Imam Abu Dawud Rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Faris Adz-Dzahli, dari Abu Ashim, dari Abu Khalid Wahab, daari Abu Sufyan Al-Himshi, dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling utama bagi Allah, adalah orang yang lebih dulu memberikan salam.”[1]
Yang dimaksud dengan orang yang paling utama dalam hadits ini, tentu saja adalah orang yang paling baik. Sedangkan keutamaan memberi salam yang membuat orang yang melakukannya menjadi yang terbaik, adalah dikarenakan perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan yang dianggap baik dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut,
Adalah Ibrahim bin Adham rahimahullah (w. 162 H), seorang ulama yang terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya, suatu hari ketika beliau sedang berjalan-jalan di pasar Basrah, orang-orang mengerumuninya dan bertanya, “Wahai Abu Ishaq – panggilan Ibrahim bin Adham–, sudah sejak lama kami memanjatkan do’a kepada Allah, tetapi mengapa do’a-do’a kami tidak dikabulkan? Padahal Dia telah berfirman dalam kitab-Nya; ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’a kalian’.[1]” Beliau menjawab, “Hal itu dikarenakan hati kalian telah mati dengan sepuluh perkara berikut:
Berdo’a adalah meminta. Tidak mungkin permintaan kita akan dipenuhi oleh orang yang kita minta bantuannya jika kita sering melakukan perbuatan yang tidak disukainya. Atau, tidak mungkin permintaan seorang bawahan akan dipenuhi atasannya jika dia adalah seorang yang sering melanggar peraturan. Demikian pula halnya dengan berdo’a kepada Allah. Allah pun enggan mengabulkan do’a hamba-Nya yang sering melakukan perbuatan maksiat dan melanggar aturan-Nya. Untuk itu, sudah seharusnya apabila kita ingin do’a kita dikabulkan oleh Allah, kita mesti senantiasa menaati segala peraturan-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi apa pun yang Dia larang.
Pada masa akhir keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah, banyak para budak yang menjadi bebas dengan sendirinya dikarenakan tuan-tuannya yang meninggal atau melarikan diri. Di antara para budak tersebut, banyak yang berasal dari Turki atau biasa disebut sebagai “al-atrak,” yang artinya orang-orang Turki. Namun, yang menjadi masalah adalah, banyak di antara orang-orang Turki yang mantan budak ini yang menjadi pejabat pemerintahan di bawah kekuasaan Sultan Najmuddin Ayub di Mesir. Dan kebetulan ketika itu yang menjadi qadhi qudhah (semacam Ketua Mahkamah Agung – sekarang) di Mesir adalah Syaikh Al-Izz bin Abdissalam, yang terkenal dengan sebutan “sulthanul ulama” atau pemimpin para ulama. Beliau digelari demikian karena dikarenakan ketinggian ilmunya dan sikapnya yang sering mewakili para ulama pada zamannya, termasuk sikap kritis beliau terhadap penguasa.
“Seorang perempuan disiksa dalam neraka karena mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan.” (Muttafaq ‘Alaih dari Ibnu Umar RA)
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Agama penuh kasih sayang. Agama yang sarat dengan ajaran cinta dan budi pekerti. Islam mengajarkan umatnya agar saling mengasihi satu sama lain. Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang mengasihi sesama, dia akan dikasihi oleh Allah. Kasihilah penduduk bumi, niscaya penduduk langit akan mengasihi kalian.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr RA)
Jangankan terhadap sesama manusia, bahkan terhadap binatang pun Islam mengajarkan agar memperlakukannya dengan baik. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah kita bisa mendapatkan pahala karena berbuat baik terhadap binatang?” Rasulullah menjawab, “Berbuat baik terhadap setiap makhluk hidup itu akan memperoleh pahala.” (Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah RA).
Ketika Khalifah Hisyam bin Abdil Malik berada di Makkah, dia menyuruh pengawalnya untuk mendatangkan seorang sahabat. Sang pengawal berkata, “Mereka semua telah tiada, wahai Amirul Mukminin.” Hisyam berkata, “Kalau begitu, datangkan saja tabi’in.” Maka, dipanggillah Thawus Al-Yamani yang kebetulan ada di Makkah.
Thawus pun datang memenuhi panggilan Khalifah. Thawus berkata, “Assalamu ‘alaika ya Hisyam (Keselamatan atasmu, hai Hisyam).” Thawus tidak memberikan salam Amirul Mukminin kepada Khalifah. Bahkan, Thawus juga tidak menyertakan gelar apa pun untuk Khalifah. “Bagaimana kabarmu, hai Hisyam?” tanya Thawus.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ .
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebanyak satu sha’ korma atau satu sha’ tepung atas setiap orang merdeka atau budak, baik laki-laki maupun perempuan dari kaum muslimin.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari Abdullah bin Maslamah dan Qutaibah bin Said dari Malik bin Anas; juga dari Yahya binYahya dari Imam Malik dari Nafi’ maula Ibnu Umar dari Malik bin Anas; dari Nafi’ maula Ibnu Umar dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.[1]
Bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits[1] mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Ketika sampai di Syam, aku pun menyelesaikan keperluan Ummul Fadhl. Dan saat masuk Ramadhan, aku masih di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jum’at. Kemudian, pada akhir Ramadhan, aku telah datang kembali di Madinah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma menanyakan kabarku dan menyinggung soal hilal. Dia berkata; ‘Kapan kalian melihat hilal?’
“Berperanglah, kalian akan mendapatkan ghanimah. Puasalah, kalian akan sehat. Dan bepergianlah, kalian akan merasa cukup.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (8547), Ibnu Asakir (4209), dan Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa` Al-Kabir (641), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
Dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Nahsyal bin Said An-Naisaburi) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma.
“Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam i’tikaf sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Tetapi, pada tahun di mana beliau meninggal, beliau i’tikaf dua puluh hari.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abi Syaibah dari Abu Bakr bin Ayyasy dari dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (2110), At-Tirmidzi (732), Ibnu Majah (1760), Ahmad (8081), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3343), Al-Hakim (1553), Ibnu Hibban (3733), Ibnu Khuzaimah (2033), Abd bin Humaid (183), Al-Baihaqi dalam Al-Ma`rifah (2764), Ath-Thayalisi (549), dan Al-Bagahawi (1856); dari Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu 'Anhum.
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu? Kata Nabi, “Jihad hati.”
Takhrij
HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd (384) dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad(Bab Al-Wawi/Dzikr Al-Asma` Al-Mufradah) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (biografi Ibrahim bin Abi Ablah Al-Adawi/210) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Ibrahim bin Abi Ablah); dari Ibrahim bin Abi Ablah.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam i’tikaf pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf sesudahnya.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits bin Sa’ad dari Uqail bin Khalid dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (2841), Ahmad (23472), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3336), Ad-Daraquthni (2388), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3802), dan Al-Baghawi (1854); juga dari Aisyah. Sebagian imam lain meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
“Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadhan. Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas Ramadhan. Dan Al-Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani Al-Lakhami rahimahullah (w. 360 H) dari Ali bin AbdilAziz dari Abdullah bin Raja` dari Imran Al-Qaththan dari Qatadah bin Di’amah dari Abul Malih bin Usamah dari Watsilah bin Al-Asqa’ Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
“Ya Allah, untuk-Mu aku puasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”
Catatan
Doa buka puasa yang masyhur ini adalah gabungan dari dua hadits, yaitu:
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada suatu malam di bulan Ramadhan. Maka, beliau pun berdiri untuk shalat. Ketika takbir, beliau membaca; ‘Allaahu akbar, dzul malakuuti wal jabaruuti wa kibriyaa`i wal ‘azhamah.’[1]Kemudian beliau membaca surat Al-Baqarah, lalu surat An-Nisa`, lalu Ali Imran. Beliau tidak melalui ayat ancaman melainkan berhenti sejenak. Kemudian beliau ruku’. Beliau membaca; ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’[2](yang lamanya) seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa lakal hamd,’[3]seperti saat berdiri. Kemudian beliau sujud dan membaca; ‘Subhaana Rabbiyal a’laa,’[4]seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Rabbighfirlii,’[5]sama seperti ketika berdiri (lamanya). Kemudian beliau sujud lagi. Beliau membaca; ‘Subhaana Rabbiyal a’laa,’ seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan berdiri. Beliau tidak shalat selain hanya dua rakat sampai datang Bilal yang mengumandangkan adzan untuk shalat.”
“Seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia berkata; ‘Celaka aku.’ Nabi berkata; ‘Memangnya kenapa?’ Laki-laki itu berkata, ‘Aku telah menggauli istriku pada bulan Ramadhan.” Kata Nabi; ‘Kalau begitu, bebaskanlah budak.’Orang itu berkata; ‘Aku tidak punya.’ Kata Nabi; ‘Puasalah dua bulan berturut-turut.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak sanggup.’ Kata Nabi; ‘Beri makan saja enam puluh orang miskin.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak mendapatkan.’ Tahu-tahu ada yang datang membawa sekeranjang berisi penuh korma untuk Nabi. Nabi bertanya; ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu berkata; ‘Ini Aku.’ Nabi bersabda; ‘Bersedekahlah dengan korma ini.’ Orang itu berkata; ‘Bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan dari kami, wahai Rasulullah? Demi yang mengutusmu dengan haq; di kampung kami, tidak ada orang yang lebih membutuhkan daripada kami.’ Maka. Nabi pun tertawa hingga tampak gigi taringnya. Beliau berkata; ‘Kalau begitu, ambil saja untukmu’.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ . “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Abi Ad-Dunia dalam Fadha`il Ramadhan (37), Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa` Al-Kabir (750), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (3146), dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (3/311), dan Al-Baghdadi dalam Al-Muwadhdhah (Bab Huruf Sin, biografi Saif bin Wahab); dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu. Dan Al-Mahamili dalam Al-Amali (287) dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'Anhu.
Derajat Hadits: Dha’if Jiddan
Ibnu Hajar mendha’ifkan hadits ini dalam Lisan Al-Mizan pada biografi Maslamah bin Ash-Shult.
Adz-Dzahabi mendha’ifkan hadits ini dalam Mizan Al-I’tidal (3446).
Al-Huwaini berkata, “Ini adalah hadits batil.” [1]
Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1569), Al-Albani berkata, “Hadits mungkar.” Dan dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir (4944), Al-Albani mengatakan; Dha’if jiddan (lemah sekali).
* * *
[1] Al-Fatawa Al-Haditsiyah/Jilid 1/Hlm 291. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ . “Apabila masuk malam pertama bulan Ramadhan, setan-setan dan jin pembangkang dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada yang dibuka, pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Seorang penyeru memanggil; ‘Hai pencari kebaikan, kemarilah! Dan hai pencari kemaksiatan, berhentilah!’ Dan Allah selalu membebaskan sejumlah orang dari neraka setiap malam.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Abu Kuraib Muhammad bin Al-Ala` dari Abu Bakr bin Ayyasy dari Sulaiman bin Mihran Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. [1]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ .
“Tidak ada dua witir dalam semalam.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi rahimahullah (w. 279 H) dari Hannad bin As-Sariy dari Mulazim bin Amr dari Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalaq dari Thalaq bin Ali Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1227), An-Nasa`i (1661), Ahmad (15704), Ibnu Abi Syaibah (116/17), Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (8168), Ibnu Hibban (2492), Ibnu Khuzaimah (1037), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (4622), Adh-Dhiya` dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarah (3/167)dan Ath-Thayalisi (1178); juga dari Thalaq bin Ali.
Derajat Hadits: Hasan
Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan gharib.”[2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Ia adalah hadits hasan, dikeluarkan oleh An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, dan selain mereka berdua dari hadits Thalaq bin Ali.”[3]
Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (470), Shahih Sunan Abi Dawud (1439), Shahih Sunan An-Nasa`i (1679), dan dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (1535).
Hikmah dan Ibrah
-Sebetulnya shalat witir tidak mesti bulan Ramadhan saja. Ia bisa dilakukan malam kapan pun. Tetapi kami tampilkan dalam bab ini, karena ia berkaitan erat dengan shalat tarawih, dimana biasanya langsung diakhiri dengan witir.
-Secara zhahir nash (tekstual), hadits ini adalah larangan shalat witir dua kali (atau lebih) dalam semalam.
-Bagi orang yang sudah witir pada awal malam, lalu dia bangun di tengah malam atau sepertiga malam terakhir dan hendak shalat malam atau tahajjud atau tarawih; dia bisa menggenapi witirnya dengan menambah satu rakaat, lalu shalat malam. Kemudian, dia akhiri shalat malamnya dengan witir.
-Bisa juga dia shalat malam sebagaimana biasa, namun tidak ditutup dengan witir, karena dia telah melakukan witir pada awal malam.
-Meskipun sudah witir, dia bisa shalat malam seperti biasa dan tetap menutupnya dengan witir. Jadi, dia membatalkan witirnya yang pertama. Hal ini kurang lebih sama dengan musafir yang shalat di dalam kendaraan dengan bertayamum dan gerakan isyarat. Pada saat berhenti atau tiba di tujuan, sementara waktu shalat masih ada, dia bisa mengulangi shalatnya dengan berwudhu dan shalat dengan berdiri. Namun jika tidak mengulang juga tidak mengapa.
-Yang asal (asli, dasar) dalam masalah ini adalah tidak boleh witir dua kali dalam semalam, dan bahwasanya witir adalah penutup shalat malam.
* * *
[1]Sunan At-Tirmidzi/Kitab Ash-Shalah/Bab Ma Ja`a La Witrani fi Lailah/hadits nomor 432.