Jumat, 24 September 2010

Sikap Kritis Syaikh Al-Izz bin Abdissalam Terhadap Penguasa

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Pada masa akhir keruntuhan Khilafah Bani Abbasiyah, banyak para budak yang menjadi bebas dengan sendirinya dikarenakan tuan-tuannya yang meninggal atau melarikan diri. Di antara para budak tersebut, banyak yang berasal dari Turki atau biasa disebut sebagai “al-atrak,” yang artinya orang-orang Turki. Namun, yang menjadi masalah adalah, banyak di antara orang-orang Turki yang mantan budak ini yang menjadi pejabat pemerintahan di bawah kekuasaan Sultan Najmuddin Ayub di Mesir. Dan kebetulan ketika itu yang menjadi qadhi qudhah (semacam Ketua Mahkamah Agung – sekarang) di Mesir adalah Syaikh Al-Izz bin Abdissalam, yang terkenal dengan sebutan “sulthanul ulama” atau pemimpin para ulama. Beliau digelari demikian karena dikarenakan ketinggian ilmunya dan sikapnya yang sering mewakili para ulama pada zamannya, termasuk sikap kritis beliau terhadap penguasa.
Berdasarkan laporan, serta fakta dan data yang ada, terungkaplah bahwa sesungguhnya orang-orang Turki yang banyak menjadi pejabat ini masih dalam statusnya sebagai budak, dan mereka belum merdeka. Setelah nyata bukti yang ada, maka Syaikh Al-Izz pun mengeluarkan fatwanya yang sangat kontroversial dan mengundang kemarahan pemerintah. Fatwa tersebut mengatakan, bahwa para pejabat yang berasal dari Turki masih berstatus budak dan mereka belum merdeka. Hukum budak pun masih menyertai mereka. Syaikh Al-Izz menegaskan bahwa jual beli mereka tidak sah, begitu pula dengan pernikahan mereka. Sehingga akhirnya segala kepentingan/ hajat hidup mereka pun banyak yang terbengkalai, karena kaum muslimin mematuhi apa yang difatwakan oleh beliau. Padahal, di antara mereka (para pejabat dari Turki) adalah wakil Sultan Najmuddin Ayub. Wakil Sultan ini pun sangat murka dan meluap-luap amarahnya terhadap Syaikh Al-Izz. Dia pun mengirimkan orang kepada Syaikh untuk mempertanyakan fatwanya ini dan apa sebenarnya yang beliau inginkan.
Syaikh Al-Izz berkata kepada para utusan Wakil Sultan, “Kami akan mengadakan suatu majlis untuk kalian dan menjual kalian di hadapan kaum muslimin, dimana nanti uang hasil penjualan kalian dimasukkan ke Baitul Mal. Dengan demikian, maka kalian pun secara resmi akan menjadi orang-orang yang merdeka. Kalian akan sah menjadi orang merdeka secara syar’i.”
Para utusan ini lalu melaporkan kepada Wakil Sultan apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Izz. Tetapi Wakil Sultan tidak mau terima. Lalu, dia pun mengangkat masalah ini kepada Sultan Najmuddin Ayub. Kemudian, Sultan mengirimkan utusan kepada Syaikh Al-Izz untuk meminta beliau agar mencabut fatwanya tersebut. Namun Syaikh Al-Izz tetap dalam pendiriannya dan tidak mau mencabut fatwanya. Bagi beliau, sekalipun orang-orang Turki tersebut banyak yang menjadi pejabat pemerintahan, tetapi mereka adalah para budak yang belum merdeka.
Mendengar jawaban Syaikh Al-Izz yang tidak mau mencabut fatwanya, maka Sultan Najmuddin Ayub pun sangat marah, hingga mengeluarkan kata-kata yang sangat kasar. Sultan sangat marah karena dianggapnya Syaikh Al-Izz telah turut campur urusan politik yang tidak ada kaitannya dengan dirinya (Syaikh Al-Izz).
Mendengar laporan bahwa Sultan marah-marah terhadap dirinya dengan mengeluarkan kata-kata kasar, maka Syaikh Al-Izz pun marah kepada Sultan karena Allah. Lalu, beliau mengemasi barang-barangnya. Dengan berkendara keledai, beliau bersama keluarganya meninggalkan Kairo menuju Syam. Belum sampai 6 mil berjalan, sudah banyak kaum muslimin yang menyusul menyusul beliau; laki-laki, perempuan, tua muda, hampir tidak ada yang ketinggalan. Mereka menyusul di belakang beliau menuju Syam. Termasuk di antara mereka adalah para ulama, orang-orang shalih, dan pedagang.
Kabar ini pun sampai ke telinga Sultan. Dikatakan kepada Sultan, jika Syaikh Al-Izz bin Abdissalam pergi meninggalkan Mesir, maka kekuasaan Sultan pun akan ikut pergi, karena hampir tidak ada lagi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Mau tidak mau Sultan pun melunak sikapnya terhadap Syaikh. Sultan pun segera mengirimkan utusannya untuk meminta Syaikh Al-Izz agar bersedia kembali ke Mesir dan tidak melanjutkan perjalanannya. Sultan menyatakan bersedia memanggil para pejabat yang berasal dari Turki, termasuk Wakil Sultan sendiri.
Mendengar berita ini, Wakil Sultan pun berang dan panik. Dia segera mengirimkan utusan lagi kepada Syaikh untuk memintanya secara baik-baik agar bersedia mengurungkan niatnya yang hendak menjual dirinya dan teman-temannya yang berasal dari Turki. Tetapi, lagi-lagi Syaikh menolak permohonan halus tersebut. Maka wakil Sultan ini pun marah dan berteriak, “Bagaimana mungkin Syaikh ini mau memanggil kami satu persatu padahal kami adalah para penguasa? Sungguh, demi Allah, akan aku tebas batang lehernya dengan pedangku ini!”
Lalu, Wakil Sultan ini pun pergi sendiri dengan disertai para pengawalnya menuju rumah Syaikh Al-Izz dengan pedang terhunus di tangan kanannya. Sesampainya di rumah Syaikh Al-Izz, pintu pun diketuk. Kebetulan yang keluar membukakan pintu adalah anak Syaikh. Dan, ketika anak Syaikh melihat muka Wakil Sultan yang tampak murka dengan pedang terhunus di tangannya, dia pun ketakutan dan segera masuk kembali ke dalam rumahnya untuk memberitahukan apa yang dilihatnya kepada ayahnya. Namun Syaikh Al-Izz tetap tenang dan tidak ada yang berubah dalam sikapnya.
Syaikh Al-Izz berkata, “Wahai anakku, ayahmu ini tidak takut dibunuh di jalan Allah.” Kemudian Syaikh pun keluar dengan tenang. Begitu Wakil Sultan melihat melihat Syaikh Al-Izz, dia pun merasakan dirinya gemetaran. Dan ketika mata Syaikh Al-Izz menatap mata Wakil Sultan, tangannya pun terasa lemas dan pedangnya pun jatuh, lepas dari genggamannya. Sultan merasakan tulang belulangnya serasa bergemeletuk. Tiba-tiba, dia pun menangis tersedu-tersedu dan memohon kepada Syaikh agar mendoakan kebaikan untuk dirinya. Sang Wakil Sultan berkata, “Wahai tuanku, kebaikan apakah yang hendak anda lakukan?”
Syaikh Al-Izz berkata, “Saya akan memanggil kalian dan menjual kalian.”
Wakil Sultan berkata, “Lalu, akan anda kemanakan uang hasil penjualan kami?”
Syaikh Al-Izz berkata, “Dimasukkan ke baitul mal dan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.”
Wakil Sultan, “Lalu, siapa yang akan menjual kami?”
Syaikh Al-Izz, “Saya. Sayalah yang akan menjual kalian.”
Kemudian, pada hari yang ditentukan, para pejabat yang berasal dari Turki pun dikumpulkan. Mereka dipanggil satu persatu untuk dijual, dimana Syaikh Al-Izz meninggikan harga penjualan mereka, menerima uang hasil penjualan mereka, dan memasukkan uang hasil penjualan mereka ke baitul mal.
Demikian Syaikh Al-Izz. Beliau bukan hanya berani bersikap kritis dan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa, bahkan urusan ‘dapur’ penguasa pun jika itu dianggap menyalahi syariat, maka beliau tak segan-segan memperingatkannya.
As-Subki berkata, “Yang seperti ini belum pernah terdengar ada seorang pun yang melakukannya. Mudah-mudahan Allah merahmati dan meridhai Syaikh Al-Izz.”
Sumber : Thabaqat Asy-Syafi’iyyah/Imam Tajuddin As-Subki; Al-Islam Bainal Ulama wal Hukama/Syaikh Abdul Aziz Al-Badri; Shuwar Min Ibtila` Al-Ulama/Syaikh Wahid Abdussalam Bali.

*  *  *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...