Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Imam Abu Dawud Rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Faris Adz-Dzahli, dari Abu Ashim, dari Abu Khalid Wahab, daari Abu Sufyan Al-Himshi, dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللَّهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلَامِ .
“Sesungguhnya orang yang paling utama bagi Allah, adalah orang yang lebih dulu memberikan salam.”[1]
Yang dimaksud dengan orang yang paling utama dalam hadits ini, tentu saja adalah orang yang paling baik. Sedangkan keutamaan memberi salam yang membuat orang yang melakukannya menjadi yang terbaik, adalah dikarenakan perbuatan tersebut merupakan salah satu perbuatan yang dianggap baik dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut,
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ . (متفق عليه)
“Sesungguhnya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; Islam apakah yang yang paling baik? Beliau bersabda, ‘Engkau beri makan –orang yang membutuhkan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak’.” (Muttafaq ‘Alaih dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash)[2]
DR. Musthafa Dib Al-Bugha mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Islam yang paling baik,” yaitu perbuatan yang paling baik di dalam agama Islam dikarenakan mengandung banyak pahala.[3]
Adapun yang dimaksud “mengucapkan salam,” yaitu memberikan salam kepada orang yang ditemuinya. Bukan mengucapkan salam di dalam shalat, ataupun mengucapkan salam ketika masuk rumah.
Jadi, orang terbaik yang kedelapan, yaitu orang yang apabila bertemu saudaranya, memberikan salam terlebih dahulu. Baik orang yang ditemuinya itu adalah lebih tua ataupun lebih muda. Sebab, terkadang orang yang merasa dirinya lebih terhormat akan enggan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu kepada orang yang ditemuinya, baik di jalan, ataupun di suatu tempat tertentu. Orang yang merasa dirinya mulia, akan merasa dihormati apabila ada orang yang memberikan salam kepadanya terlebih dahulu. Itulah makanya, dikarenakan ada semacam perasaan buruk pada sebagian orang seperti inilah, yang membuat Islam lebih memuliakan orang yang terlebih dahulu memberikan salam daripada yang diberi salam.
Adapun rahasia kenapa orang yang pertama mengucapkan salam merupakan orang yang utama, adalah dikarenakan salam itu sendiri yang merupakan syiar dalam agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum muslimin agar menyebarkan salam di antara mereka. Sebab, dengan saling menyebarkan salam, akan tercipta rasa kasih sayang di antara sesama umat Islam. Dalam hadits disebutkan,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ .
“Demi yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian saya beritahu tentang suatu perkara, yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[4]
Tentang salam ini, Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menyebutkan sebanyak dua belas masalah dalam kitab tafsirnya. [5] Di antaranya, yaitu;
1. Makna Salam
Salam adalah penghormatan (at-tahiyyah). Sedangkan asal penghormatan ialah doa keselamatan. Adapun yang dimaksud penghormatan kepada Allah, yaitu bahwasanya Allah selamat dari segala kekurangan.
2. Menjawab Salam dengan yang Lebih Baik
Apabila ada orang yang memberi salam kepada kita “Assalamu‘alaikum,” maka dijawab dengan “Wa‘alaikum salam warahmatullah.” Namun, dijawab sesuai dengan salam yang diberikan,[6] juga boleh. Ini adalah makna firman Allah Ta’ala, “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang sepertinya,” (An-Nisaa`: 86). Memberikan salam juga sebaiknya dengan lafazh jama’,[7] karena ada malaikat bersama orang yang diberi salam. Demikian pula, menjawab salam pun sebaiknya dengan lafazh jama’ juga, sekalipun yang memberikan salam hanya seorang.
3. Etika Salam
Ada etika atau aturan dalam memberikan salam. Menurut sunnah, orang yang naik kendaraan memberi salam terlebih dulu kepada orang yang berjalan kaki. Orang yang berjalan[8] memberi salam kepada orang yang duduk. Orang yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua. Dan sekelompok orang yang berjumlah sedikit memberi salam kepada kelompok orang yang jumlahnya lebih banyak. Demikianlah yang disebutkan di dalam sunnah. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي وَالْمَاشِي عَلَى الْقَاعِدِ وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ . (رواه مسلم)
“Orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan –memberi salam– kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit –memberi salam– kepada orang yang banyak.” (HR. Muslim)[9]
Dalam riwayat Al-Bukhari, disebutkan “Dan orang yang lebih muda memberi salam kepada orang yang lebih tua.”[10]
4. Memberi Salam Kepada Perempuan (Lawan Jenis)
Boleh memberi salam kepada perempuan, kecuali kepada remaja putri atau pemudi, karena ditakutkan akan terjadi fitnah jika berlangsung pembicaraan dengan mereka. Sebab, akan muncul godaan dari setan atau terjadi pengkhianatan mata. Yang dimaksud perempuan di sini, yaitu mereka yang telah berusia lanjut. Karena tidak dikhawatirkan adanya fitnah dengan memberi salam kepada mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Ini adalah pendapat Atha`, Qatadah, Malik, dan sekelompok ulama.
Adapun para ulama dari Kufah (Kufiyun), mereka tetap tidak membolehkan hal ini, kecuali jika perempuan tersebut disertai mahramnya. Mereka beralasan, karena perempuan juga tidak diperkenankan adzan, iqamat, dan mengeraskan suara dalam shalat jamaah. Dengan demikian, mereka juga tidak diperkenankan menjawab salam, sehingga tidak boleh memberikan salam kepada perempuan.
Akan tetapi, yang benar menurut kami[11] adalah pendapat yang pertama. Sebab, Al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, dia berkata, “Kami bergembira setiap hari Jumat. Karena pada hari itu, ada seorang ibu tua yang selalu mengirimkan korma Madinah dalam satu keranjang besar kepada kami. Seusai kami shalat Jumat, kami pulang dan memberi salam kepada ibu itu, lalu dia memberikan korma tersebut kepada kami. Itulah, yang membuat kami gembira.”[12]
Selain itu, Nabi juga memberi salam kepada perempuan jika berpapasan atau melalui mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma binti Yazid Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan melalui kami sekelompok perempuan, maka beliau memberi salam kepada kami.”[13]
5. Mengeraskan Suara dalam Memberi Salam
Menurut sunnah, memberi salam harus dengan suara yang keras (bisa didengar). Demikian pula dengan orang yang menjawab salam. Jadi, tidak cukup memberi dan menjawab salam hanya dengan isyarat tangan saja. Ini menurut Imam Asy-Syafi’i. Namun menurut kami, boleh memberi dan menjawab salam dengan isyarat apabila jaraknya jauh.
Sekiranya seseorang memberi salam kepada suatu kaum, maka dia mempunyai kelebihan satu derajat atas mereka. Jika mereka tidak menjawabnya, malaikatlah yang akan menjawabnya seraya melaknat kaum tersebut. Dan, apabila orang yang diberi salam menjawab salam, hendaknya dia mengeraskan suaranya. Sebab, jika jawaban salamnya tidak terdengar, maka itu bukanlah suatu jawaban. Begitu pula sebaliknya, sekiranya orang yang memberi salam tidak terdengar suaranya –terutama oleh yang diberi salam, maka hal ini pun bukan merupakan suatu salam bagi orang yang diberi salam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمْتُمْ فَأَسْمِعُوْا وّإِذَا رَدَدْتُمْ فَأَسْمِعُوْا . (الحديث)
“Apabila kalian memberi salam, maka perdengarkanlah. Dan jika kalian menjawab salam, maka perdengarkanlah.” (Al-Hadits)[14]
6. Menjawab Salam Orang Kafir
Apabila ada orang kafir atau non-muslim yang mengucapkan salam kepada kita, hendaknya kita jawab dengan “Wa’alaikum,” saja. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa yang dimaksud oleh ayat “Wa idzaa huyyiitum bitahiyyatin fahayyuu bi ahsana minhaa,”[15] adalah khusus untuk sesama mukmin. Adapun jika salam tersebut dari orang kafir, maka hendaknya kita menjawabnya sebagaimana yang diajarkan Nabi, yaitu “Wa’alaikum.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ . (متفق عليه)
“Apabila orang Ahlu kitab memberi salam kepada kalian, maka jawablah; Wa’alaikum.” (Muttafaq ‘Alaih)[16]
7. Menjawab Salam Ahlu Dzimmah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah menjawab salam yang diberikan oleh orang ahlu dzimmah. Ibnu Abbas, Asy-Sya’bi, dan Qatadah, mengatakan bahwa menjawab salam mereka hukumnya wajib atas kaum muslimin, berdasarkan makna ayat secara umum dan adanya perintah dalam sunnah yang shahih untuk menjawab salam mereka. Sedangkan Imam Malik, Asyhab, dan Ibnu Wahab, mengatakan bahwa menjawab salam ahlu dzimmah hukumnya tidak wajib. Sekiranya harus menjawab, maka katakanlah “Wa’alaika.”
Ibnu Thawus berpendapat, sebaiknya menjawab salam mereka dengan ucapan “Alaakas-salaam.” Maksudnya, keselamatan diangkat dari dirimu. Adapun sebagian ulama lain lebih memilih menjawab salam mereka, “Wa’alaikas-silaam,” dengan mengkasrahkan huruf sin. Maksudnya yaitu, batu atas kalian.
8. Memberi Salam Kepada Orang Shalat
Tidak perlu memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Sekiranya seseorang sedang shalat, kemudian ada orang yang mengucapkan salam kepadanya, maka dia boleh memilih antara menjawabnya dengan isyarat tangan atau diam saja sampai selesai shalatnya, lalu baru menjawab salam tersebut.
9. Memberi Salam Kepada Orang yang Buang Hajat
Tidak selayaknya orang yang sedang berada di kamar kecil diberi salam. Sekiranya ada yang memberi salam kepadanya, maka dia tidak harus menjawab. Dalam sunnah diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki datang hendak menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ketika itu kebetulan beliau sedang berada di kamar kecil. Lalu, beliau bersabda kepada orang tersebut,
إِذَا رَأَيْتَنِي عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَةِ فَلَا تُسَلِّمْ عَلَيَّ فَإِنَّكَ إِنْ فَعَلْتَ ذَلِكَ لَمْ أَرُدَّ عَلَيْكَ .
“Apabila engkau mendapatkanku atau melihatku dalam keadaan seperti ini, maka janganlah engkau memberi salam kepadaku. Karena sesungguhnya jika engkau memberi salam kepadaku –dalam keadaan seperti ini, maka aku tidak akan menjawabmu.”[17]
Demikian pula, tidak sepatutnya memberi salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur`an, karena akan memutus bacaannya. Adapun orang yang sedang membaca Al-Qur`an, apabila ada orang yang memberi salam kepadanya, maka dia boleh memilih antara langsung menjawab salam tersebut atau menunggu hingga bacaannya selesai kemudian menjawabnya. Selesai.
* * *
[1] Sunan Abi Dawud/Kitab Al-Adab/Bab fi Fadhl Man Bada`a bi As-Salam/hadits nomor 4522. Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dalam Syu’ab Al-Iman (8518). Hadits shahih. Lihat; Shahih Sunan Abi Dawud (5197), Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2703), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (3774).
[2] An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
[3] Lihat Nuzhat Al-Muttaqin I/579/hadits nomor 845.
[4] HR. Muslim (Kitab Al-Iman, hadits nomor 81), Abu Dawud (Kitab Al-Adab, hadits nomor 4519), dan Ibnu Majah (Kitab Al-Adab, hadits nomor 3682).
[5] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (3/204-211), tafsir surat An-Nisaa` ayat 86, dengan sedikit perubahan redaksi.
[6] “Wa’alaikum salam,” saja, tanpa “warahmatullah.”
[7] Dengan “Assalamu’alaikum,” bukan “Assalamu’alaika.”
[8] Dalam riwayat Ad-Darimi disebutkan; Orang yang berdiri memberi salam kepada orang yang duduk. (Sunan Ad-Darimi/Kitab Al-Isti`dzan/Bab fi Taslim Ar-Rakib Ala Al-Masyi/2520).
[9] Shahih Muslim/Kitab As-Salam/Bab Taslim Ar-Rakib ‘Ala Al-Masyi/2160. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah.
[10] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Isti`dzan/Bab Taslim Al-Qalil ‘Ala Al-Katsir/hadits nomor 5763.
[11] Menurut Imam Al-Qurthubi.
[12] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Jumu’ah/Bab Al-Qa`ilah Ba’da Al-Jumu’ah (2178).
[13] HR. Abu Dawud (Kitab Al-Adab/Bab As-Salam ‘Ala An-Nisa`/5204) dan At-Tirmidzi (Kitab Al-Isti`dzan/Bab Ma Ja`a fi At-Taslim ‘Ala An-Nisa`/2698).
[14] Hadits ini disebutkan Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tanpa sanad.
[15] Artinya, “Dan apabila kalian diberi penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik.” (An-Nisa`: 86)
[16] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Isti`dzan/Bab Kaifa Yaruddu ‘Ala Ahli Adz-Dzimmah As-Salam/5788 dan Shahih Muslim/Kitab As-Salam/Bab An-Nahyi ‘An Ibtida` Ahli Al-Kitab bi As-Salam/2163. Keduanya meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[17] Tidak ditakhrij oleh Al-Qurthubi dan juga yang mentahqiq kitabnya. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu dalam Sunannya/Kitab Ath-Thaharah wa Sunaniha/Bab Ar-Rajul Yusallim Alaihi wa Huwa Yabul/hadits nomor 346. Dalam Jam’ul Jawami’ (2038), Imam As-Suyuthi menukil Al-Baushiri, bahwa sanad hadits ini bagus. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan Ibni Majah (352), Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (197), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (576).
oh jadi gitu kalau non muslim memberi kita salam
BalasHapus