Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Adalah Ibrahim bin Adham rahimahullah (w. 162 H), seorang ulama yang terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya, suatu hari ketika beliau sedang berjalan-jalan di pasar Basrah, orang-orang mengerumuninya dan bertanya, “Wahai Abu Ishaq – panggilan Ibrahim bin Adham–, sudah sejak lama kami memanjatkan do’a kepada Allah, tetapi mengapa do’a-do’a kami tidak dikabulkan? Padahal Dia telah berfirman dalam kitab-Nya; ‘Berdo’alah kalian kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’a kalian’.[1]” Beliau menjawab, “Hal itu dikarenakan hati kalian telah mati dengan sepuluh perkara berikut:
1. Kalian mengenal Allah tetapi kalian tidak menunaikan hak-Nya.
2. Kalian mengaku mencintai Rasul-Nya, tetapi kalian meninggalkan Sunnahnya.
3. Kalian membaca Al-Qur`an, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya.
4. Kalian banyak diberi nikmat karunia, akan tetapi kalian tidak mensyukurinya.
5. Kalian mengatakan bahwa setan adalah musuh, tetapi kalian justru mengikuti langkahnya.
6. Kalian mengaku bahwa surga adalah benar adanya, namun kalian tidak melakukan amal-amal yang mengantar ke sana.
7. Kalian mengaku bahwa neraka adalah benar adanya, tetapi kalian tidak lari dari panas siksanya .
8. Kalian mengaku bahwa kematian adalah benar adanya, namun kalian tidak mempersiapkan diri ke sana.
9. Kalian sibuk mengurusi kekurangan orang lain, tetapi kalian lupa akan kekurangan diri kalian sendiri.
10. Kalian menguburkan jenazah, akan tetapi tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa kematian.[2]
Selain sepuluh sebab yang telah disebutkan oleh Ibrahim bin Adham di atas, ada satu sebab lagi yang menurut kami tidak kalah penting, yaitu:
11. Hanya berdoa tanpa ikhtiar (berusaha).
Ya, tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a seseorang sementara dia sendiri tidak mau berikhtiar atau berusaha untuk mewujudkan apa yang dimintanya kepada Allah, kecuali jika Allah menghendaki. Bagaimanapun juga, hukum sebab akibat adalah bagian dari sunnatullah. Tidak mungkin Allah akan mengabulkan[3] do’a seorang perempuan yang berdo’a kepada-Nya agar dikaruniai anak sedangkan dia belum menikah. Tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a seseorang yang minta diberi kepandaian dan ilmu yang banyak sementara dia malas membaca dan belajar. Bagaimana mungkin do’a seorang yang menderita penyakit kronis agar disembuhkan dari penyakitnya akan dikabulkan Allah sementara dia sendiri tidak mau berobat. Dan bagaimana mungkin do’a orang yang minta diberi rezeki melimpah dan hidup kaya akan di kabulkan, sedangkan dia malas bekerja dan mudah putus asa.
Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu mengisahkan, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengendarai onta. Orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, aku ikat ontaku dulu dan aku bertawakal. Atau aku biarkan saja dia lepas dan aku tawakal?” Nabi bersabda,
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ!
“Ikat dulu ontamu, baru engkau bertawakal!”[4]
Demikianlah yang dicontohkan Nabi kita, dan begitu pula yang dicontohkan para nabi selain beliau sebagaimana dikisahkan Allah dalam Al-Qur`an Al-Karim. Lihatlah bagaimana Allah menyuruh Nabi Nuh ‘Alaihis Salam untuk membuat perahu.[5] Padahal jika Allah menghendaki, tentu sangatlah mudah bagi-Nya untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan kaumnya dari banjir bandang tanpa harus memakai perahu. Lihat juga bagaimana Nabi Musa ‘Alaihis Salam ketika dalam perjalanannya dari Madyan menuju Mesir ‘kehabisan’ api, lalu dia melihat ada cahaya api di kejauhan, kemudian dia menyuruh keluarganya agar tetap berada di tempatnya, sementara Musa pergi mencari api.[6] Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub ‘Alaihis Salam tatkala berpesan kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk bersama-sama dari satu pintu gerbang, tapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan. Namun demikian, sedikit pun aku tidak bisa menjamin kalian dari takdir Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah hanya kepada-Nya orang-orang yang bertawakal berserah diri.”[7]
* * *
[1] QS. Ghoofir: 60.
[2] Hilyatu Al-Awliya` wa Thabaqat Al-Ashfiya`/Al-Hafizh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Al-Ashbahani/Jilid 5/Hlm 1352/Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut/1989 M -1409 H.
[3] Kata “tidak mungkin” ini adalah hukum alam secara umum, dimana harus ditekankan bahwa jika Allah menghendaki tentu tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya.
[4] HR. At-Tirmidzi (2441) dan Al-Baihaqi (Syu’ab Al-Iman/Jilid 2/1210) dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu. Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Hibban (2/731) dan Al-Hakim (3/6616) dari Amr bin Umayyah Adh-Dhamri Radhiyallahu 'Anhu. Dalam Jam’ul Jawami’ (150), As-Suyuthi menukil perkataan Az-Zarkasyi, “Ibnu Hibban mengeluarkan hadits ini dalam Shahih-nya dari Amr bin Umayyah Adh-Dhamri dengan sanad yang shahih.” As-Suyuthi juga menukil perkataan Az-Zain Al-Iraqi, “Ibnu Khuzaimah dan Ath-Thabarani juga meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Umayyah Adh-Dhamri dengan sanad yang bagus.”
[5] Allah Ta’ala berfirman, “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami.” (QS. Huud: 37)
[6] Allah Ta’ala berfirman, “Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung, ia berkata kepada keluarganya; Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, semoga aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari tempat api itu atau membawa sesuluh api, agar kalian dapat menghangatkan badan.” (QS. Al-Qoshosh: 29)
[7] Lihat; QS. Yuusuf: 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar