Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘Anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam i’tikaf pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf sesudahnya.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits bin Sa’ad dari Uqail bin Khalid dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Ur wah bin Az- Zubair dari Aisyah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (2841), Ahmad (23472), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3336), Ad-Daraquthni (2388), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3802), dan Al-Baghawi (1854); juga dari Aisyah. Sebagian imam lain meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
Hikmah dan Ibrah
- Secara bahasa, i’tikaf yaitu diam dan tinggal atau mengurung diri di suatu tempat tertentu. Sedangkan menurut syariat, i’tikaf adalah diam dan tinggalnya seorang muslim dalam keadaan suci di masjid yang didirikan shalat lima waktu di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
- Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan atau pada malam ke-21 dan selanjutnya, Rasul selalu beri’tikaf di masjid.
- Ibnu Baththal berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa i’tikaf adalah termasuk sunnah muakkadah. Sebab, ia senantiasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bagi kaum mukminin, seyogyanya mereka meniru Nabinya dalam hal ini.”[2]
- Sebagaimana ibadah yang lain, i’tikaf juga dilakukan sesuai kemampuan dan keterbatasan kondisi seseorang. Yang pasti, sekiranya seseorang tidak memiliki tanggungan atau beban keluarga atau tanggung jawab yang harus ditunaikan, seyogyanya dia meniru Nabi dalam hal ini, yakni beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
- Nabi i’tikaf sepuluh hari penuh,[3] siang dan malam. Beliau i’tikaf tidak hanya pada malam hari saja, apalagi hanya sebagian malam.
- I’tikaf bisa dilakukan pada sebagian malam, atau beberapa hari saja, tetapi belum dapat dikatakan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam i‘tikafnya.
- Tentang praktik i‘tikaf Nabi, Aisyah berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا .
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasukkan kepalanya kepadaku lalu aku sisir rambutnya, sementara beliau di masjid. Dan jika beliau sedang i‘tikaf, beliau tidak masuk ke rumah kecuali untuk suatu hajat.”[4]
- Semasa Nabi hidup, istri-istri Nabi atau sebagian dari istri Nabi tidak i’tikaf. Dan sepeninggal Nabi, istri-istri beliau melanjutkan i’tikaf yang selalu dilakukan Nabi semasa hidupnya.
- Nabi tidak mengingkari sebagian istrinya yang tidak i’tikaf, bahkan Nabi pernah menegur beberapa istrinya yang ikut i’tikaf, lalu beliau meninggalkan i’tikafnya dan menggantinya pada sepuluh hari pertama bulan Syawal.[5]
- Imam Mali k berkata, “Saya merenungkan masalah i’tikaf ini, ternyata saya tidak mendapatkan banyak sahabat yang melakukan i’tikaf. Lalu saya berpikir lagi, dan saya pun berkesimpulan bahwa i’tikaf ini seperti puasa wis hal.”[6] [7]
* * *
[1] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-I’tikaf/Bab Al-I’tikaf fi Al-‘Asyri Al-Awakhir wa fi Al-Masajid Kulliha/hadits nomor 1886.
[2] Syarh Shahih Al-Bukhari/Ibnu Baththal/Bab ke-15/Jilid 7/Hlm 211. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[3] Atau sembilan hari, jika Ramadhannya dua puluh sembilan hari.
[4] HR. Al-Bukhari (1889) dan Muslim (711).
[5] Lihat Shahih Al-Bukhari (1892) dan Shahih Muslim (2007) dari Aisyah.
[6] Lihat pembahasan puasa wishal. Puasa wishal ini termasuk salah satu kekhususan (khushushiyat) Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
[7] Syarh Bulugh Al-Maram/Syaikh Athiyah Muhammad Salim/Jilid 11/Hlm 156. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar