur di kalangan salafiyyin, dan sebagian dari mereka sering sekali menggunakan syair ini untuk ‘menyerang’ lawan-lawannya. Ya, sebab syair ini memang senjata yang amat ampuh dan selalu mengena dengan tepat ke arah siapa pun. Sebab, baik orang itu tahu ataupun tidak tahu, tetap saja dia salah. Kalau saja ‘si musuh’ itu tidak tahu duduk permasalahannya, maka ini dianggap sebagai musibah. Dan jika ‘musuh’ tersebut mengetahui dengan baik duduk soalnya, maka hal ini pun tetap saja dianggap musibah, bahkan lebih besar lagi musibahnya! Syair ini banyak terdapat dan mudah dijumpai di berbagai literatur sebagian kaum salafi (yang semuanya –bisa dipastikan, insya Allah– dipakai untuk menyerang pihak yang berbeda pendapat); di buku-buku mereka, majalah, maupun internet. Al Ustadz Fulan - - - sendiri yang telah memiliki dua buku yang sudah diterbitkan, menampilkan syair ini di dalam kedua bukunya tersebut. Pada bukunya yang pertama (MAT/Cet I/hlm 400), beliau menyebutkan syair ini untuk menyerang Syaikh DR. Salman bin Fahd Al-Audah hafizhahullah. Dan pada bukunya yang kedua (MDMTK/209), beliau menyebutkan syair ini untuk ‘menyerang’ kami.
Sedikit catatan tentang syair ini, selain tidak jelas siapa yang pertama kali mengatakannya, pun ia tidak mutlak sejalan dengan Al-Qur`an dan Sunnah. Ia sangat subjektif dan relatif, tergantung siapa yang mengatakannya, siapa yang dikatakan, dan dalam masalah apa. Sebab, secara umum, ketidaktahuan seseorang tentang suatu masalah tidak bisa dikatakan sebagai musibah. Karena tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang mengetahui segalanya, selain pendusta. Dan, jika ada orang lain yang mengetahui suatu masalah tertentu namun dia berbeda persepsi dengan kita; maka bukan berarti orang tersebut mengalami suatu musibah yang lebih besar, hanya karena dia berbeda persepsi dengan kita. Wallahu a’lam.
[16] Untuk takhrij ketiga hadits ini, silakan lihat kembali “Catatan Ke-12.”
[17] MDMTK, hlm 131-132. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil. Maaf juga jika terlalu banyak yang dikutip.
[18] Sebutan untuk Syaikh DR. Safar bin Abdirrahman Al-Hawali hafizhahullah. (MAT/Cet. 1/383)
[19] Sebutan untuk Syaikh DR. Abdurrahman bin Abdil Khaliq hafizhahullah. (MAT/Cet. 1/162)
[20] Ibid.
[21] Sebutan untuk Syaikh DR. Nashir bin Sulaiman Al-Umar, Syaikh DR. Salman Al-Audah, Syaikh DR. Safar Al-Hawali, dan para ulama Ikhwanul Muslimin. (MAT/Cet. 1/229)
[22] Sebutan untuk Usamah bin Ladin. (MAT/Cet. 1/59)
[23] Kalau sebutan ini terlalu banyak untuk disebutkan halamannya.
[24] Ibid.
[25] Lihat MAT/Cet. 1/Hlm 50.
[26] Sebutan untuk Imam Samudra. (MAT/Cet. 1/285)
[27] Adapun dalam kasus tiga orang sahabat yang pernah terkena tahdzir, maka tahdzir tersebut datang langsung dari Allah, dan Allah juga yang membebaskan mereka. Dan, baik Nabi maupun para sahabat, tidak ada satu pun yang menganggap tiga orang sahabat ini sebagai sesat atau melontarkan kata-kata tidak santun kepada tiga orang sahabat yang mulia ini.
[28] Demikian Al Ustadz Fulan menulis, “Para shahabat.” Padahal, tidak ada satu pun sikap sahabat dalam hal ini yang beliau sebutkan pada halaman 74-96. Bahkan, secara keseluruhan, hanya sikap Ibnu Abbas terhadap Nauf Al-Bakali saja yang berkaitan dengan masalah ini yang beliau sebutkan dalam MDMTK. Kalaupun ada sahabat (sahabiyah) lain, adalah Hindun. Itu pun dalam konteks Hindun menyebut suaminya (Abu Sufyan) sebagai seorang yang pelit. Tak lebih dari itu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan kebid’ahan atau kesesatan seseorang.
[29] MDMTK, hlm 132. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[30] Perkataan Imam Ahmad terhadap Husain Al-Karabisi ini terlalu sering diulang-ulang oleh sebagian kaum salafi –dalam berbagai media mereka– demi menunjukkan bolehnya menjelek-jelekkan seseorang (sekalipun ulama maupun syuhada), tanpa melihat latar belakang kenapa Imam Ahmad mengatakan demikian. Bagaimanapun juga kita menghormati Imam Ahmad. Namun, jika perkataan Imam Ahmad ini dieksploitir sedemikian rupa, ini sama saja dengan tidak menghargai para ulama lain yang memuji keutamaan Husain Al-Karabisi dan memaafkan kata-katanya yang dianggap berbau bid’ah.
[31] Lihat; ibid, hlm 120-121.
[32] Al-Furu’/Ibnu Muflih/Juz 11/Hlm 313/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[33] Thabaqat Al-Hanabilah/Ibnu Abi Ya’la/Hlm 28/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[34] Ada yang mengatakan 245 H.
[35] Thabaqat Asy-Syafi’iyah/Ibnu Qadhi Syuhbah/Hlm 2/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Al-Kamil/Ibnu Adi/Juz 2/Hlm 367/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[40] Tahdzib At-Tahdzib/Ibnu Hajar/Juz 2/Hlm 310/Poin nomor 618/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[41] Ibid.
[42] Ibnu Abdil Barr dan Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahumallah wafat pada tahun yang sama, 463 H.
[43] Ibid.
[44] Siyar A’lam An-Nubala`/Imam Adz-Dzahabi/Tahqiq: Syu’aib Al-Arna`uth/Jilid 12/Hlm 82/Poin 23/Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut/Cetakan ke-9/1993 M – 1413 H.
[45] Al-’Ibar fi Khabar min Ghabar/Imam Adz-Dzahabi/Hlm 85/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[46] Al-Wafi bi Al-Wafayat/Imam Ash-Shafadi/Juz 2/Hlm 344/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[47] Maksudnya: Al-Muzanni, Ar-Rabi’, Al-Buwaithi, Abu Musa Ash-Shafadi, Ahmad bin Hambal, Az-Za’farani, Abu Tsaur, Al-Karabisi, dan lain-lain.
[48] Thabaqat Al-Fuqaha`/Imam Asy-Syirazi/Hlm 102/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[49] Radhiyallahu ‘Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya: Imam Asy-Syafi’i dan Husain Al-Karabisi) ini asli dari Ibnu Khallikan.
[50] Wafayat Al-A’yan/Ibnu Khallikan/Juz 2/Hlm 132/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[51] Tahdzib Al-Asma`/Imam An-Nawawi/Juz 3/Hlm 178/Poin 920/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[52] Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 10/Hlm 275/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[53] Bunyi hadits ini: تَقْتُلُ عَمَّارًا الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ . Diriwayatkan oleh: Muslim (5194), Ahmad (20868), Ibnu Abi Syaibah (Bab Ma Dzukira fi Shiffin/Juz 8/Hadits nomor 40), An-Nasa`i (As-Sunan Al-Kubra/8551), Al-Hakim (5716), Ath-Thabarani (Ash-Shaghir/517), Al-Baihaqi (Dala`il An-Nubuwwah/808), Abu Ya’la (6835), Ibnu Hibban (6860), dan Abu Nu’aim (Ma’rifatu Ash-Shahabah /2149); dari Ummu Salamah, Khuzaimah bin Tsabit, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhum. Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, hadits ini diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dimana mayoritas thuruq (jalan)nya shahih atau hasan (Fath Al-Bari/Juz 2/Penjelasan hadits nomor 428). Al-Haitsami berkata, “Rijal Ahmad dan Abu Ya’la adalah orang-orang yang tsiqah.” (Majma Az-Zawa`id/12048). Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (5290).
[54] Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah/Ibnu Taimiyah/Tahqiq: Syaikh Muhammad Aiman Asy-Syabrawi/Juz 6/Hlm 140/Penerbit Dar Al-Hadits, Kairo/Cetakan pertama/2004 M – 1425 H.
[55] Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, diterbitkan secara berkala tiap tiga bulan sekali oleh Ar-Ri`asah Al-’Aammah li Idarati Al-Buhuts Al-’Ilmiyah wa Al-Ifta` wa Al-Irsyad (Pimpinan Umum Kantor Pengkajian Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Petunjuk) yang berkantor di Riyadh. Duduk sebagai dewan penasehatnya adalah para ulama besar Saudi Arabia, yaitu: Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Syaikh, Syaikh Muhammad bin Audah, Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’, dan Syaikh Utsman Shalih.
[56] Kemudian, pentahqiq tulisan ini (masih dalam catatan kaki) menyebutkan perkataan Ibnu Taimiyah dan Imam Adz-Dzahabi yang membela Husain Al-Karabisi. Tetapi karena cukup panjang, tidak kami sebutkan di sini.
[57] Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah/Edisi nomor 51/Hlm 165. Majalah ini juga terdapat dalam Program Al-Maktabah Asy-Syamilah yang dinukil dari http://www.alifta.com.
[58] Majmu’ Fatawa wa Maqalat/Syaikh Bin Baz/Juz 25/Hlm 318/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Sedikit catatan, di sini Syaikh Bin Baz juga menyebutkan nama Al-Harits Al-Muhasibi yang notabene dikenal sebagai seorang shufi, dan termasuk yang tidak disukai oleh sebagian kaum salafi.
[59] Irwa` Al-Ghalil/Syaikh Al-Albani/Juz 1/Hlm 88/Penjelasan hadits nomor 50/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah. Adapun tentang Amr bin Abdillah As-Sabi’i, Ibnu Hajar menyebutkannya pada nomor 91 dalam Thabaqat Al-Mudallisin.
[60] Lihat MDMTK, hlm 135-141.
[61] MDMTK, hlm 136. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
Al Ustadz Fulan menyebutkan sumber nukilan ini, “Ditranskrip dari salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di kota Ath-Tha`if selepas shalat Shubuh. Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa`if, karya Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah hal. 9.”
Sedikit tambahan dari kami, bahwa perkataan Syaikh Bin Baz ini terdapat pada bagian muqaddimah buku dimaksud cetakan kedua.
[62] Ibid, hlm 135. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[63] Ibid, hlm 136. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil. Huruf tebal dan garis bawah dari kami.
[64] Perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah ini sangat masyhur dan terdapat di berbagai kitab – terutama kitab-kitab fiqih – dengan beberapa redaksi yang berbeda.
[65] Demikian tertulis dalam MDMTK, “kaset rekaman no. 850.” Namun, sebetulnya dalam buku Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if, disebutkan nomor 855 (855). Bukan nomor 850. Akan tetapi, apabila Al Ustadz Fulan menukilnya dari internet, memang di sana tertulis nomor 850. Padahal pada halaman sebelumnya, Al Ustadz Fulan menyebutkan sumber nukilannya – seolah-olah – langsung dari buku Syaikh Rabi’ tersebut. Dan, dalam Daftar Pustaka MDMTK pun juga disebutkan buku ini sebagai salah satu referensi yang beliau pakai, tepatnya pada nomor 124. Idealnya, jika memang Al Ustadz Fulan benar-benar memiliki atau menggunakan langsung buku Syaikh Rabi’ yang beliau sebutkan sebagai referensi tersebut, beliau tentu akan menyebutkan nomor 855. Sekadar catatan kecil saja, sebetulnya perkataan Syaikh Al-Albani yang dinukil oleh Syaikh Rabi’ ini terdapat persis di bawah perkataan Syaikh Bin Baz. Jadi, jika seseorang memiliki atau menggunakan buku ini sebagai referensi, dia tidak perlu repot-repot membuka internet untuk mencari perkataan Syaikh Al-Albani ini. Dan satu catatan lagi, perkataan Al Ustadz Fulan berikut, “Ditranskrip dari salah satu pelajaran Asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, yang beliau sampaikan pada musim panas tahun 1413 H di kota Ath-Tha`if selepas shalat Shubuh,” juga terdapat dalam internet pada satu halaman yang sama. Dan (lagi), sekiranya pembaca ingin memiliki kaset rekaman Silsilatul Huda wan Nur-nya Syaikh Al-Albani dari nomor 1 hingga 901, silakan buka http://www.alalbany.net. Khusus untuk kaset rekaman nomor 850 dan 855, klik http://www.alalbany.net/lbany_tapes_hoda_noor_05.php. Alhamdulillah, kami memiliki buku Manhaj Ahli As-Sunnati wa Al-Jama’ah fi Naqdi Ar-Rijal wa Al-Kutub wa Ath-Thawa`if-nya Syaikh Rabi’ dan kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nurnya Syaikh Al-Albani yang disebutkan Al Ustadz Fulan. Sumber dari internet pun kami juga ada, meskipun berbeda dengan yang disebutkan oleh Al Ustadz Fulan.
[66] Di sini, Al Ustadz Fulan memberikan titik-titik semacam ini dan memberikan catatan kaki demikian, “Bagian ini sengaja tidak kami terjemahkan untuk meringkas. Bagi yang ingin melihatnya secara lengkapnya, dapat dilihat pada sumber rujukan aslinya.” (MDMTK, hlm 137)
Sekadar catatan kecil saja, sebetulnya kata-kata atau kalimat yang dilewati oleh Al Ustadz Fulan tidak terlalu panjang. Tidak begitu masalah apakah mau diterjemahkan atau tidak. Akan tetapi, ada yang ditutup-tutupi di sini (dalam sumber aslinya) oleh Syaikh Rabi’. Sebab, orang yang bertanya tersebut tidak disebutkan identitasnya. Sehingga, bagi yang tidak mendengar langsung kaset Silsilah Al-Huda wa An-Nur, dia akan bingung memenggal kalimatnya. Karena di dalam buku Syaikh Rabi’ tersebut tidak dibedakan antara pertanyaan si penanya dan jawaban Syaikh Al-Albani khusus dalam paragraf yang tidak diterjemahkan oleh Al Ustadz Fulan ini. Dan, memang akan lebih selamat jika kata-kata atau kalimat tersebut tidak usah diterjemahkan. Sebab, jika si penerjemah langsung menerjemahkan dari buku Syaikh Rabi’ tanpa mendengarkan kasetnya, maka dia akan melakukan kesalahan, karena kata-kata yang jatuh setelah kalimat, “Segala bentuk kebaikan ada pada sikap mengikuti jejak salaf, apakah dahulu generasi salaf mempraktekkan kaidah ini?” ini adalah perkataan si penanya, tanpa ada tanda pemisah apa pun dari Syaikh Rabi’. Sekadar informasi saja, bahwasanya yang bertanya kepada Syaikh Al-Albani dalam kaset tersebut adalah Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaimani Al-Mishri Al-Ma`ribi, salah seorang murid Syaikh Al-Albani. Abul Hasan Al-Mishri ini memang dikenal sebagai salah satu tokoh yang diserang habis-habisan oleh Syaikh Rabi’. Tak kurang dari sembilan buku Syaikh Rabi’ yang khusus membantah Syaikh Abul Hasan Al-Mishri ini. Sembilan buku tersebut, yaitu: (1) Tambih Abi Al-Hasan Ila Al-Qaul Billati Hiya Ahsan, (2) I’anatu Abi Al-Hasan ‘Ala Ar-Ruju’ Billati Hiya Ahsan, (3) Jinayatu Abi Al-Hasan ‘Ala Al-Ushul As-Salafiyyah, (4) Ibthal Maza’im Abi Al-Hasan Haula Al-Mujmal wa Al-Mufashshal, (5) Mauqif Abi Al-Hasan Min Akhbar Al-Ahad (Seri 1), (6) Mauqif Abi Al-Hasan Min Akhbar Al-Ahad (Seri 2), (7) Intiqad Manhajiy li Kitab As-Siraj Al-Wahhaj (As-Siraj Al-Wahhaj adalah salah satu buku Abul Hasan), (8) At-Tatsabbut fi Asy-Syari’ati Al-Islamiyyah wa Mauqif Abi Al-HAsan Minhu, (dan 9) At-Tankil Bima fi Lujaj Abi Al-Hasan Min Al-Abathil. Dan alhamdulillah kami memiliki sembilan buku ini semuanya. Termasuk buku-buku Syaikh Rabi’ yang lain.
Jadi, sepertinya ada sikap tidak adil (tidak jujur?) di sini pada diri Syaikh Rabi’, dimana beliau hanya menukil perkataan Abul Hasan saja tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya. Mungkin, ini termasuk salah satu praktik dari manhaj ‘al-jarh wa at-ta’dil’ versi beliau. Wallahu a’lam.
[67] MDMTK, hlm 137. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
[68] Tanda “=“ asli dari MDMTK.
[69] Mohon maaf, jika ternyata ada di antara situs yang kami sebutkan tidak bisa dibuka. Tetapi, alhamdulillah kami sudah memprint-outnya terlebih dulu.
[70] MDMTK, hlm 140. Al Ustadz Fulan menyebutkan sumber nukilannya pada halaman 141, “Al-Ajwibatul Mufidah ‘an As`ilatil Manahijil Jadidah, Jamaluddin bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 13-14 dan hal. 28-38.” Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil.
Sedikit catatan kecil, sebetulnya nama penyusun buku ini adalah “Jamal bin Furaihan Al-Haritsi,” bukan “Jamaluddin bin …” Demikian yang tertulis di buku aslinya, dan ada diulang sekitar lima kali di dalam isi buku tersebut, termasuk pada bagian sambutan Syaikh Shalih Al-Fauzan dan pengantar Syaikh Jamal sendiri. Syaikh Jamal menyebut dirinya sebagai; Abu Furaihan Jamal bin Furaihan Al-Humaili Al-Haritsi. Buku ini bisa didownload gratis di sejumlah situs di internet. Kami sendiri mendownload dari http://www.assalafia.com/modules.php?name=boocks&op=geninfo&did=21.
Kesalahan penulisan nama seperti ini bukanlah suatu ketidakbecusan dalam menukil, atau tidak amanah, atau apalagi suatu kedustaan. Ini hanyalah kesalahan yang sangat kecil. Kami tidak mau ikut-ikutan Al Ustadz Fulan untuk mengatakan seseorang yang salah ringan dalam menukil dengan penyebutan yang bermacam-macam. Karena yang semacam ini selain tidak etis juga mengabaikan kemanusiaan seseorang yang tak luput dari kesalahan.
[71] Ibid. Huruf tebal dan garis bawah dari kami.
[72] Ibid. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menukil. Huruf besar dan garis bawah dari kami.
[73] Satu catatan penting yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran; bahwasanya dalam perkataan-perkataan Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan yang dinukil oleh Al Ustadz Fulan; tidak ada satu pun yang menyebutkan nama seseorang ataupun kelompok tertentu. Memang Syaikh Al-Albani dan Syaikh Shalih menyebut nama seseorang, tetapi yang disebutkan adalah nama Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, bukan nama-nama lain yang menjadi sasaran Al Ustadz Fulan. Begitulah, akhlaq yang dinukil dan yang menukil terkadang memang berbeda.
[74] Ghara`ib Al-Qur`an wa Ragha`ib Al-Furqan/Imam An-Naisaburi/Juz 2/Hlm 80/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[75] At-Tahrir wa At-Tanwir/Syaikh Ibnu Asyur/Juz 2/Hlm 383/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[76] Ushul At-Tafsir/Syaikh Al-Utsaimin/Juz 5/Hlm 137/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[77] Haditnya berbunyi: [رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى ]. HR. Ibnu Majah (2194), Ibnu Hibban (4994), dan Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/10806); dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan Ibni Majah (2203), Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (1742), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (5808). Imam Al-Bukhari (1934) dan Al-Baghawi (2069) meriwayatkan hadits ini juga dari Jabir dengan redaksi [رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى ]. Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihah (2326) setelah menyebutkan hadits ini, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari.” Dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (1742), setelah menyebutkan dan menshahihkan hadits ini, Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits riwayat Al-Bukhari dan Ibnu Majah, namun ini lafazh Ibnu Majah.”
[78] Ibid, hlm 140.
[79] Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim/Ibnu Katsir/Juz 3/Hlm 62/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[80] Mafatih Al-Ghaib/Imam Ar-Razi/Juz 6/Hlm 6/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[81] At-Tafsir Al-Wasith/Syaikh Thanthawi/Juz 1/Hlm 1101/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[82] Taysir Al-Karim Ar-Rahman/Syaikh As-Sa’di/Juz 1/Hlm 183/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[83] Tafsir Ayat Al-Ahkam/Syaikh Manna’ Al-Qaththan/Juz 1/Hlm 305/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[84] Al-Islam Din Al-Wasathiyah/Prof. DR. Abdussalam Al-Harras/Hlm 20/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[85] Jami’ Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an/Imam Ath-Thabari/Juz 22/Hlm 14/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[86] A-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an/Juz 17/Hlm 154/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[87] Ibid, hlm 154.
[88] Ruh Al-Ma’ani/Imam Al-Alusi/Juz 20/Hlm 119/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[89] Ma’alim At-Tanzil/Imam Al-Baghawi/Juz 6/Hlm 221/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[90] Mafahim Islamiyyah/Prof. DR. Ashim Ahmad Ad-Dasuqi/Hlm 228/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[91] Al-Ummah Al-Wasath wa Al-Minhaj An-Nabawiy fi Ad-’wah Ilallah/Syaikh Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki/Hlm 29/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[92] Al Ustadz Fulan menyebutkan takhrijnya, “HR. Al-Bukhari no. 6032, 6054, 6131; Muslim no. 2591.” Hadits senada diriwayatkan oleh: At-Tirmidzi (1919), Abu Dawud (4160), Ahmad (22977), Malik (1605), Ath-Thabarani (Al-Awsath/7833), Abd bin Humaid (1516), Abu Ya’la (4823), Ibnu Hibban (5696), Abdurrazaq (20144), Al-Qudha’i (1044), dan Ath-Thayalisi (1547); dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
[93] Silakan dilihat kembali penjelasan tentang hadits ini dalam “Catatan 12; Ghibah Versi Al Ustadz Fulan.”
[94] Syarh Shahih Muslim/Imam An-Nawawi/Juz 8/Hlm 403/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[95] Uyainah bin Hishn (Hushain); orang yang dimaksud dalam hadits. Ibnu Hajar juga menukil, bahwa ada yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Makhramah bin Naufal.
[96] Fath Al-Bari/Ibnu Hajar/Juz 17/Hlm 180/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[97] Pentahqiq kitab “At-Ta’dil wa At-Tajrih.”
[98] Al-Jarh wa At-Ta’dil/Abul Walid Al-Baji/Tahqiq: Syaikh Ahmad Al-Bazzar/Juz 1/Hlm 36/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[99] Mohon dibedakan antara celaan dan teguran. Sebab, sebagian kalangan ada yang main hantam kromo menyamaratakan antara celaan dan teguran. Dikiranya teguran keras dari Nabi kepada sebagian sahabat adalah bukti bolehnya mencela plus mencaci-maki secara membabi-buta terhadap siapa saja yang ‘dianggap layak’ untuk diperlakukan demikian.
[100] Lihat takhrijnya pada “Catatan 12.”
[101] Sekadar contoh saja; Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bab “Al-Muthallaqah Tsalatsan La Nafaqata Laha” (Perempuan yang Ditalak Tiga Tidak Mendapat Nafkah), Imam Malik memasukkan hadits ini dalam bab “Ma Ja`a fi Nafaqati Al-Muthallaqah” (Hadits-hadits Tentang Nafkah Perempuan yang Ditalak), Imam At-Tirmidzi dalam bab “Ma Ja`a Alla Yakhthuba Ar-Rajul ‘Ala Khithbati Akhih” (Hadits-hadits yang Melarang Laki-laki Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar), Imam Abu Dawud dalam bab “Fi Nafaqati Al-Mabtutah” (Tentang Nafkah Perempuan yang Ditalak Tiga), Imam An-Nasa`i dalam bab “Idza Istasyarat Al-Mar`ah Rajulan Fiman Yakhthubuha Hal Yukhbiruha Bima Ya’lam” (Apabila Seorang Perempuan Minta Masukan Tentang Laki-laki yang Melamarnya, Apakah Dia Memberitahukan Apa yang Dia Ketahui), Imam Abu Awanah menyebutkan hadits ini dalam Mustakhraj-nya pada bab “Dzikr Al-Akhbar Ad-Daalah ‘Ala Al-Ibahah li Ar-Rajul An Yakhthuba Al-Mar`ah Al-Makhthubah” (Hadits-hadits yang Menunjukkan Bolehnya Pria Melamar Wanita yang Telah Dilamar) dan bab “Bayan Al-Akhbar Allati La Taj’alu li Al-Muthallaqah Tsalatsan ‘Ala Zaujiha Nafaqah Wala Sukna” (Penjelasan Tentang Tidak Adanya Nafkah dan Tempat Tinggal Bagi Perempuan yang Ditalak Tiga), Imam Ibnu Hibban dalam bab “Al-Huda” dan “Al-’Iddah,” Imam Al-Baihaqi dalam Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar pada bab “An-Nahy An Yakhthub Ar-Rajul ‘Ala Khithbati Akhih” (Larangan Laki-Laki Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar) dan bab “Fi Allati La Yamliku Zaujuha Ar-Raj’ah” (Suami yang Tidak Bisa Kembali Pada Istrinya), Imam Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah memasukkannya dalam bab “Al-Mabtutah La Nafaqata Laha Illa An Takuna Hamilan” (Perempuan yang Ditalak Tiga Tidak Mendapatkan Nafkah Kecuali dalam Keadaan Hamil). Demikian dalam kitab-kitab hadits.
Adapun dalam kitab-kitab fiqih, Imam Ibnul Hammam Al-Hanafi memasukkan hadits ini dalam kitab “Fath Al-Qadir” pada pasal “Wa Idza Thallaqa Ar-Rajul Imra`atahu…” (Dan Apabila Laki-laki Menceraikan Istrinya…), Imam An-Nafrawi Al-Maliki meletakkan hadits ini dalam kitabnya “Al-Fawakih Ad-Dawani” pada bab “Arkan An-Nikah” (Rukun-rukun Nikah) dan bab “Al-Hijran Al-Ja`iz” (Menjauhi dan Mendiamkan yang Diperbolehkan), Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i dalam “Tuhfatu Al-Muhtaj” pada pasal khitbah (lamaran) dan kafa`ah (kapabilitas), Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali dalam “Al-Mughni” pada bab “Syuruth Al-Kafa`ah” (Syarat-syarat Kafa`ah) dan “Fashl fi Al-Khithbah” (Pasal Tentang Khitbah).
Dalam “Majmu’ Al-Fatawa,” Ibnu Taimiyah menyebutkan hadits ini ketika menjawab pertanyaan tentang perkataan Hasan Al-Bashri “La Ghibata li Fasiq” (Tidak Ada Ghibah Untuk Orang Fasiq) dan saat menjawab pertaan tentang hukum meng-ghibah seseorang dengan menyebut namanya langsung.
Dalam “Subul As-Salam,” Imam Ash-Shan’ani memasukkan hadits ini dalam bab ‘Al-Kafa`ah wa Al-Khiyar” (Kapabilias dan Pilihan) dan “Al-Ghibah wa Taghlizh An-Nahyi ‘Anha” (Ghibah dan Larangan Keras Melakukannya). Dalam
Dalam “Al-Istidzkar,” Imam Ibnu Abdil Barr menempatkan hadits ini dalam bab “Ma Ja`a fi Nafaqati Al-Muthallaqah” (Hadits-hadits Tentang Nafkah Perempuan yang Ditalak).
Dalam Riyadh Ash-Shalihin, Imam An-Nawawi meletakkan hadits ini dalam bab “Bayan Ma Yubah Min Al-Ghibah” (Penjelasan Tentang Ghibah dalam Hal Apa Saja yang Diperbolehkan).
Dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, Imam Ibnul Qayyim menyebutkan hadits ini dalam pasal “Ta’liq Ath-Thalaq Bi Asy-Syarthi Al-Manwi” (Menggantungkan Talak dengan Syarat yang Diniatkan).
Dalam “Liqa` Al-Bab Al-Maftuh” Syaikh Al-Utsaimin menyebutkan hadits ini sebanyak lima kali. Empat kali dalam bab yang berkaitan dengan ghibah, dan satu lagi dalam bab yang berkaitan dengan khitbah. Dan lain-lain.
[102] Abul Jahm bin Hudzaifah tidak diketahui tahun wafatnya secara pasti. Para ulama mengatakan bahwa Abul Jahm ini termasuk sahabat Nabi yang dikaruniai umur panjang. Dia menyaksikan pembangunan Ka’bah dua kali, yakni pada masa jahiliyah pra-Islam dan pada masa pemerintahan Abdullah bin Az-Zubair Radhiyallahu ‘Anhuma (w. 73 H).
[103] Lihat takhrijnya pada “Catatan 12,” hadits ketiga.
[104] HR. Al-Bukhari (1839) dan Al-Baghawi (1832) dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhuma. Hadits senada juga diriwayatkan: Muslim (1973), An-Nasa`i (As-Sunan Al-Kubra/2922), Abu Awanah (2374), Ibnu Hibban (3708), Al-Baihaqi (Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar/1455), dan Ath-Thabarani (Musnad Asy-Syamiyyin/2769); juga dari Abdullah bin Amr.
[105] HR. Al-Bukhari (4675), Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/5239), Ibnu Hibban (318), dan Al-Baghawi (96); dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[106] HR. Ahmad (5600), Ibnu Hibban (2797), dan Ibnu Khuzaimah (905); dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Hadits senada juga diriwayatkan oleh sejumlah imam dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Al-Haitsami (Majma’ Az-Zawa`id/4939) berkata, “Diriwayatkan Ahmad dengan rijal yang shahih. Juga Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dengan sanad yang bagus (hasan).” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-jami’ Ash-Shaghir (2767) dan mengatakan hasan shahih dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (1059).
[107] Maksudnya yaitu: memerintahkan.
[108] Maksudnya yaitu: melarang. (Lihat Faidh Al-Qadir/1908).
[109] HR. Malik (1572), Ahmad (8444), Al-Baihaqi (Asy-Syu’ab/7146), Abu Awanah (5158), Ibnu Hibban (3457), dan Al-Baghawi (101م); dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Baghawi berkata, “Ini adalah hadits shahih, dikeluarkan oleh Muslim.” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2776).
[110] HR. Ahmad (1368, ini adalah lafalnya), Al-Hakim (2640), dan Ath-Thayalisi (204) dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Al-Haitsami (Al-Majma’/7432) berkata, “Diriwayatkan Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Rijal Ahmad adalah rijal yang shahih.” Syaikh Al-Albani menshahihkan (shahih li ghairih) hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (1914).
[111] Dalam riwayat Al-Bukhari hanya disebutkan “qiila libni ‘Abbas” (dikatakan kepada Ibnu Abbas). Tetapi dalam riwayat Ad-Daraquthni disebutkan “qaala rajulun libni ‘Abbas” (seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Abbas).
[112] HR. Al-Bukhari (3481), Ad-Daraquthni (1693), dan Al-Baihaqi (Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar/1466). Lafal yang kami sebutkan adalah riwayat Al-Bukhari. Hadits ini juga terdapat dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 8/Hlm 131; dan Al-’Awashim Min Al-Qawashim/Ibnul Arabi/Hlm 165. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[113] Al-’Awashim Min Al-Qawashim/Ibnul Arabi/Hlm 122/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[114] Siyar A’lam An-Nubala`/Imam Adz-Dzahabi/Juz 3/Hlm 378, dan Hilyatu Al-Awliya`/Abu Nu’aim/Juz 1/Hlm 334. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[115] Al-Wafi bi Al-Wafayat/Imam Ash-Shafadi/Juz 4/Hlm 88/Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[116] Ibid.
[117] Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 9/Hlm 152. Perkataan Umar bin Abdil Aziz yang senada ini juga terdapat dalam: Samthu An-Nujum Al-’Awali/Imam Al-Ishami/Juz 2/ Hlm 141; Al-Wafi bi Al-Wafayat/Ash-Shafadi/Juz 4/Hlm 88; Tarikh Dimasyq/Ibnu Asakir/Juz 12/Hlm 185; dan Tarikh Al-Islam/Imam Adz-Dzahabi/Juz 2/Hlm 242. Semuanya dari Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[118] Hilyatu Al-Awliya`/Al-Hafizh Abu Nu’aim/Juz 2/Hlm 271; dan Tarikh Dimasyq/Ibnu Asakir/Juz 12/Hlm 161. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[119] Samthu An-Nujum Al-’Awali/Imam Al-Ishami/Juz 2/ Hlm 142/ Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[120] Ada yang mengatakan 81 H dan 82 H.
[121] Namun perkataan Muhammad bin Al-Hanafiyah tentang Yazid diucapkan sebelum terbunuhnya Al-Husain.
[122] Lihat; Mukhtashar Tarikh Dimasyq/Ibnu Manzhur/Juz 8/Hlm 256; Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 8/Hlm 255; Tarikh Al-Islam/Imam Adz-Dzahabi/Juz 2/Hlm 122; Samthu An-Nujum Al-’Awali/Imam Al-Ishami/Juz 2/ Hlm 94; dan Siyar A’lam An-Nubala`/Imam Adz-Dzahabi/Juz 4/Hlm 40. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[123] Ada yang mengatakan 32 H, 33 H, dan 34 H. Wallahu a’lam.
[124] Maksudnya; apakah ada orang di Makkah dan sekitarnya yang pernah mengajak atau menyampaikan hal yang sama dengan yang disampaikan atau didakwahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
[125] Maksud Abu Sufyan: dalam Perang Badar mereka kalah, tapi mereka menang ketika Perang Uhud.
[126] HR. Al-Bukhari (6), Muslim (4707), Ahmad (2252), An-Nasa`i (As-Sunan Al-Kubra/11064), Ibnu Abi Ashim (Al-Ahad wa Al-Matsani/455), Ath-Thabarani (Al-Kabir/7119), Al-Baihaqi (Dala`il An-Nubuwwah/1721), Abu Awanah (5409), dan Ibnu Hibban (6664), Ibnu Mandah (Al-Iman/141), Abu Nuaim (Dala`il An-Nubuwwah/233), Said bin Manshur (2302), dan Al-Lalika`i (Syarh Ushul I’tiqad Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah/1179); dari Ibnu Abbas dari Abu Sufyan Radhiyallahu ‘Anhum.
Kisah atau hadits ini juga terdapat dalam Tarikh Ath-Thabari (2/290-291); Tarikh Dimasyq/Ibnu Asakir/Juz 2/Hlm 91-91; Al-Kamil fi At-Tarikh/Ibnu Atsir/Juz 1/Hlm 317; Muqaddimah Ibnu Khaldun (38-39); Tarikh Al-Islam/Adz-Dzahabi/Juz 1/Hlm 300-301; dan Al-Bidayah wa An-Nihayah/Ibnu Katsir/Juz 4/Hlm 299-300.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
BalasHapusijin berkunjung dan tolab ustd !!
wa'alaikum salam wr. wb.
BalasHapussilakan pak.. monggo dibaca2.. moga bermanfaat. amin..