Rabu, 02 Februari 2011

Sikap Kaum Muslimin Terhadap Pemerintahan Yang Sah


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

[Dinukil seperlunya dari buku kami: “Siapa Teroris? Siapa Khawarij?” hlm 229-238; menanggapi permintaan/ pertanyaan terkait kasus di Tunisia dan Mesir]

… … Baiklah, kita kembali lagi ke masalah sikap kaum muslimin terhadap penguasa atau pemerintahan yang sah. Secara ringkas, ada tiga macam sikap dalam hal ini. Yang pertama; yaitu dalam rangka dakwah amar makruf nahi mungkar dan saling memberikan nasehat kebenaran kepada saudara sesama muslim. Kedua memberontak kepada pemerintahan zhalim yang tidak mempedulikan ajaran Islam, suka berbuat maksiat, dan membawa banyak mafsadat bagi umat Islam. Dan ketiga, yaitu memberontak kepada pemerintahan yang sah karena hendak merebut kekuasaan, atau yang biasa dikenal sebagai kudeta (al-inqilab).
Sikap yang pertama, adalah sikap yang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap muslim sebatas kemampuannya. Dan, sesungguhnya hal ini tidak hanya berlaku terhadap penguasa saja, melainkan juga terhadap orang lain selain penguasa, terhadap keluarga, saudara, dan umat Islam secara umum, bahkan terhadap diri sendiri. Banyak dalil-dalil dari Al-Qur`an Al-Karim dan Sunnah Nabi dalam hal ini. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ .
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ . (الحديث)
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak sanggup, maka dengan lisannya. Dan bila masih tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah iman yang paling lemah.” (Al-Hadits)[1]
Lebih khusus lagi, dalam masalah amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa adalah sabda Nabi ketika ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Jihad apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,
كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ . (الحديث)
“Mengatakan kebenaran di hadapan penguasa lalim.” (Al-Hadits)[2]
Dalam hadits di atas, jelas-jelas disebutkan bahwa mengatakan kebenaran di hadapan penguasa lalim adalah suatu jihad yang paling utama. Bagaimana mungkin seorang yang mengamalkan ajaran Islam dalam hal ini dicap sebagai pemberontak alias khawarij alias teroris? Jangankan terhadap penguasa yang zhalim, terhadap penguasa yang adil sekalipun, dakwah dan amar makruf nahi mungkar tetap harus ditegakkan. Lihatlah, betapa para Khulafa`ur Rasyidin sangat terbuka terhadap nasehat dan kritik yang ditujukan kepada mereka. Bahkan, mereka sangat mengharapkan adanya orang yang mau meluruskan mereka apabila mereka salah.
Sikap keras dan kritik dari kaum muslimin terhadap pemerintahannya dari dulu hingga sekarang pun tidak lepas dari koridor ini. Teramat banyak para ulama besar dalam sejarah Islam yang bersikap kritis dan tegas terhadap penguasa. Tidak sedikit di antara mereka yang harus mendapatkan konsekuensi berat atas sikap kritisnya tersebut; ada yang diusir dari negerinya, dipenjara, diintimidasi, diasingkan, disiksa, dan bahkan dibunuh (syahid) di jalan Allah. Mereka adalah para ulama yang tidak mengenal takut dalam menegakkan kebenaran apa pun konsekuensinya. Mereka meyakini sepenuhnya bahwa ini adalah jihad, bahkan merupakan jihad yang paling utama, sebagaimana yang disabdakan Nabi. Tidak ada yang mereka takuti selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Cukup mengherankan jika Al Ustadz … … menganggap perbuatan mulia seperti ini sebagai tindakan khawarij; menentang pemerintahan yang sah. Sebab, bagaimanapun juga, kewajiban taat kepada pemerintah bukan berarti taat dan tunduk dalam segala hal tanpa reserve dan koreksi apa pun. Jika ada tindakan penguasa yang melanggar Al-Qur`an dan Sunnah, tentu tidak bisa kita benarkan dan dukung. Nabi tidak mengajarkan kita untuk mendukung perbuatan maksiat, melainkan mendukung perbuatan makruf dan taat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ . (رواه البخاري)
“Mendengar dan taat adalah haq, selama tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah maksiat, maka tidak perlu didengarkan dan ditaati.” (HR. Al-Bukhari)[3]
Dalam hadits lain dari Ali bin Abi Thalib disebutkan,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ . (رواه مسلم)
“Tidak ada taat dalam perkara maksiat kepada Allah. Sesungguhnya taat itu hanya dalam perbuatan makruf (kebaikan).” (HR. Muslim)[4]
Hal ini berbeda dengan sikap Al Ustadz … … dimana beliau terkesan menyamakan bahwa tidak taat kepada pemerintah berarti memberontak dan khawarij. Beliau hafizhahullah berkata, “Inilah ciri khas dan syi’ar khawarij sepanjang masa, yang membedakan mereka dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang aqidah dan syi’ar ahlus sunnah sepanjang masa[5] adalah: ta’at kepada pemerintah muslimin baik yang adil maupun yang zhalim, dan dilarang untuk memberontak kepada mereka, selama mereka masih muslim.”[6]
Sedangkan yang kedua, yakni memberontak kepada pemerintahan yang zhalim dikarenakan suatu sebab syar’i, dimana mereka mempunyai alasan kuat dalam hal ini; juga tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan khawarij atau terorisme. Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “… Dan mereka (orang yang membelot dari pemerintahan yang sah) juga terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama, yaitu kelompok yang membelot karena marah disebabkan faktor agama dimana pemerintahnya adalah zhalim dan telah meninggalkan Sunnah Nabi; maka mereka adalah benar (ahlu haq). Di antara mereka, yaitu Al-Husain bin Ali, penduduk Madinah dalam peristiwa Al-Harrah, dan para qurra` yang memberontak terhadap Al-Hajjaj. Sedangkan kelompok yang satunya lagi, yaitu kelompok yang memberontak hanya karena hendak merebut kekuasaan saja, baik mereka mempunyai alasan ataupun tidak, maka mereka adalah bughat.”[7]
Demikian menurut Ibnu Hajar, dimana para ulama setelah beliau banyak yang merujuk kepada pendapat beliau dalam masalah khawarij dan tindak pemberontakan. Ibnu Hajar juga menukil atsar yang diriwayatkan Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) dengan sanadnya yang shahih dari Ali bin Abi Thalib tentang khawarij. Ali berkata, “Apabila mereka memberontak terhadap imam yang adil, maka perangilah mereka. Tetapi, jika mereka memberontak terhadap imam yang lalim, maka janganlah kalian memerangi mereka karena mereka mempunyai alasan.”[8] Lalu, Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ali ini, “Dengan demikian, apa yang terjadi pada Al-Husain bin Ali, penduduk Madinah dalam peristiwa Al-Harrah, Abdullah bin Az-Zubair, dan para qurra` yang memberontak terhadap Al-Hajjaj dalam kasus Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Asy’ats; tidak termasuk dalam hal ini. Wallahu a’lam.[9]
Setidaknya, jika Al Ustadz … … mau lebih sedikit berhati-hati dengan membatasi antara yang terjadi pada masa sahabat dan salafush-shalih dengan masa setelah mereka, tentu ini lebih selamat. Dan, jika demikian yang dikatakan Al Ustadz … … , insya Allah kita masih bisa menerima. Sebab, bagaimanapun juga kita mesti membedakan antara para sahabat dan ulama salaf Radhiyallahu Anhum dengan segala keutamaan mereka (serta sebagai penghormatan kepada mereka), dengan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami[10] (w. 974 H) dalam Tuhfatu Al-Muhtaj, “Orang-orang yang menyalahi imam sekalipun imam tersebut lalim dikarenakan haramnya memberontak terhadap imam tidak bisa dikatakan sebagai pemberontak secara mutlak, kecuali jika hal ini terjadi setelah stabilnya perkara kekuasaan pada akhir masa sahabat dan salaf Radhiyallahu Anhum. Dengan demikian, memberontaknya Al-Husain bin Ali dan Ibnu Az-Zubair dimana banyak ulama salaf bersama mereka berdua ketika melawan Yazid bin Abdil Malik; tidak termasuk dalam hal ini.”[11]
                Syaikh Muhammad Shalih Al-Gharsi berkata, “Para ulama sepakat bahwasanya tidak boleh memerangi orang-orang yang memberontak terhadap seorang penguasa yang lalim dikarenakan kezhalimannya dan perbuatannya yang meninggalkan Sunnah. Bahkan, seorang penguasa wajib menahan diri dari kelalimannya dan menegakkan Sunnah. Jika penguasa sudah melakukan hal ini tetapi mereka masih tetap memberontak, maka saat itulah mereka boleh diperangi.”[12]
                Kemudian, Syaikh Al-Gharsi menukil perkataan Imam Muhyiddin An-Nawawi dalam Al-Minhaj, “Para pemberontak tidak boleh diperangi sebelum diutus seorang utusan yang bisa dipercaya dan cerdas kepada mereka untuk menasehati mereka dan menanyakan apa yang mereka kehendaki. Sekiranya mereka menyebutkan suatu kezhaliman atau alasan, maka hal tersebut harus dihilangkan.”[13]
                Jadi, macam yang kedua dari sikap seorang muslim terhadap penguasanya ini pun tidak bisa dikategorikan sebagai khawarij atau pemberontak (apalagi teroris) secara mutlak. Tergantung siapa yang memberontak, siapa yang diberontak, dan apa alasan pemberontakannya.
Adapun macam yang ketiga, yaitu mereka yang memberontak kepada pemerintahan yang sah atau imam yang adil dikarenakan faktor kekuasaan, dimana mereka hendak merebut kekuasaan tersebut. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “… Sedangkan kelompok yang satunya lagi, yaitu kelompok yang memberontak hanya karena hendak merebut kekuasaan saja, baik mereka mempunyai alasan ataupun tidak, maka mereka adalah bughat.”[14] Dalam hal ini, yang berlaku adalah hukum memerangi bughat atau pemberontak, dimana mereka hendak memecah-belah kesatuan kaum muslimin dengan segala konsekuensinya yang sangat berat bagi umat. Dan, di sinilah sesungguhnya dan seharusnya khawarij ditempatkan.
Ketika mengomentari hadits tentang khawarij yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu yang diakhiri dengan kalimat,
فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Maka apabila kalian menjumpainya, bunuhlah mereka. Sesungguhnya dalam memerangi mereka terdapat pahala di sisi Allah pada Hari Kiamat bagi yang membunuh mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[15]
                Imam An-Nawawi berkata, “Ini adalah dalil yang sangat jelas atas wajibnya memerangi khawarij dan bughat. Dan ini adalah ijma’ ulama.”[16] Kemudian, Imam An-Nawawi menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh bin Musa rahimahullah (w. 544 H), “Para ulama sepakat bahwa kapan khawarij dan yang sejenis dengan mereka dari kalangan ahlu bid’ah dan bughat memberontak terhadap imam dan menyalahi pendapat jama’ah serta memecah-belah tongkat persatuan, maka wajib memerangi mereka setelah pemberian peringatan dan menanyakan alasannya.”[17]
                Jadi, jika ada sekelompok orang yang memberontak terhadap pemerintahan yang sah demi untuk merebut dan menduduki tampuk kekuasaan, apa pun alasannya, maka mereka adalah pemberontak alias bughat. Dan, dalam kelompok yang ketiga inilah tempat khawarij yang sebenarnya. Mereka wajib diperangi dan ditumpas. Dan bagi siapa pun yang memeranginya atau membunuhnya, maka dia mendapatkan pahala di sisi Allah. Akan tetapi, ini semua dengan catatan setelah diadakannya negosiasi terlebih dahulu. Mereka harus ditanya terlebih dahulu apa alasannya memberontak dan apa tujuannya. Harus ada upaya terlebih dahulu untuk menenangkan mereka agar tidak mengangkat senjata demi menjaga dari tertumpahnya darah kaum muslimin. Setelah berbagai upaya dilakukan tetapi gagal dan mereka tetap saja memberontak, maka pada saat itulah pemerintah dengan dibantu kaum muslimin wajib memerangi mereka. Demikianlah yang telah dicontohkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah dimana beliau mengutus Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma untuk menasehati kaum khawarij dan mengklarifikasi kenapa mereka membelot dari kekhalifahan Ali, sebelum memerangi mereka di Nahrawan.
                Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali rahimahullah (w. 620 H) berkata, “Barangsiapa yang keluar dari pemerintahan yang sah dan memberontak terhadap seorang imam yang telah diakui kepemimpinannya, maka mereka wajib diperangi. Namun, tidak boleh memerangi mereka sebelum dikirim seorang utusan kepada mereka untuk menanyakan alasannya dan menjelaskan kebenaran kepada mereka.”[18]
                Wallahu a’lam.

*    *    *


[1] HR. Muslim (Kitab Al-Iman/Bab Kaun An-Nahy ‘An Al-Munkar min Al-Iman/70), An-Nasa`i (Kitab Al-Iman wa Syara`i’ih/Bab Tafadhul Ahli Al-Iman/4922), Abu Dawud (Kitab Ash-Shalah/Bab Al-Khuthbah Yaum Al-‘Id/963), Ibnu Majah (Kitab Iqamati Ash-Shalah wa As-Sunnah fiha/Bab Ma Ja`a fi Shalati Al-‘Idain/1265), dan Ahmad (10651, 10723, 11034, dan 11090). Semuanya dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu.
[2] HR. Ahmad dan An-Nasa`i dari Thariq bin Syihab Radhiyallahu Anhu dengan redaksi seperti ini. Dalam riwayat Ahmad (10716) dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu dengan redaksi, “Sesungguhnya sebaik-baik jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa lalim.” Dan, hadits senada dalam hal ini dengan perbedaan lafazhnya, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari Abu Said Al-Khudri. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah/Bab Al-Jihad wa As-Safar wa Al-Ghazw/jilid 1/hlm 886/hadits nomor 491.
[3] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Jihad wa As-Siyar/Bab As-Sam’i wa Ath-Tha’ah li Al-Imam/hadits nomor 2735. Hadits senada dengan redaksi sedikit berbeda juga diriwayatkan olah Imam Muslim, Ahmad, An-Nasa`i, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, juga dari Ibnu Umar.
[4] Shahih Muslim/Kitab Al-Imarah/Bab Wujub Tha’ati Al-Umara` fi Ghairi Ma’shiyyah/hadits nomor 3424. Imam Ahmad, An-Nasa`i, dan Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini, juga dari Ali bin Abi Thalib. Dari hadits ini, muncul kaedah ushul fiqih yang terkenal, “Laa thaa’ata li makhluuqin fii ma’shiyyatil Khaaliq” (Tidak ada taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Al-Khaliq). Dan, dalam Sunan-nya dalam Kitab Al-Jihad, Imam At-Tirmidzi membuat bab berjudul ”Ma Jaa`a La Tha’ata li Makhluq fi Ma’shiyyati Al-Khaliq,” sama dengan bunyi kaedah ushul fiqih di atas.
[5] Demikian Al Ustadz … …  menulis; sepanjang masa. Artinya, sejak masa Nabi dan para sahabat serta salafush-shalih. Secara tidak langsung –sengaja ataupun tidak–, beliau telah memasukkan para sahabat dan salafush-shalih yang terlibat dalam Perang jamal, Perang Shiffin, Al-Husain bin Ali, peristiwa Al-Harrah, Abdullah bin Az-Zubair, dan para qurra` serta ulama yang turut serta dalam barisan Ibnul Asy’ats; sebagai bukan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Subhanallah…
[6] Mereka Adalah Teroris!/hlm 241/Cetakan pertama. Huruf tebal dari kami.
[7] Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari/Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani/jilid 12/hlm 333/penerbit Dar Al-Manar, Kairo/Cetalan pertama/1999 M – 1419 H.
[8] Ibid, 12/351.
[9] Ibid.
[10] Ibnu Hajar Al-Haitami, bukan Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[11] Fashl Al-Khithab fi Mawaqif Al-Ash-hab/Syaikh Muhammad Shalih Ahmad Al-Gharsi/hlm 144/penerbit Darussalam – Kairo/Cetakan pertama/1996 M – 1416 H, menukil dari Tuhfatul Al-Muhtaj.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari/Al-Hafizh Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani/jilid 12/hlm 333/penerbit Dar Al-Manar, Kairo/Cetalan pertama/1999 M – 1419 H.
[15] Shahih Al-Bukhari/Kitab Istitabah Al-Murtaddin wa Al-Mu’anidin wa Qitalihim/Bab Qatli Al-Khawarij wa Al-Mulhidin Ba’da Al-Iqamati Al-Hujjah ‘Alaihim/hadits nomor 6418, dan Shahih Muslim/kitab Az-Zakah/Bab At-Tahridh ‘Ala Qatli Al-Khawarij/hadits nomor 1771. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dari Ali dalam Musnad-nya (1032).
[16] Syarh Shahih Muslim/jilid 4/juz 9/hlm 141/penerbit Maktabah At-Taufiqiyah, Kairo/tanpa tahun.
[17] Ibid.
[18] Fashl Al-Khithab fi Mawaqif Al-Ash-hab/Syaikh Muhammad Shalih Ahmad Al-Gharsi/hlm 145/penerbit Darussalam – Kairo/Cetakan pertama/1996 M – 1416 H, menukil dari Al-Mughni/Ibnu Qudamah. Kitab Al-Mughni ini juga bisa didownload secara gratis dari http://www.almeshkat.net/books/archive/books/mughni.zip, http://www.al-eman.com/feqh/viewtoc.asp?BID=308, dan beberapa situs lain.

2 komentar:

  1. assalaamu'alaykum, Ustadz, apakah buku "Siapa Teroris? Siapa Khawarij?" masih diterbitkan, bisa saya peroleh dimana? Syukron

    BalasHapus
  2. wa'alaikum salam wr. wb.
    ahlan wa sahlan.. buku STSK masih ada pak.. jika bpk mau, bisa pesan langsung ke saya.
    hrg buku: 49rb - disc 50% + ongkir.
    afwan.. syukron..

    *kalo bpk membalas pesan ini, agar bisa cepat saya baca, ke wall fb saya (abduh zulfidar akaha) aja ya pak..*

    BalasHapus

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...