Jumat, 10 Juni 2011

9 Alasan Inkar Sunnah Menolak Sunnah (8-9)

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Kedelapan; Hadits Membuat Umat Islam Terpecah-belah
            Di antara alasan yang sering dilontarkan kenapa mereka menolak Sunnah Nabi adalah karena hadits dianggap membuat umat Islam terpecah belah. Banyaknya hadits yang berbeda satu sama lain, membuat kaum muslimin pecah menjadi sejumlah golongan. Ada Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, dan lain-lain. Belum lagi pecahnya Ahlu Sunnah dengan adanya berbagai madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Zhahiriyah. Itu pun belum termasuk aliran tasawuf dengan berbagai tarekatnya.
            Tuduhan orang inkar Sunnah dalam masalah inilah yang membuat mereka selalu mendengung-dengungkan istilah, “Satu Kitab, Satu Tuhan, dan Satu Umat!”[1] Mereka mengatakan, bahwa dengan hanya berpegang teguh pada Al-Qur`an sajalah umat Islam bisa bersatu dan tidak berpecah belah.

            Bantahan
            Sebelum menjawab lebih lanjut tuduhan orang-orang inkar Sunnah ini, kami ingin mengatakan kepada mereka, bahwa bisa saja kaum muslimin berbeda pendapat dalam mengapresiasi Sunnah Nabi dalam masalah-masalah tertentu. Akan tetapi, para ulama kaum muslimin sama sekali tidak pernah berbeda pendapat bahwa orang yang menolak Sunnah Nabi yang terbukti keshahihannya –secara sanad dan matan– adalah kafir, murtad, dan telah keluar dari agama Islam![2]
            Menyikapi perbedaan dan perpecahan bahkan peperangan yang terjadi sesama kaum muslimin; Sunnah sama sekali tidak bisa disalahkan. Bagaimana kita mau menyalahkan Sunnah sementara mereka yang punya masalah saja tidak pernah menyalahkan Sunnah? Apa orang-orang inkar Sunnah ini lebih mengetahui apa yang terjadi di antara kaum muslimin yang bertikai daripada mereka sendiri yang mengalami? Apa mereka (inkar Sunnah) memang sengaja menjadikan Sunnah sebagai kambing hitam atas perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam?
            Berbagai perselisihan dan pertikaian yang terekam dalam sejarah, baik pada masa sahabat ataupun sesudahnya, pemicunya tidak lepas dari faktor politis, atau kesalahpahaman, kekuasaan, fanatisme kesukuan, fanatisme golongan, dan perbedaan dalam menyikapi suatu masalah. Pertikaian yang terjadi antara Ali dan Aisyah dalam Perang Jamal, antara Ali dan Muawiyah dalam Perang Shiffin, antara Muawiyah dan Hujr bin Adi, antara Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah, antara Marwan bin Al-Hakam (dan anaknya, Abdul Malik bin Marwan) versus Abdullah bin Az-Zubair, dan seterusnya; semuanya bukan dikarenakan Sunnah. Tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa pertikaian mereka disebabkan Sunnah. Bahkan, sesungguhnya mereka tidak berpecah belah. Mereka tetap dalam satu kesatuan sebagai bagian dari umat Islam. Sebab, mereka tidak berselisih paham dalam masalah Al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
            Munculnya Khawarij, Syiah, dan Muktazilah pada saat itu pun bukan dikarenakan Sunnah. Khawarij muncul karena kekecewaan mereka atas peristiwa tahkim antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dikarenakan kebodohan dan hawa nafsunya, Khawarij pun menyatakan diri berlepas tangan dari semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim. Bahkan, mereka mengafirkan semua pihak yang terlibat. Padahal, banyak sahabat utama yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut. Sementara itu, tidak ada satu orang sahabat pun yang ikut dalam kelompok Khawarij. Tidak heran, jika kemudian Khawarij ini menjadi golongan yang menolak Sunnah Nabi. Bagaimana tidak, jika para sahabat mereka kafirkan semuanya, lalu melalui siapa mereka mendapatkan Sunnah Nabi? Dari mana mereka mendapatkan hadits-hadits Nabi? Justru, lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka yang menolak Sunnah Nabilah (inkar Sunnah) sesungguhnya yang memecah belah umat Islam ini.
            Demikian pula halnya dengan Syiah dan Muktazilah. Kemunculan dua kelompok ini pun bukan dikarenakan Sunnah. Bahkan, sebagaimana kami singgung dalam pembahasan awal buku ini tentang akar sejarah inkar Sunnah; bahwa Syiah dan Muktazilah (termasuk Khawarij) adalah tiga kelompok besar yang mengingkari Sunnah. Tiga kelompok ini –di samping orientalis– mempunyai andil signifikan dalam kemunculan dan perkembangan inkar Sunnah babak berikutnya. Sebab, secara ide dasar, kelompok-kelompok ini mempunyai kesamaan dalam hal penolakannya terhadap Sunnah.
Adapun apabila yang dimaksud oleh orang-orang inkar Sunnah adalah adanya berbagai madzhab fikih dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka yang pertama kali harus dimengerti adalah, bahwa para imam madzhab sama sekali tidak pernah menolak Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kedua, para imam madzhab tidak pernah menolak suatu hadits yang terbukti keshahihannya bersumber dari Nabi. Ketiga, dan ini yang terpenting, bahwasanya para imam madzhab (dan para pengikutnya) hanya berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang bersifat furu’iyah (cabang) saja, bukan dalam masalah-masalah yang prinsipil.
DR. Muhammad Abul Fath Al-Biyanuni menyebutkan empat sebab –secara global– terjadinya ikhtilaf (perbedaan) pendapat ini, yaitu:[3]
1.       Perbedaan dalam masalah menentukan kepastian suatu hadits apakah benar-benar bersambung sampai ke Nabi atau tidak. Sebab, terkadang ada hadits yang sampai kepada seorang imam, tetapi hadits tersebut tidak sampai kepada imam yang lain. Dan, hal ini berkaitan dengan perbedaan masing-masing imam dalam menentukan dipercaya tidaknya atau lemah tidaknya salah seorang perawi yang terdapat dalam jalur sanad.
2.       Perbedaan dalam memahami nash. Karena terkadang suatu nash atau hadits mengandung kata-kata tertentu yang memiliki dua makna atau lebih. Atau, terkadang di sana terdapat kata-kata tertentu yang maknanya masih global dan belum terperinci. Atau, bisa juga berpulang kepada perbedaan kemampuan dan bidang keahlian masing-masing imam.
3.       Perbedaan dalam cara menggabungkan dan menguatkan antara sejumlah hadits yang berbeda dalam satu masalah. Sekalipun suatu hadits sudah diketahui keshahihannya dan jelas maknanya, namun jika hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain yang juga shahih dan jelas maknanya, maka diperlukan suatu ijtihad untuk menentukan mana hadits yang harus didahulukan. Di sinilah terkadang terjadi perbedaan persepsi di antara para imam.
4.       Perbedaan dalam masalah kaedah ushul fikih yang dipergunakan dalam beristimbat. Sebab, masing-masing imam berbeda dalam masalah ini. Ada yang menjadikan perkataan atau fatwa sahabat sebagai hujjah. Ada yang lebih mengutamakan praktik yang dilakukan penduduk Madinah. Ada yang lebih mendahulukan pendapat daripada hadits dhaif. Dan ada pula yang memperhatikan perbuatan si perawi; apakah sama dengan hadits yang diriwayatkannya atau berbeda.
Jadi, adanya perbedaan tersebut adalah sesuatu yang memang terjadi dikarenakan suatu sebab yang jelas. Akan tetapi, perbedaan tersebut bukanlah perpecahan dus bukan pula dikarenakan Sunnah. Hanya orang yang mengingkari Sunnah saja yang berani mengambinghitamkan Sunnah. Adapun pengikut Sunnah, maka dia tidak akan pernah menyalahkan Sunnah sebagai penyebabnya.
Bagaimanapun juga, perbedaan yang terjadi antarsesama manusia adalah sunnatullah. Perbedaan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. DR. Yasir Burhami berkata, “Dalil-dalil qath’i dari Al-Qur`an dan Sunnah menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang pasti terjadi antarsesama anak manusia. Dan, itu sudah menjadi ketentuan Allah atas mereka. Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan tidaklah manusia itu dulunya melainkan hanya satu umat saja, tetapi kemudian mereka berselisih. Dan, kalau saja bukan karena kalimat Tuhanmu yang telah lalu, niscaya Dia akan memutuskan apa yang diperselisihkan di antara mereka.’[4] Jadi, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalimat-Nya yang telah lalu dan keputusan-Nya yang pertama kali ketika menciptakan makhluk, adalah tidak memutuskan (siapa benar siapa salah dalam) perbedaan yang terjadi di antara mereka saat itu juga.”[5]
Kenapa orang-orang inkar Sunnah mesti heran dengan perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin? Bukankah mereka mengaku ahlul Qur`an? Apakah mereka tidak menemukan dalam Al-Qur`an ayat-ayat tentang perbedaan pendapat ini?[6] Nabi Musa saja pernah berselisih dengan Nabi Harun.[7] Nabi Musa juga pernah salah paham dengan Nabi Khidhr.[8] Dan, Nabi Dawud juga pernah berbeda pendapat dengan anaknya, Nabi Sulaiman.[9]
Lagi pula, Sunnah sendiri menyuruh umat Islam untuk selalu bersatu dan mewanti-wanti agar jangan berpecah-belah. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ . (رواه أحمد ومسلم ومالك عن أبي هريرة)
            “Sesungguhnya Allah menyukai tiga hal pada kalian dan tidak menyukai tiga hal. Dia suka jika kalian menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (1). Hendaknya kalian berpegang teguh pada tali Allah semuanya (2) dan janganlah kalian  berpecah-belah. Dan, Dia tidak menyukai pada kalian; suka bergosip, banyak bertanya, dan boros.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Malik, dari Abu Hurairah)[10]
            Dalam hadits lain disebutkan,
            مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً . (متفق عليه عن ابن عباس)
        “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukai pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq Alaih dari Ibnu Abbas)[11]
Dua hadits ini sekadar contoh. Betapa masih banyak hadits lain lagi yang memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dan melarang berpecah-belah. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin Sunnah dituduh sebagai penyebab terpecah-belahnya umat?

Kesembilan; Hadits Membuat Umat Islam Mundur dan Terbelakang

            Menurut orang-orang inkar Sunnah, sesungguhnya hadits-hadits tentang mukjizat Nabi, takdir, adzab kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, kisah-kisah yang bagaikan dongeng, cerita-cerita tentang akhir zaman, syafaat Nabi di akhirat, dan hal-hal ghaib lainnya, membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang sehingga tidak bisa maju berkembang bersaing dengan umat-umat lain.

            Bantahan
Bisa saja orang-orang inkar Sunnah mencari-cari alasan ini untuk menolak Sunnah, karena pada dasarnya mereka memang mengingkari Sunnah. Namun, setidaknya ada tiga hal yang mesti dipaparkan di sini untuk mematahkan tuduhan mereka. Yang pertama, tentang hadits-hadits yang dianggap membuat umat Islam mundur dan terbelakang. Kedua, penjelasan tentang apa sesungguhnya sebab-sebab yang membuat umat Islam mundur. Dan ketiga, bukti bahwa Sunnah justru mendorong kaum muslimin untuk maju, selalu menuntut ilmu, kritis, dan senantiasa cerdas dalam menganalisa suatu masalah. Dengan demikian akan terbukti bahwa sesungguhnya Sunnah sama sekali bukanlah penyebab mundurnya umat Islam.
Adapun tentang hadits-hadits dalam berbagai hal ghaib, mukjizat Nabi, dan yang sulit diterima oleh akal sebagaimana disebutkan di atas, maka sebetulnya Al-Qur`an pun banyak menyinggung masalah ini. Tentang mukjizat Nabi, misalnya, Al-Qur`an menyebutkan sebagiannya. Di antaranya yaitu:[12]
-          Ketika Nabi dikepung para pemuda dari berbagai suku di Makkah pada malam hijrah, namun beliau bisa lolos karena Allah membutakan mata mereka.[13]
-          Isra`nya Nabi dari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam waktu semalam.[14]
-          Terbelahnya bulan ketika penduduk Makkah meminta Nabi untuk memperlihatkan mukjizatnya kepada mereka.[15]
-          Selamatnya Nabi bersama Abu Bakar di dalam Gua Tsaur ketika hijrah padahal orang-orang kafir yang mengejar mereka sudah berada di mulut gua tetapi tidak melihat.[16]
-          Turunnya tiga ribu malaikat pada Perang Badar.[17]
-          Dan lain-lain.
Demikian pula dalam masalah takdir, adzab kubur, syafaat Nabi, dan seterusnya. Sesungguhnya Al-Qur`an sudah menyinggungnya. Baik itu secara detil ataupun global. Jadi, tidak mengherankan sekiranya banyak hadits-hadits Nabi dalam masalah ini, mengingat posisi Sunnah yang memang mempunyai otoritas untuk itu.[18] Kalaupun kemudian ada sebagian kaum muslimin yang keliru dalam memahami dan mengaplikasikan hadits-hadits Nabi dalam masalah ini (masalah takdir, misalnya), sehingga membuatnya mundur dan terbelakang, maka itu berpulang kepada orang yang bersangkutan. Sama sekali bukan dikarenakan Sunnahnya.
Apakah hanya karena hadits-hadits itu sulit diterima oleh akal sehat lalu dijadikan kambing hitam? Memangnya, apa semua urusan agama ini harus bisa dicerna oleh akal? Sungguh, Iblis-lah makhluk yang pertama kali mencoba mengakali agama ini. Dia mencoba membandingkan bahwa dirinya yang terbuat dari api lebih baik daripada Nabi Adam Alaihissalam.[19] Umar bin Al-Khathab pernah berkata kepada hajar aswad, “Sesungguhnya aku ini tahu kalau kau ini adalah batu yang tidak bisa memberi manfaat ataupun mudharat. Demi Allah, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menciummu, aku pun tak akan menciummu.”[20] Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Sekiranya agama ini didasarkan rasionalitas semata, niscaya bagian bawah khuf[21] lebih layak untuk diusap daripada atasnya.”[22]
DR. Yusuf Al-Qaradhawi berkata, “Sunnah adalah sumber syariat kedua setelah Al-Qur`an untuk mengetahui perkara-perkara ghaib. Hal ini tidak termasuk dalam cakupan ilmu-ilmu yang bisa dianalisa melalui eksperimen, atau kontemplasi, atau melalui penelitian ilmiah. Sebab, sumber masalah ini adalah wahyu Ilahi, yang dikhususkan Allah untuk para rasul-Nya. Allah mengaruniakan pengetahuan masalah ghaib ini kepada mereka sebagaimana yang Dia kehendaki. Terkadang ada sebagian di antara perkara ghaib ini yang Dia tutupi dari seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak ada siapa pun yang mengetahuinya, baik malaikat ataupun nabi,”[23]
Selanjutnya, masalah kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dibandingkan umat-umat lain pada masa kini, juga bukan disebabkan Sunnah. Menurut DR. Abdul Wahab Ad-Dailami,[24] ada delapan faktor yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, yaitu :
  1. Banyaknya orang Arab yang murtad sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
  2. Munculnya fanatisme kelompok, suku, dan golongan, yang memecah kesatuan umat.
  3. Penyerbuan dan penghancuran yang dilakukan Pasukan Tartar atas kaum muslimin pada masa Bani Abbasiyah.
  4. Pendudukan dan penyerangan Tentara Salib dan Eropa.
  5. Dibuatnya undang-undang konvensional buatan manusia, yang wajib dipatuhi warga negara setempat.
  6. Perang peradaban dan pemikiran yang gencar dilakukan oleh Barat dan orientalisme.
  7. Adanya pemerintahan kaum muslimin yang otoriter. Dan,
  8. Lenyapnya Khilafah Islamiyah.
Jadi, keberadaan Sunnah sebagai sumber hukum utama setelah Al-Qur`an Al-Karim sama sekali tidak menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
      Terakhir, perlu dibuktikan di sini, bahwa Sunnah justru sangat mendorong umatnya untuk senantiasa maju dan terus berkembang. Sekadar contoh, bagaimana mungkin Sunnah membuat umat Islam mundur, sementara Sunnah mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib? Dalam hadits disebutkan,
      طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ . (رواه ابن ماجه عن أنس بن مالك)
      Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik)[25]
Selain itu, dalam Sunnah juga terdapat hadits-hadits tentang pemeliharaan lingkungan dan kebersihan, perhatian terhadap masalah kesehatan dan kedokteran, ilmu kejiwaan, pendidikan ekonomi, pendidikan politik, strategi dan etika perang, peradaban, ajaran mendidik keluarga dengan baik, hubungan antarsesama manusia, dan lain-lain. Jadi, bagaimana mungkin Sunnah membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang?

*   *   *


[2] Lebih lanjut tentang sikap ulama terhadap kelompok inkar Sunnah ini akan dibahas dalam bab tersendiri.
[3] Dirasat fi Al-Ikhtilafat Al-‘Ilmiyyah/DR. Muhammad Abul Fath Al-Biyanuni/hlm 38/Penerbit Darussalam – Kairo/Cetakan Pertama/1998 M – 1418 H.
[4] Yunus: 19.
[5] Fiqh Al-Khilaf Baina Al-Muslimin/DR. Yasir Burhami/hlm 6/Penerbit Dar Al-Aqidah li At-Turats, Iskandariyah/Cetakan Perama/1996 M – 1416 H.
[6] Lihat misalnya; Hud: 118-119, Asy-Syura: 14, dan Fushshilat: 45.
[7] Thaha: 92-94.
[8] Lihat kisahnya di surat Al-Kahfi: 60-82.
[9] Lihat tafsir surat Al-Anbiya`: 78-79.
[10] Lihat; Musnad Ahmad/Kitab Baqi Musnad Al-Muktsirin/bab Baqi Al-Musnad As-Sabiq/8444, Shahih Muslim/Kitab Al-Aqdhiyah/Bab An-Nahy ‘An Katsrati Al-Masa`il/3236, dan Al-Muwaththa`/Kitab Al-Jami’/Bab Ma Ja`a ‘An Idha`ati Al-Mal wa Dzi Al-Wajhain/1572.
[11] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Fitan/Bab Qaul An-Nabiy Satarawna Ba’di Umuran Tunkirunaha/6531, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Imarah/Bab Mulazamati Jama’ati Al-Muslimin ‘Inda Zhuhur Al-Fitan/3438.
[12] Lihat Mu’jizat Ar-Rasul Allati Zhaharat fi Zamanina/DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir/hlm 14-22/Penerbit Maktabah Al-Iman, Kairo/Cetakan Pertama/2001 M – 1422 H.
[13] Al-Anfal: 30.
[14] Al-Israa`: 1. Di sini hanya kami sebutkan Isra`nya saja, belum termasuk Mi’raj. Sekadar contoh bagi orang-orang inkar Sunnah tentang mukjizat Nabi dalam Al-Qur`an.
[15] Al-Qamar: 1.
[16] At-Taubah: 40. Dalam kasus ini, orang-orang inkar Sunnah mengingkari bahwa yang menemani Nabi di gua Tsaur adalah Abu Bakar Ash-shiddiq, sebab Al-Qur`an tidak menyebutkan namanya!
[17] Ali Imran: 126.
[18] Lihat posisi Sunnah di hadapan Al-Qur`an dalam bantahan tuduhan sebelumnya.
[19] Al-A’raf: 12.
[20] HR. Ahmad (307), Muslim (2230), dan An-Nasa`i (2889).
[21] Khuf; semacam kaus kaki berbentuk sepatu tipis yang menutupi betis hingga telapak kaki.
[22] HR Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib, Kitab Ath-Thaharah/Bab Kaif Al-Mash/hadits nomor 140.
[23] As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifati wa Al-Hadharah/DR. Yusuf Al-Qaradhawi/hlm 99/Penerbit Dar Asy-Syuruq, Kairo/Cetakan Pertama/1997 M – 1417 H.
[24] Lihat artikel beliau berjudul “Min Muqawwimat Nuhudh Al-Ummah Al-Muslimah” di http://www.islamweb.net.qa/doha2000/20_deleme.htm.
[25] Sunan Ibni Majah/Kitab Al-Muqaddimah/Bab Fadhl Al-Ulama` wa Al-Hats ‘Ala Thalab Al-‘Ilm/hadits nomor 220.

2 komentar:

  1. Semoga kita ditetapkan dan dimudahkan dalam berpegang teguh pada alquran dan hadits.

    BalasHapus
  2. Kalau memang anda merasa benar dan yakin dengan ini, maka anda tidak akan gentar jika ada yang mengajak BERMUBAHALAH, "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali-'Imran: 61)

    kalau masih merasa gentar dengan ajakan diatas maka pertanyakanlah apa yang kita yakini.

    BalasHapus

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...