Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Belajar dari Akhlaq Ustadz Salafi” hlm 241-264. Lihat juga: http://abduhzulfidar.multiply.com/reviews/item/8]
Sekilas Antara Muwazanah dan Al-Jarh wa At-Ta’dil
Sebetulnya antara prinsip muwazanah dan metode al-jarh wa at-ta’dil terdapat keterkaitan yang cukup erat. Bahkan, bisa dibilang bahwa prinsip dari al-jarh wa at-ta’dil adalah muwazanah itu sendiri. Sebab, dalam menjarh dan menta’dil seseorang, biasanya para ulama senantiasa menampilkan sisi kelebihan dan kekurangan seorang perawi secara seimbang. Misalnya perkataan Yahya bin Main (w. 233 H) tentang Hajjaj bin Nushair (w. 214 H),[1]
صَدُوْقٌ ، لَكِنْ أَخَذُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فِي حَدِيْثِ شُعْبَةَ .
“Dia jujur. Tetapi orang-orang mencatat beberapa kesalahan padanya dalam meriwayatkan hadits dari Syu’bah.”[2]
مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، يُكْنَى بِأَبِي إِسْمَاعِيْلَ .
“Haditsnya ditinggalkan. Namun dia adalah seorang lelaki yang shalih. Dia bergelar Abu Ismail.”[4]
كَانَ لَيْثٌ رَجُلاً صَالِحاً عَابِداً ، وَكَانَ ضَعِيْفًا فِي الْحَدِيْثِ ، يُقَالُ كَانَ يَسْأَلُ عَطَاءً وَطَاوُوْساً وَمُجَاهِداً عَنِ الشَّيْءِ فَيَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ فَيَرْوِيْ أَنَّهُمْ اتَّفَقُوْا ، مِنْ غَيْرِ تَعَمُّدٍ لِذَلِكَ .
“Laits adalah seorang laki-laki yang shalih lagi ahli ibadah, tetapi dia lemah dalam masalah hadits. Diceritakan bahwa dia pernah bertanya kepada Atha`, Thawus, dan Mujahid tentang suatu hal dimana mereka berselisih pendapat dalam hal tersebut. Namun dia meriwayatkan bahwa mereka bersepakat, tanpa ada kesengajaan.”[6]
Atau perkataan Ibnu Hibban (w. 354 H) tentang Khashif bin Abdirrahman (w. 137 H),[7]
كَانَ خَصِيْفٌ شَيْخاً صَالِحاً فَقِيْهاً عَابِداً إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُخْطِئُ كَثِيْراً فِيْمَا يَرْوِىْ وَيَنْفَرِدُ عَنِ الْمَشَاهِيْرِ بِمَا لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ ، وَهُوَ صَدُوْقٌ فِي رِوَايَتِهِ .
“Khashif adalah seorang syaikh yang shalih, faqih, dan ahli ibadah. Namun dia sering salah dalam meriwayatkan hadits, dimana dia berbeda dengan para imam yang masyhur sehingga haditsnya tidak bisa diikuti. Tetapi dia jujur dalam periwayatannya.”[8]
Atau perkataan Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (w. 327 H) yang menukil dari ayahnya[9] tentang Yusuf bin Asbath (w. 195 H),
كَانَ رَجُلاً عَابِداً ، دَفَنَ كُتُبَهُ ، وَهُوَ يَغْلِطُ كَثِيْراً ، وَهُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ ، لَا يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ .
“Dia adalah seorang laki-laki ahli ibadah. Dia telah mengubur kitab-kitabnya,[10] sehingga sering melakukan kesalahan. Namun dia seorang yang shalih, hanya saja haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.”[11]
Terkadang juga para ulama hanya menjarh saja tanpa menta’dil. Dan, tidak disebutkannya ta’dil ini biasanya dikarenakan dua hal atau salah satunya, yaitu: Pertama; Karena merasa cukup dengan hanya menyebutkan inti kekurangannya saja tanpa penjelasan lebih lanjut.[12] Dan kedua; Karena memang orang tersebut dianggap tidak memiliki kebaikan atau kelebihan yang layak disebutkan. Yang terakhir ini, biasanya dikarenakan si perawi mempunyai pemahaman menyimpang yang sudah tidak bisa ditolerir lagi, atau memiliki akhlaq yang buruk. Dan yang semacam ini pun juga termasuk muwazanah. Sebab, yang disebutkan hanya inti jarhnya saja. Misalnya apa yang dikatakan Imam An-Nasa`i dalam kitabnya “Adh-Dhu’afa` wa Al-Matrukin” tentang para perawi yang dianggap cacat :