Rabu, 15 Juni 2011

Hadits Keutamaan Puasa Bulan Rajab


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
رَجَبٌ شَهْرٌ عَظِيمٌ ، يُضَاعِفُ اللَّهُ فِيهِ الْحَسَنَاتِ ، فَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ سَنَةً ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِّقَتْ عَنْهُ سَبْعَةُ أَبْوَابِ جَهَنَّمَ ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ عَشَرَةَ أَيَّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ شَيْئًا إِلا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا نَادَى مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا مَضَى فَاسْتَئْنِفِ الْعَمَلَ ، وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللَّهُ .
            “Rajab adalah bulan yang mulia. Allah melipatgandakan kebaikan di dalamnya. Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab, sama seperti puasa setahun. Barangsiapa puasa tujuh hari, tujuh pintu neraka Jahanam dikunci darinya. Barangsiapa puasa delapan hari, delapan pintu surga dibuka untuknya. Barangsiapa puasa sepuluh hari, apa pun yang dimintanya kepada Allah pasti diberi. Dan barangsiapa yang puasa lima belas hari, seorang malaikat menyeru di langit; Sungguh dosamu yang lalu telah diampuni, maka mulailah lakukan amal baik. Dan barangsiapa yang menambah, Allah pun akan menambahnya.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (5403), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3640), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (10872); dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
            Di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdul Ghafur Abu Ash-Shabah Al-Wasithi, di mana Imam Al-Bukhari mengatakan tentang Abdul Ghafar ini, “Orang-orang meninggalkannya. Dia haditsnya mungkar.”[1]
            Ibnu Hibban berkata, “Dia termasuk orang yang suka memalsu hadits.”[2]
            Al-Uqaili mengategorikan Abdul Ghafur sebagai orang yang lemah haditsnya, dan memasukkannya ke dalam kitab Dhu’afa`-nya.[3] Al-Uqaili juga menukil dari Yahya bin Main yang mengatakan, “Haditsnya (Abdul Ghafur) tidak ada apa-apanya.”[4]
            Ibnu Adi menukil perkataan Al-Bukhari, bahwa Abdul Ghafur bin Abdil Aziz Abu Ash-Shabah Al-Wasithi; ditinggalkan orang-orang dan haditsnya mungkar.[5]
            Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Abdurrahman memberitahukan kepadaku; Aku bertanya kepada bapakku tentang Abdul Ghafur; dia berkata; Haditsnya lemah.”[6]
            Al-Ajami menukil perkataan Ibnu Hibban, bahwa Abdul Ghafur termasuk orang yang suka memalsu hadits.[7]
            Abu Zur’ah mengatakan, “Abdul Ghafur Abu Ash-Shabah haditsnya lemah.”[8]
           

Derajat Hadits: Maudhu’
            Setelah menyebutkan hadits ini, Al-Baihaqi mengutip perkataan Imam Ahmad, “Saya juga punya hadits lain yang menyebutkan perhari keutamaan puasa Rajab, tetapi ia adalah hadits maudhu’. Saya tidak mengeluarkannya.”
            Ketika memaparkan biografi Utsman bin Atha` bin Abi Muslim Al-Khurasani, Adz-Dzahabi menyebutkan hadits ini. Dia berkomentar, “Ini hadits batil dan sanadnya tidak jelas.”[9]
            Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, dan dalam sanadnya ada Abdul Ghafur. Dia ditinggalkan haditsnya (matruk).”[10]
            As-Suyuthi memasukkan hadits ini dan hadits-hadits lain tentang keutamaan puasa Rajab dalam Al-La`ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah.[11]
            Asy-Syaukani memasukkan hadits ini dan hadits-hadits lain tentang keutamaan puasa Rajab dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah.[12]
            Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini dan hadits-hadits lain tentang keutamaan puasa Rajab dalam Al-Maudhu’at.[13]
            Al-Laknawi memasukkan hadits ini dan hadits-hadits lain tentang keutamaan puasa Rajab dalam Al-Atsar Al-Marfu’ah fi Al-Akhbar Al-Maudhu’ah.[14]
            Al-Albani mengklasifikasi hadits ini sebagai hadits maudhu’ dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah.[15]

*   *   *


[1] At-Tarikh Al-Kabir/Jilid 6/Hlm 1137/poin nomor 1948.
[2] Al-Majruhin/Jilid 2/Hlm 148.
[3] Adh-Dhu’afa` Al-Kabir/Jilid 3/Hlm 113/poin nomor 1086.
[4] Ibid.
[5] Al-Kamil fi At-Tarikh/Jilid 5/Hlm 329.
[6] Al-Jarh wa At-Ta’dil/Jilid 6/Hlm 55/poin nomor 293.
[7] Al-Kasyfu Al-Hatsits/Hlm 171.
[8] Adh-Dhu’afa`/Jilid 2/Hlm 435/Tahqiq: Sa’di Al-Hasyimi.
[9] Mizan Al-I’tidal/Jilid 3/Hlm 48/poin nomor 5540.
[10] Majma’ Az-Zawa`id (5132).
[11] Lihat Al-La`ali Al-Mashnu’ah/Jilid 2/Hlm 97-98.
[12] Lihat Al-Fawa`id Al-Majmu’ah (hlm 100-101).
[13] Lihat Al-Maudhu’at/Jilid 2/hlm 205-206.
[14] Lihat Al-Atsar Al-Marfu’ah (hlm 58-61).
[15] Silsilah Adh-Dha’ifah/hadits nomor 5413.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum. Ustadz tulisan ini ana posting d fb ya....

    BalasHapus

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...