Selasa, 24 Agustus 2010

Kafarat Orang yang Berjima’ di Bulan Ramadhan


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ هَلَكْتُ قَالَ وَلِمَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ فَأَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ لَيْسَ عِنْدِي قَالَ فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا أَجِدُ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ أَيْنَ السَّائِلُ قَالَ هَا أَنَا ذَا قَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ قَالَ فَأَنْتُمْ إِذًا .
            “Seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia berkata; ‘Celaka aku.’ Nabi berkata; ‘Memangnya kenapa?’ Laki-laki itu berkata, ‘Aku telah menggauli istriku pada bulan Ramadhan.” Kata Nabi; ‘Kalau begitu, bebaskanlah budak.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak punya.’ Kata Nabi; ‘Puasalah dua bulan berturut-turut.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak sanggup.’ Kata Nabi; ‘Beri makan saja enam puluh orang miskin.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak mendapatkan.’ Tahu-tahu ada yang datang membawa sekeranjang berisi penuh korma untuk Nabi. Nabi bertanya; ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu berkata; ‘Ini Aku.’ Nabi bersabda; ‘Bersedekahlah dengan korma ini.’ Orang itu berkata; ‘Bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan dari kami, wahai Rasulullah? Demi yang mengutusmu dengan haq; di kampung kami, tidak ada orang yang lebih membutuhkan daripada kami.’ Maka. Nabi pun tertawa hingga tampak gigi taringnya. Beliau berkata; ‘Kalau begitu, ambil saja untukmu’.”


Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Ahmad bin Yunus dari Ibrahim bin Sa’ad dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Humaid bn Abdirrahman dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (2651), Abu Dawud (2041), At-Tirmidzi (656), Ibnu Majah (1661), Ahmad (6989), Malik (582), Ad-Darimi (1769), Ibnu Abi Syaibah (81/1), Abdurrazaq (7457), Abu Awanah (2293), Ad-Daruquthni (2327), Ibnu Hibban (3595), Ibnu Khuzaimah (1837), Al-Humaidi (1056), Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (445), dan Al-Baihaqi dalam Al-Ma’rifah (2612); dari Abu Hurairah.
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (752) dan Abu Ya’la (5594) meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

Hikmah dan Ibrah
·         Orang yang berjima’ pada bulan Ramadhan, selain batal puasanya, dia juga wajib membayar kafarat (denda).
·         Kafaratnya yaitu membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, apalagi zaman sekarang, maka puasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, maka memberi makan enam puluh (60) orang miskin dengan makanan yang mengenyangkan, bukan makanan kecil.
·         Di antara tiga jenis kafarat ini, dilakukan salah satu saja, tidak semuanya. Tetapi karena sekarang sudah tidak ada budak lagi, maka pilihannya tinggal dua yang terakhir.
·         Sekiranya orang yang berjima’ ini tidak mampu melakukan apa pun dari ketiga jenis kafarat ini, maka dia dimaafkan karena ketidaksanggupannya, dan kafaratnya hilang alias dia tidak wajib membayar kafarat apa pun. Demikian pendapat sebagian ulama.
·         Ada juga yang mengatakan, jika dia tidak mampu pada saat itu, maka kewajiban membayar kafarat tetap terus ada atas dirinya. Dia wajib membayar kafarat ini pada saat dia telah memiliki kesanggupan untuk itu.[1]
·         Tidak ada perbedaan pendapat atas berlakunya kafarat ini atas orang yang berjima’ secara sengaja pada bulan Ramadhan. Adapun orang melakukannya karena lupa, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan puasanya tidak batal dan tidak wajib membayar kafarat. Ada yang mengatakan puasanya batal dan wajib membayar kafarat. Dan ada juga yang mengatakan puasanya batal dan wajib menggantinya di luar Ramadhan (qadha`), namun tidak wajib membayar kafarat.[2]
·         Hadits ini juga menunjukkan kelembutan, kasih sayang, dan sikap pengertian Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terhadap umatnya. Meskipun orang tersebut jelas-jelas tergolong tidak mampu, baik dari segi harta maupun fisik, tetapi ‘nekad’ menggauli istrinya di bulan Ramadhan; Nabi sama sekali tidak marah, bahkan memberikan sekeranjang korma kepadanya untuk dimakan dia dan keluarganya.


*   *   *


[1] Shahih Al-Bukhari/Kitab An-Nafaqat/Bab Al-Majami’ fi Ramadhan Al-Majami’ fi Ramadhan wa
[2] Lihat Syarh Shahih Muslim/Imam An-Nawawi/Jilid 4/Hlm 97. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[3] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...