Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
Keempat; Banyak Pertentangan Antara Satu Hadits dengan Hadits yang Lain
Di antara alasan yang membuat mereka menolak hadits adalah terdapat banyaknya hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain. Kata mereka, sekiranya itu adalah benar berasal dari satu sumber, yakni dari Nabi, niscaya tidak akan ada di dalamnya hadits yang bertentangan. Lalu mereka pun menyebutkan sejumlah contoh hadits dalam suatu masalah yang saling bertentangan. Dan, di antara hadits yang sering mereka permasalahkan, misalnya adalah hadits tentang bacaan tasyahhud, dimana banyak sejumlah riwayat tentang bacaan dalam tasyahhud ini.[1] Kemudian, dikarenakan hal ini, mereka (inkar Sunnah) pun mengganti bacaan tasyahhud dengan ayat kursi![2]
Bantahan
Demikianlah orang inkar Sunnah. Ada-ada saja alasan yang mereka cari untuk mementahkan Sunnah. Padahal, sesungguhnya apa yang terdapat dalam Sunnah Nabi itu bukanlah pertentangan, melainkan perbedaan. Kalaupun toh, benar ada hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain, maka di sana sudah ada patokan untuk memilah, memilih, dan menentukan mana hadits yang harus dikedepankan. Meskipun tidak sedikit dua –atau lebih– hadits yang berbeda bisa diamalkan semuanya. Sebab, para sahabat memang mendengar dari Nabi atau melihat beliau dalam kondisi yang berbeda-beda. Sehingga hadits yang mereka riwayatkan pun berbeda pula. Namun demikian, justru itulah fleksibelitas ajaran Islam ini. Tidak kaku, lentur, dan mudah.
Di antara standar yang biasa dipakai para ulama dalam menghadapi masalah ini, yaitu dengan cara:
1. Melihat mana hadits yang lebih kuat dan mana yang lemah.[3]
2. Melihat mana hadits yang muncul lebih dulu dan mana yang belakangan.[4]
3. Melihat siapa yang meriwayatkan dan dalam masalah apa.[5]
4. Melihat kepada siapa hadits tersebut ditujukan dan dalam kasus apa.[6]
5. Menyatukan dua –atau lebih– hadits yang berbeda jika sama-sama kuat, tidak ada pertentangan, dan memungkinkan.[7]
6. Melihat mana yang lebih utama untuk diamalkan dan bahwa hadits yang lain juga boleh diamalkan.[8]
Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa dalam Sunnah Nabi terdapat hadits-hadits yang bertentangan.
Imam Abu Bakar bin Khuzaimah (w. 311 H) berkata, “Tidak ada dua hadits yang bertentangan dari segi apa pun. Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dalam masalah ini, silahkan datang kepadaku, akan aku gabungkan dua hadits itu.”[9]
Kelima; Hadits Adalah Buatan Manusia
Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan bahwa yang diturunkan Allah Ta’ala hanyalah Al-Qur`an, dan bahwa selain Al-Qur`an adalah bukan dari Allah. Mereka hendak mengatakan, bahwa hadits-hadits Nabi atau Sunnah adalah buatan manusia, yang tidak mesti diikuti kecuali jika cocok dengan akal. Demikianlah salah satu cara mereka untuk menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabinya.
Salah seorang tokoh mereka, DR. Muhammad Khalafallah berkata, “Selain Al-Qur`an adalah pemikiran manusia, dimana kita berinteraksi dengannya sesuai dengan akal kita.”[10]
Perkataan semacam ini kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan Goldziher, “Ribuan hadits adalah buatan para ulama yang ingin membuat agama ini menjadi sempurna. Para ulama itu membuat-buat hadits sendiri karena dalam Al-Qur`an hanya sedikit hukum yang diberikan.”[11]
Setelah memaparkan sejumlah pendapat dari DR. Ishmat Saifuddaulah (seorang tokoh inkar Sunnah) yang menyerang Sunnah dan mendiskreditkan para ulama, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyimpulkan bahwa DR. Ishmat menganggap semua yang dianggap sebagai sumber syariat Islam yang berasal dari manusia adalah dibuat-buat (maudhu’); berbagai kaedah yang ditetapkan manusia adalah dibuat-buat, istimbat adalah dibuat-buat, qiyas dibuat-buat, istihsan dibuat-buat, istishab dibuat-buat, ijma’ dibuat-buat... dst.
Bantahan
Jika yang mereka maksud dengan “hadits adalah buatan manusia” yaitu hadits-hadits yang terbukti shahih secara sanad (dan matan), maka sungguh perkataan mereka ini adalah dusta yang nyata. Sebab, hadits-hadits tersebut adalah benar berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang diriwayatkan secara bersambung dari orang yang dipercaya dan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi. Para ulama hadits meletakkan standar baku yang ekstra ketat dalam menerima hadits. Mereka selalu memilah dan memilih dengan penuh hati-hati mana hadits yang bisa diterima dan mana hadits yang mesti ditolak. Mana orang yang bisa dipercaya dan diterima haditsnya, dan mana orang yang dianggap lemah atau tidak bisa dipercaya atau pendusta sehingga haditsnya layak ditolak.
Inilah salah satu keistimewaan agama ini, dimana ajaran-ajarannya dijaga oleh para ulamanya, orang-orang yang saleh, bertakwa, dan bisa dipercaya. Para sahabat menerima Al-Qur`an dan hadits langsung dari Nabi. Lalu, para sahabat mentransfer apa yang mereka dapatkan dari Nabi kepada sesama sahabat yang belum mengetahui dan kepada generasi tabi’in senior. Kemudian, para tabi’in senior ini mentransfer ilmunya kepada sesama mereka dan kepada generasi tabi’in yang lebih muda. Dan, pada masa tabi’in inilah hadits-hadits Nabi –yang sebelumnya sudah banyak ditulis oleh para sahabat dan tabi’in– sudah mulai dibukukan.[12] Semua ini dilakukan dengan penuh amanah, ikhlas, disertai rasa takut luar biasa jika mereka sampai mendustakan hadits Nabi. Bagaimana tidak, mereka sadar betul bahwa membuat-buat atau memalsukan hadits Nabi sama saja dengan menceburkan diri sendiri ke dalam neraka! Mereka selalu mencamkan sabda Nabi dalam hal ini,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ . (متفق عليه)
“Barangsiapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah dia siapkan tempat duduknya di neraka.” (Muttafaq Alaih)[13]
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi (w. 456 H) berkata, “Menukil dari orang yang bisa dipercaya (tsiqah) dari orang yang bisa dipercaya yang terus bersambung hingga sampai kepada Nabi, adalah karakteristik umat Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain.”[14]
Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. kalau bukan karena sanad, niscaya setiap orang akan bicara sesuka hatinya.”[15]
Ada banyak fakta dalam sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini yang menggambarkan betapa hati-hatinya para ulama salafush-shalih dalam menerima sebuah hadits. Mereka selalu menanyakan hadits tersebut diterima dari siapa dan bertemu di mana. Diriwayatkan, bahwa Umar bin Musa bertemu dengan Ufair bin Ma’dan Al-Kula’i di masjid. Lalu, Umar menyebutkan beberapa hadits dari seseorang yang dia katakan sebagai syaikh yang saleh.
Ufair berkata, “Siapa yang engkau maksud dengan syaikh yang saleh ini? Beri tahukan kepada kami siapa namanya, mungkin kami mengenalnya.”
Umar, “Dia adalah Khalid bin Ma’dan.”
Ufair, “Pada tahun berapa engkau bertemu dengannya?
Umar, “Pada tahun seratus delapan.”
Ufair, “Di mana engkau bertemu dengannya?”
Umar, “Di Perang Armenia.”
Maka, Ufair pun berkata, “Takutlah engkau kepada Allah, ya syaikh... Janganlah engkau berbohong. Khalid bin Ma’dan itu meninggal tahun seratus empat. Bagaimana mungkin engkau bertemu dengannya empat tahun setelah dia meninggal? Aku tambahkan lagi, sesungguhnya Khalid bin Ma’dan sama sekali tidak pernah ikut Perang Armenia. Perang yang dia ikuti adalah Perang Romawi!”[16]
Tidak heran, apabila dengan penyeleksian hadits yang sangat ketat ini, para ulama masa lalu meletakkan sejumlah disiplin ilmu dalam hal ini. Ada yang namanya ilmu riwayah, ilmu dirayah, al-jarh wat ta’dil (mencela dan memuji), tarikh rijal al-hadits, ilmu mukhtalaf hadits, nasikh dan mansukh hadits, dan sebagainya. Ini semua tak lain karena mereka sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits. Sehingga, sangatlah mengada-ada dan dibuat-buat jika orang inkar Sunnah mengatakan bahwa hadits adalah buatan manusia! Manusia yang mana?!
Memang, kita mengakui bahwa banyak hadits yang dibuat oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang disandarkan kepada Nabi. Akan tetapi, hadits-hadits semacam ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang muktabar seperti Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, misalnya. Bahkan, kitab-kitab hadits yang lain pun pada dasarnya tidak memuat hadits-hadits palsu.
Sesungguhnya, hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu sendiri tidak ada masalah. Sebab, para imam hadits pendahulu kita sudah membagi-bagi derajat hadits. Ada yang mutawatir, shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’. Nah, hadits maudhu’ inilah yang merupakan sejelek-jeleknya hadits, jika memang ia dimasukkan dalam kategori sebagai hadits. Hadits maudhu’ inilah yang merupakan buatan manusia yang disandarkan kepada Nabi, dan sama sekali tidak boleh diriwayatkan kecuali untuk memperingatkan bahwa itu adalah hadits maudhu’. Dan, barangsiapa yang menganggap bahwa boleh meriwayatkan hadits maudhu’ untuk sekadar bercerita, atau memberi nasehat; berarti dia telah sesat lagi menyesatkan.[17] Sebab, sudah jelas larangan Nabi dalam hal ini, sebagaimana telah kami sebutkan haditsnya di atas.
Dalam buku “Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi,” DR. Ahmad Umar Hasyim menyebutkan enam sebab yang membuat munculnya hadits palsu ini. Yang pertama yaitu; dikarenakan fanatisme politik, dimana pada waktu itu kaum muslimin –awalnya– pecah menjadi tiga kelompok besar; Syiah, pro-Muawiyah, dan Khawarij. Kemudian, muncul lagi kaum Muktazilah, Murji`ah, dan seterusnya. Kondisi politik demikian mendorong masing-masing kelompok membuat hadits-hadits palsu untuk mendukung kelompoknya. Mereka tidak mungkin sanggup dan berani memalsukan Al-Qur`an karena ia sudah mutawatir dan banyak kaum muslimin yang hafal Al-Qur`an. Maka, yang bisa mereka lakukan adalah memalsukan hadits.
Sebab kedua yaitu, karena fanatisme kesukuan. Yang paling menonjol adalah hadits-hadits palsu tentang kelebihan orang Arab atas non-arab, dimana kemudian orang-orang Persia pun membuat hadits-hadits palsu yang melebihkan mereka atas orang Arab. Sebab yang ketiga; Zindiq, yaitu orang-orang non-muslim dari Yahudi, Majusi, dan lain-lain yang menampakkan diri sebagai seorang muslim. Mereka membuat-buat hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa untuk menghancurkan Islam dan melemahkan kekuatannya.
Sebab keempat, yaitu hadits-hadits palsu yang dibuat oleh para tukang dongeng (al-qushshas). Mereka senang mempermainkan perasaan dan emosi orang awam dengan membuat-buat hadits palsu yang menyentuh hati dan terkadang membuat orang terkagum-kagum dengan cerita yang mereka bawakan. Para tukang dongeng ini sama sekali tidak ambil pusing dengan ancaman Nabi bagi orang yang berani mendustakan beliau. Bagi mereka, yang penting adalah bisa menjadi pusat perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan berbagai dongeng palsunya.
Sebab yang kelima, yaitu dikarenakan perbedaan madzhab fikih, dimana sebagian pendukung masing-masing madzhab ada yang ‘kebablasan’ dalam mengunggulkan madzhabnya atas madzhab lain. Misalnya, ‘hadits’ yang diriwayatkan Muhammad bin Ukasyah Al-Kirmani[18] ketika ditanya tentang orang yang mengangkat tangannya ketika ruku’, dia berkata, “Al-Musayyib bin Wadhih mengabarkan kepada kami dari Anas bin Malik secara marfu’; Barangsiapa yang mengangkat tangannya ketika hendak ruku’, maka tidak ada shalat baginya!”
Dan, sebab keenam yaitu dikarenakan kebodohan sebagian kaum muslimin yang di satu sisi mereka dikenal dengan kesalehannya, ketaatannya, dan zuhud. Namun, di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang sebetulnya bodoh dalam masalah agama. Mereka dengan sengaja membuat-buat hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi, untuk mendorong umat Islam agar rajin beribadah, lebih dekat kepada Allah, dan meninggalkan kenikmatan duniawi yang sementara. Orang-orang yang dikenal sebagai zuhud dan ahli ibadah ini banyak membuat hadits palsu dalam masalah fadha`il Al-Qur`an dan keutamaan amal-amal tertentu.[19]
Kalau mereka ditanya kenapa mereka membuat-buat hadits palsu, mereka mengatakan, “Kami tidak mendustakan Nabi, tetapi kami berdusta untuk Nabi.” Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata, “Ini adalah kesempurnaan bodohnya mereka, minimnya akal mereka, dan banyaknya kefasikan serta kedustaan mereka. Sesungguhnya Nabi tidak membutuhkan orang lain untuk melengkapi dan menyempurnakan syariatnya.”[20]
Lalu, bagaimana cara kita mengetahui bahwa hadits itu palsu atau tidak? Imam Abul Farj Abdurrahman Ibnul Jauzi (w. 597 H) memberikan tips yang cukup jitu tapi mudah, “Apabila engkau melihat suatu hadits yang bertentangan dengan akal sehat, atau menyalahi Al-Qur`an dan Sunnah shahihah, atau bertentangan dengan kaedah baku yang telah ditetapkan para ulama; maka ketahuilah bahwa itu adalah hadits palsu.”[21]
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qayyim (w. 751 H) menambahkan, bahwa di antara ciri-ciri hadits palsu (maudhu’), yaitu; menyalahi peristiwa sejarah yang sudah terjadi, hadits-hadits yang diriwayatkan orang-orang Syiah Rafidhah tentang keutamaan ahlul bait, dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kelompok Murji`ah.[22]
Selanjutnya, jika yang mereka maksud dengan “hadits adalah buatan manusia,” yaitu bahwa para imam hadits itu sendirilah adalah yang membuat-buat hadits yang terdapat dalam kitab hadits mereka;[23] maka ini lebih konyol lagi! Memangnya, kaum muslimin dan para ulamanya ketika itu pada ke mana? Apa mereka akan mendiamkan begitu saja orang yang membuat-buat ribuan hadits dan menyandarkannya kepada Nabi? Lagi pula, siapa yang sanggup membuat hadits sebanyak itu dalam berbagai persoalan dari sejak bangun tidur hingga akan beranjak tidur lagi, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, plus kabar masa lalu dan yang akan datang secara detil dan terperinci? Dan, kenapa dalam kitab-kitab hadits itu banyak sekali terdapat hadits yang sama dan dalam masalah yang sama, padahal yang ‘membuat’ adalah orang yang berbeda? Orang yang berakal niscaya akan berpikir, bahwa di sana pasti ada satu sumber yang sama-sama dipakai sebagai rujukan dalam hadits-hadits tersebut, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
[bersambung…]
* * *
[1] Yang terkenal dalam masalah ini, adalah tasyahhud Ibnu Mas’ud, tasyahhud Ibnu Abbas, dan tasyahhud Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhum.
[2] Ini lebih aneh lagi. Sesuatu yang ada dasarnya, malah mereka ganti dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya, yang tak lebih dari hawa nafsu semata.
[3] Misalnya, hadits-hadits dalam masalah mandi Jum’at. Dalam hal ini, hadits yang menyatakan wajibnya mandi Jum’at lebih kuat daripada yang menyatakan cukup berwudhu saja.
[4] Biasanya, ini adalah hadits-hadits dalam masalah nasikh mansukh. Misalnya, hadits tentang larangan menulis hadits dan bolehnya menulis hadits.
[5] Misalnya, dalam masalah kewanitaan dan rumah tangga. Dalam hal ini, hadits-hadits dari para istri Nabi didahulukan.
[6] Misalnya, hadits Nabi kepada Salim maula Hudzaifah dalam masalah menjadi anak sesusuan setelah dewasa dan jumlah susuannya.
[7] Biasanya, ini adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan fikih. Misalnya, hadits tentang jari telunjuk ketika duduk tasyahhud; digerakkan atau tidak.
[8] Misalnya, hadits tentang minum sambil duduk atau berdiri, dimana minum sambil duduk lebih utama, tapi boleh minum sambil berdiri.
[9] Al-Ba’its Al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum Al-hadits li Al-Hafizh Ibni Katsir/Syaikh Ahmad Muhammad Syakir/hlm 148/Maktabah Dar At-Turats, Kairo/Cetakan ke-3/1979 M – 1399 H.
[10] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/hlm 341, mengutip dari Al-Ghazw Al-Fikri/hlm 275.
[11] Ibid. hlm 327.
[12] Dan, di antara generasi tabi’in yang terkenal dengan usahanya membukukan Sunnah, yaitu Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri.
[13] Imam An-Nawawi (dalam Syarh Shahih Muslim) menukil pendapat dari banyak ulama yang menyebutkan bahwa ini adalah hadits mutawatir, diriwayatkan oleh hampir seluruh imam hadits dari enam puluh orang sahabat lebih.
[14] Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur`an/Syaikh Manna’ Al-Qaththan/hlm 59.
[15] Ibid, hlm 55.
[16] Al-Kifayah fi ‘Ilm Ar-Riwayah/Al-Khathib Al-Baghdadi/hlm 119.
[17] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/DR. Salim Ali Al-Bahnasawi/hlm 76.
[18] Al-Kirmani ini bermadzhab Hanafi. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam madzhab Hanafi; tidak mengangkat tangan ketika akan ruku’.
[19] Lihat; Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi/DR. Ahmad Umar Hasyim/hlm 81 – 84 secara ringkas.
[20] Al-Ba’its Al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits li Al-Hafizh Ibni Katsir/Syaikh Ahmad Muhammad Syakir/hlm 66.
[21] Ibid, hlm 65.
[22] Op. cit. no. 61 hlm 93.
Islam itu tidak rumit bos
BalasHapusanda boleh merujuk hadits mana aja yang anda suka
tapi ada satu hal yang tidak boleh anda pakai, yaitu hadit yang matannya bertentangan dengan ayat Quran.
meskipun sanadnya sempurna menurut penilaian ahli hadits paling top sekalipun,... tapi kalau bertentangan dengan Quran, maka dengan sendirinya hadits itu batal, tidak bisa dipakai.
mudah bukan?