Kamis, 19 Agustus 2010

Kaum Muslimin Pada Masa Umar Shalat Tarawih 23 Raka’at

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            As-Sa`ib bin Yazid Radhiyallahu 'Anhu berkata,   
كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
            “Mereka shalat pada masa Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Bakr Ahmad bin Ali Al-Baihaqi Al-Khurasani rahimahullah (w. 458 H) dari Al-Husain bin Muhammad Ad-Dainuri dari Ahmad bin Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi dari Ali bin Al-Ja’ad dari Ibnu Abi Dzu`aib dari Yazid bin Khushaifah dari As-Sa`ib bin Yazid.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Al-Marwazi[2] dalam Qiyam Ramadhan, bab ‘Adad Raka’at Allati Yaqumu Biha Al-Imam Linnas fi Ramadhan,[3] dan Ibnul Ja’ad (2387).
            Imam Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid ini dengan redaksi sedikit berbeda,
كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
            “Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat. Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[4]

Derajat Hadits: Shahih
            Imam An-Nawawi berkata tentang hadits ini, “Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”[5]
            Ibnul Mulaqqin berkata, “Dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad shahih dari Umar, bahwa orang-orang pada masa Umar melaksanakan qiyamullail dengan dua puluh rakaat.”[6]
            Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid[7] hafizhahullah berkata, “Ini adalah riwayat yang shahih dari para perawi yang tsiqah dari As-Sa`ib bin Yazid. Di dalamnya ada disebutkan 20 rakaat pada masa Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu. Adapun tambahan 21 rakaat atau 23 rakaat, adalah termasuk shalat witir.”[8]

Tentang Hadits Shalat Tarawih 23 Rakaat
            Dari beberapa hadits yang menyebutkan shalat tarawih 23 rakaat, hanya inilah yang kami dapatkan ada ulama besar yang menshahihkannya. Itu pun, Imam An-Nawawi mendha’ifkan hadits lain tentang shalat tarawih 23 rakaat.
            Hadits lain yang sering disebutkan tentang hal ini, di antaranya yaitu perkataan Yazid bin Ruman,
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً .
            “Pada zaman Umar bin Al-Khathab dulu, orang-orang qiyamullail pada bulan Ramadhan dengan 23 rakaat.”
            Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik (233), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3123), dan Al-Firyabi dalam Ash-Shiyam (160).
            Tentang hadits Yazid bin Ruman ini,[9] Ibnu Hajar berkata, “Dan sanadnya dha’if.”[10]
            Imam An-Nawawi[11] dan Az-Zaila’i[12] menukil dari Al-Baihaqi, “Dan Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar.”
            Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani juga mendha’ifkan hadits ini dalam Irwa` Al-Ghalil (445). Al-Albani berkata, “Hadits ini dha’if karena terputus (munqathi’).”
            Hadits lain, Imam Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ .
        “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam shalat malam pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat ditambah witir.”[13]
            Hadits ini didha’ifkan oleh Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (5018), Ibnu Hajar dalam Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah (257), Az-Zaila’i dalam Nashbu Ar-Rayah,[14] Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil (445).
            Dalam Qiyam Ramadhan, Imam Al-Marwazi meriwayatkan dari seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (w. 118 H),[15]
        كَانَ النَّاسُ يُصَلُّوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً يُطِيْلُوْنَ فِيْهَا الْقِرَاءَةَ وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلَاثٍ .
            “Orang-orang pada zaman Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu shalat malam pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat. Mereka memanjangkan bacaannya, dan witir dengan tiga rakaat.”[16]
            Tetapi, ini hadits munqathi’ alias lemah. Sebab, Muhammad bin Ka’ab tidak berjumpa dengan Umar bin Al-Khathab. Dia dilahirkan pada masa kekhalifahan Ali bin Thalib.
            Ada juga hadits lain yang diriwayatkan Imam Ibnu Abi Syaibah dari Abdul Aziz bin Rafi’,
كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِيْنَةِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلَاثٍ .
            “Ubay bin Ka’ab shalat (tarawih) mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat.”[17]
            Hadits ini juga lemah, karena Abdul Aziz bin Rafi’ yang meninggal pada tahun 130 H dalam usia 90 tahun ini tidak mengalami masa Ubay maupun Umar.
            Dari sejumlah hadits yang kami tampilkan ini, hampir semuanya bermasalah. Tidak ada satu pun hadits tentang shalat tarawih 23 rakaat ini yang posisinya betul-betul kuat. Dalam arti kata, diriwayatkan dalam kutubus sittah (kitab hadits yang enam), dengan sanad dan matan yang shahih, serta dishahihkan oleh para ulama hadits.[18] Wallahu a’lam.

Shalat Tarawih 23 Rakaat dalam Tinjauan Fiqih
            Imam As-Sarakhsi Al-Hanafi (w. 483) berkata, “Bilangan rakaatnya adalah 20 rakaat selain witir. Menurut Imam Malik rahimahullah, sunnah tarawih adalah 36 rakaat.  Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa yang hendak mengikuti pendapat Malik, sebaiknya dia melakukan apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah rahimahullah, dia shalat dulu 20 rakaat sebagaimana sunnahnya. Adapun rakaat sisanya, dia kerjakan sendiri, setiap empat rakaat dua kali salam. Ini adalah madzhab kami.”[19]
            Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki (w. 595 H) berkata, “Mereka berselisih pendapat dalam masalah bilangan rakaat shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Malik memilih dalam salah satu pendapatnya, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad, dan Dawud (Azh-Zhahiri), bahwa bilangannya adalah 20 rakaat di luar witir.”[20]
            Imam Abu Bakr Al-Hishni Asy-Syafi’i (w. 829 H) berkata, “Adapun shalat tarawih, maka tidak diragukan lagi kesunnahannya. Bukan hanya seorang yang mengatakan bahwa ini adalah ijma’. … Ketika menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu 'Anhu melihat orang-orang shalat malam di masjid sendiri-sendiri, dua orang-dua orang, dan tiga orang-tiga orang. Maka, Umar pun mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu 'Anhu, dimana dia shalat 20 rakaat. Para sahabat sepakat dengan apa yang dilakukan Umar. Shalat  ini dinamakan tarawih karena mereka istirahat setiap dua kali salam, membaca niat setiap dua rakaat tarawih atau qiyam Ramadhan.”[21]
            Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali (w. 620 H) berkata, “Qiyam pada bulan Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah. Yang pertama kali menyunnahkannya adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Pendapat yang dipilih Abu Abdillah (Imam Ahmad) rahimahullah dalam hal ini adalah 20 rakaat. Pendapat ini pula yang dikatakan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i. Malik berkata; 36 rakaat.”[22]
            Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan qiyamullail dan witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan sebanyak sebelas rakaat atau tiga belas rakaat. Namun, shalat beliau ini panjang sekali. Tatkala hal ini memberatkan orang-orang, Ubay bin Ka’ab shalat tarawih dengan mereka pada masa Umar sebanyak 20 rakaat dan ditutup dengan witir. Dia meringankan shalatnya. Jadi, penambahan jumlah rakaat adalah ganti dari berdiri yang lama.”[23]
            Syaikh Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili hafizhahullah berkata, “Dalil yang ada menunjukkan, bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami orang-orang dalam qiyam Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat. … Demikian, dan para ulama mempunyai tiga pendapat dalam masalah jumlah rakaat tarawih ini: Yang pertama, pendapat mayoritas ulama, bahwa ia adalah 20 rakaat, dan ini adalah sunnah. Hal ini berdasarkan praktik sahabat muhajirin dan anshar. Kedua; 36 rakaat tifak termasuk syafa’ dan witir. Ini terjadi pada zaman Umar bin Abdil Aziz, dan praktik penduduk Madinah masa lalu. Dan ketiga; Yang benar sesuai yang terdapat dalam hadits shahih dari Aisyah adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah shalat malam lebih dari tiga belas rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan yang lain. Ibnu Taimiyah mengatakan, yang benar adalah bahwa semuanya itu baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah.[24]
            Wallahu a’lam.

*   *   *
 

[1] Lihat As-Sunan Al-Kubra/Kitab Al-Haidh/Bab Ma Ruwiya fi ‘Adad Raka’at Al-Qiyam fi Syahri Ramadhan/hadits nomor 4393.
[2] Imam Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj Al-Marwazi, wafat tahun 294 H.
[3] Qiyam Ramadhan, hlm 21, program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[4] Lihat Mushannaf Abdirrazzaq, hadits nomor 7733.
[5] Khulashatu Al-Ahkam fi Muhimmat As-Sunan wa Qawa’id Al-Islam/Imam An-Nawawi/hadits nomor 1961.
[6] Al-Badru Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsar fi Asy-Syarhi Al-Kabir/Imam Ibnul Mulaqqin Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi’i Al-Mishri (w. 804 H)/Jilid 4/Hlm 30/Penerbit Dar Al-Hijrah, Riyadh/Cetakan pertama/tahun 1425 H – 2004 M. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[7] Demikian cara membaca nama beliau: Al-Munjid. Bukan Al-Munajjid.
[8] Fatawa Al-Islam Su`al wa Jawab/Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid,jawaban dari pertanyaan nomor 82152. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[9] Yazid bin Ruman sendiri adalah seorang yang tsiqah. Imam Al-Bukhari dan Muslim serta hampir seluruh imam lain meriwayatkan dari Yazid bin Ruman dalam kitabnya. Ia adalah seorang tabi’in yunior, wafat tahun 130 H.
[10] Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah/Ibnu Hajar Al-Asqalani/Jilid 1/Hlm 203/hadits nomor 257/Penerbit Dar Al-Ma’rifah, Beirut. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[11] Khulashatu Al-Ahkam (1962 & 1964).
[12] Nashbu Ar-Rayah/Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Az-Zaila’i (w. 762 H)/Jilid 2/Hlm 154/Penerbit Muassasah Ar-Rayyan, Beirut. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[13] Al-Mu’jam Al-Kabir (11934), Al-Mu’jam Al-Wasith (810 & 5598), dan Al-Mushannaf (227/13).
[14] Nashbu Ar-Rayah/Jilid 2/Hlm 153.
[15] Ada yang mengatakan 117 H dan 120 H, dalam usia 78 tahun.
[16] Qiyam Ramadhan/Bab ‘Adad Raka’at Allati Yaqumu Biha Al-Imam Linnas fi Ramadhan/hlm 21.
[17] Al-Mushannaf/Bab Kam Yushalli fi Ramadhan Min Rak’ah (227/5).
[18] Jika melihat pembahasan shalat tarawih dalam kitab-kitab fiqih, sesungguhnya pelaksanaan shalat tarawih 23 rakaat adalah sesuatu  yang faktual. Ia benar-benar ada dan terjadi. Masalahnya, sejumlah perawi yang meriwayatkan hadits tentang shalat tarawih Umar yang 23 rakaat, mereka tidak bertemu langsung dengan Umar dan tidak mengalami shalat tarawih bersama Umar. Namun, menurut kami, bisa jadi para perawi ini tidak menyebutkan dari siapa mereka mendengar atau mengetahui shalat tarawih 23 rakaat Umar, karena teramat banyaknya mereka menjumpai orang-orang yang turut menyaksikan atau mengalami langsung shalat tarawih ini, dimana mereka mendengar hal ini dari banyak orang yang tidak mungkin disebut satu persatu. Contoh sederhana adalah perkataan Imam Asy-Syafi’i dalam hal ini, “Aku melihat orang-orang shalat tarawih di Madinah sebanyak 39 rakaat. Tetapi aku lebih menyukai 20 rakaat (tidak termasuk witir). Demikianlah yang dilakukan orang-orang di Makkah.” (Qiyam Ramadhan/Imam Al-Marwazi/Hlm 21, pembahasan hadits nomor 16. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[19] Al-Mabsuth fi Syarhi Al-Kafi/Imam Syamsuddin As-Sarakhsi Muhammad bin Ahmad bin Sahl Al-Hanafi/Jilid  3/Hlm 170. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[20] Bidayatu Al-Mujtahid/Imam Al-Qadhi Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (Ibnu Rusyd)Jilid 1/Hlm 167. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[21] Kifayatu Al-Akhyar fi Halli Ghayati Al-Ikhtishar/Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni Asy-Syafi’i/Jilid 1/Hlm 88. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[22] Al-Mughni/Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali/Jilid 3/Hlm 387. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[23] Majmu’ Al-Fatawa/Ibnu Taimiyah/Jilid 5/Hlm 282. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[24] Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh/DR. Wahbah Az-Zuhaili/Jilid 2/Hlm 251. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...