Jumat, 03 Juni 2011

Hukum Memberikan Uang Pelicin


Adityawarman
aditya_wd@yahoo.coxx

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pak  ustad saya mau tanya: apakah boleh memberi sesuatu kepada orang lain dengan ikhlas supaya orang tersebut mau memeriksa pekerjaan kita lebih dahulu daripada memeriksa pekerjaan orang dan apa hukumnya dalam agama kita? Terima kasih.
------------------

Wa’alaikum salam wr. wb.
Bapak Adityawarman yang baik..
Ikhlas adalah membersihkan hati dari maksud apa pun selain hanya kepada Allah ketika melakukan suatu amal. Lebih luas lagi, ikhlas bisa dimaknakan sebagai; melakukan kebaikan apa pun dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala serta hanya mengharapkan ridha dan pahala-Nya semata, tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari selain-Nya.


Ada beberapa poin yang bisa kami jawab atau tanggapi dari pertanyaan bapak.
Pertama; Contoh perbuatan yang bapak sebutkan tidak termasuk kategori ikhlas. Memberikan sesuatu kepada orang lain agar dia mau melakukan sesuatu untuk kita, bukanlah perbuatan ikhlas. Jelas sekali bapak mengatakan, “supaya orang tersebut mau memeriksa…” Ini namanya ada maksud lain dari sesuatu yang diberikan. Artinya, pemberian itu bukan Lillahi Ta’ala, bukan murni karena Allah semata, melainkan karena ingin didahulukan atau diperlakukan istimewa dibanding yang lain.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ .
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal kecuali yang benar-benar ikhlas hanya diperuntukkan kepada-Nya dan karena mencari keridhaan-Nya.” [HR. An-Nasa`i dari Abu Umamah Al-Bahili]

Kedua; Perbuatan memberi uang atau sesuatu apa pun kepada petugas atau aparat atau yang semacamnya, di mana itu adalah sudah menjadi kewajiban dari pekerjaannya, dengan maksud tertentu yang “menguntungkan” si pemberi; ini adalah suap. Dan, suap adalah perbuatan yang dilarang dalam agama (juga negara).
Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'Anhuma berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي .
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melaknat orang yang menyuap dan yang minta suap.” [HR. Abu Dawud]
Ini jika si pemberi memberi atas inisiatifnya sendiri. Adapun jika dia memberi karena diminta oleh petugas tanpa dia kehendaki, di mana apabila dia tidak memberi akan membawa madharat bagi dirinya, maka insya Allah yang seperti ini ada keringanan. Dan, yang berdosa adalah petugas yang meminta, sekalipun si petugas bertanya saat menerima; Ini ikhlas ya pak/bu? Sebab, ini adalah pertanyaan yang sangat bodoh dan tak bermakna!

Ketiga; Contoh perbuatan yang bapak sampaikan adalah zhalim atau suatu kezhaliman. Sebab, manakala si petugas mendahulukan memeriksa pekerjaan kita, di mana dia menelantarkan pekerjaan orang lain yang seharusnya dia periksa terlebih dulu; maka ini adalah zhalim. Orang lain menjadi dirugikan karena ulah kita. Petugas itu pun merugikan orang lain karena kemauan kita. Ini adalah dosa, hukumnya haram, dan tidak boleh dilakukan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Takutlah kamu akan perbuatan zhalim, karena kezhaliman itu adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah}

Seharusnya, petugas tersebut mesti bertindak adil. Dia harus mendahulukan memeriksa pekerjaan yang memang berhak untuk didahulukan dan mengakhirkan memeriksa pekerjaan yang datang belakangan. Allah Ta’ala berfirman,
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى .
“Bersikap adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” [Al-Maa`idah: 8]

Demikian, wallahu a’lam.
Wassalam.

Dijawab oleh: H. Abduh Zulfidar Akaha, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...