Selasa, 31 Agustus 2010

Puasa & Lebaran Bisa Berbeda Hari di Negeri yang Berbeda


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

          Muhammad bin Abi Harmalah menceritakan dari Kuraib bin Abi Muslim (w. 98 H),
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم .
            Bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits[1] mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata, “Ketika sampai di Syam, aku pun menyelesaikan keperluan Ummul Fadhl. Dan saat masuk Ramadhan, aku masih di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jum’at. Kemudian, pada akhir Ramadhan, aku telah datang kembali di Madinah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma menanyakan kabarku dan menyinggung soal hilal. Dia berkata; ‘Kapan kalian melihat hilal?’

Senin, 30 Agustus 2010

Kelemahan Hadits Puasa Membuat Sehat


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
اغْزُوا تَغْنَمُوا ، وَصُومُوا تَصِحُّوا ، وَسَافِرُوا تَسْتَغْنُوا .
            “Berperanglah, kalian akan mendapatkan ghanimah. Puasalah, kalian akan sehat. Dan bepergianlah, kalian akan merasa cukup.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (8547), Ibnu Asakir (4209), dan Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa` Al-Kabir (641), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
Dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Nahsyal bin Said An-Naisaburi) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma.

Nabi I’tikaf 20 Hari Pada Ramadhan Terakhir

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha


            Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا .
            “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam i’tikaf sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Tetapi, pada tahun di mana beliau meninggal, beliau i’tikaf dua puluh hari.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Abi Syaibah dari Abu Bakr bin Ayyasy dari dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (2110), At-Tirmidzi (732), Ibnu Majah (1760), Ahmad (8081), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3343), Al-Hakim (1553), Ibnu Hibban (3733), Ibnu Khuzaimah (2033), Abd bin Humaid (183), Al-Baihaqi dalam Al-Ma`rifah (2764), Ath-Thayalisi (549), dan Al-Bagahawi (1856); dari Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu 'Anhum.

Jumat, 27 Agustus 2010

Kelemahan Hadits Pulang dari Jihad Kecil ke Jihad Besar

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ . قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ ؟ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ .
            “Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu? Kata Nabi, “Jihad hati.”

Takhrij
            HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd (384) dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (Bab Al-Wawi/Dzikr Al-Asma` Al-Mufradah) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (biografi Ibrahim bin Abi Ablah Al-Adawi/210) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Ibrahim bin Abi Ablah); dari Ibrahim bin Abi Ablah.

Nabi I’tikaf Sepuluh Hari Terakhir Setiap Ramadhan

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha


            Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘Anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
            “Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam i’tikaf pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah. Kemudian, istri-istri beliau beri’tikaf sesudahnya.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits bin Sa’ad dari Uqail bin Khalid dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (2841), Ahmad (23472), An-Nasa`i dalam Al-Kubra (3336), Ad-Daraquthni (2388), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3802), dan Al-Baghawi (1854); juga dari Aisyah. Sebagian imam lain meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

Kamis, 26 Agustus 2010

Nuzulul Qur`an Bukan Pada Malam 17 Ramadhan


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الإِنْجِيلُ لِثَلاثَ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِثَمَانَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ .         
            “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari keenam Ramadhan. Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan. Zabur diturunkan pada tanggal delapan belas Ramadhan. Dan Al-Qur`an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadhan.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani Al-Lakhami rahimahullah (w. 360 H) dari Ali bin Abdil Aziz dari Abdullah bin Raja` dari Imran Al-Qaththan dari Qatadah bin Di’amah dari Abul Malih bin Usamah dari Watsilah bin Al-Asqa’ Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]

Rabu, 25 Agustus 2010

Seputar Hadits Doa Buka Puasa


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

                Doa puasa yang sering kita dengar bahkan mungkin juga sering kita baca, adalah:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ .
“Ya Allah, untuk-Mu aku puasa, kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Hilanglah rasa dahaga, tenggorokan pun basah, dan sudah pasti berpahala jika Allah menghendaki.”

Catatan
                Doa buka puasa yang masyhur ini adalah gabungan dari dua hadits, yaitu:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ .
dan,
 ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ .
Adapun kalimat “ وَبِكَ آمَنْتُ ” adalah tambahan yang sama sekali tidak ada dasarnya, meski maknanya bagus.

Panjang Bacaan Nabi dalam Shalat Malam Pada Bulan Ramadhan


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَامَ يُصَلِّي فَلَمَّا كَبَّرَ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ ثُمَّ قَرَأَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ النِّسَاءَ ثُمَّ آلَ عِمْرَانَ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ تَخْوِيفٍ إِلَّا وَقَفَ عِنْدَهَا ثُمَّ رَكَعَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ فَمَا صَلَّى إِلَّا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى جَاءَ بِلَالٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ .
            “Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada suatu malam di bulan Ramadhan. Maka, beliau pun berdiri untuk shalat. Ketika takbir, beliau membaca; ‘Allaahu akbar, dzul malakuuti wal jabaruuti wa kibriyaa`i wal ‘azhamah.’[1] Kemudian beliau membaca surat Al-Baqarah, lalu surat An-Nisa`, lalu Ali Imran. Beliau tidak melalui ayat ancaman melainkan berhenti sejenak. Kemudian beliau ruku’. Beliau membaca; ‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’[2] (yang lamanya) seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa lakal hamd,’[3] seperti saat berdiri. Kemudian beliau sujud dan membaca; ‘Subhaana Rabbiyal a’laa,’[4] seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Rabbighfirlii,’[5] sama seperti ketika berdiri (lamanya). Kemudian beliau sujud lagi. Beliau membaca; ‘Subhaana Rabbiyal a’laa,’ seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan berdiri. Beliau tidak shalat selain hanya dua rakat sampai datang Bilal yang mengumandangkan adzan untuk shalat.”

Selasa, 24 Agustus 2010

Kelemahan Hadits Tidurnya Orang Puasa Adalah Ibadah


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادضةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مَضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ .
“Tidur orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan, doanya mustajab, dan dosanya diampuni.”

Takhrij

Kafarat Orang yang Berjima’ di Bulan Ramadhan


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ هَلَكْتُ قَالَ وَلِمَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ فَأَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ لَيْسَ عِنْدِي قَالَ فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا أَجِدُ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ أَيْنَ السَّائِلُ قَالَ هَا أَنَا ذَا قَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ قَالَ فَأَنْتُمْ إِذًا .
            “Seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia berkata; ‘Celaka aku.’ Nabi berkata; ‘Memangnya kenapa?’ Laki-laki itu berkata, ‘Aku telah menggauli istriku pada bulan Ramadhan.” Kata Nabi; ‘Kalau begitu, bebaskanlah budak.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak punya.’ Kata Nabi; ‘Puasalah dua bulan berturut-turut.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak sanggup.’ Kata Nabi; ‘Beri makan saja enam puluh orang miskin.’ Orang itu berkata; ‘Aku tidak mendapatkan.’ Tahu-tahu ada yang datang membawa sekeranjang berisi penuh korma untuk Nabi. Nabi bertanya; ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu berkata; ‘Ini Aku.’ Nabi bersabda; ‘Bersedekahlah dengan korma ini.’ Orang itu berkata; ‘Bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan dari kami, wahai Rasulullah? Demi yang mengutusmu dengan haq; di kampung kami, tidak ada orang yang lebih membutuhkan daripada kami.’ Maka. Nabi pun tertawa hingga tampak gigi taringnya. Beliau berkata; ‘Kalau begitu, ambil saja untukmu’.”

Senin, 23 Agustus 2010

Kelemahan Hadits Ramadhan Dibagi Tiga: Rahmat, Ampunan, dan Pembebasan dari Neraka

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ .
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Abi Ad-Dunia dalam Fadha`il Ramadhan (37), Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa` Al-Kabir (750), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (3146), dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (3/311), dan Al-Baghdadi dalam Al-Muwadhdhah (Bab Huruf Sin, biografi Saif bin Wahab); dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu. Dan Al-Mahamili dalam Al-Amali (287) dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'Anhu.

Derajat Hadits: Dha’if Jiddan
Ibnu Hajar mendha’ifkan hadits ini dalam Lisan Al-Mizan pada biografi Maslamah bin Ash-Shult.
Adz-Dzahabi mendha’ifkan hadits ini dalam Mizan Al-I’tidal (3446).
Al-Huwaini berkata, “Ini adalah hadits batil.” [1]
Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1569), Al-Albani berkata, “Hadits mungkar.” Dan dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir (4944), Al-Albani mengatakan; Dha’if jiddan (lemah sekali).

*   *   *


[1] Al-Fatawa Al-Haditsiyah/Jilid 1/Hlm 291. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Allah Membebaskan Sejumlah Orang dari Neraka Setiap Hari di Bulan Ramadhan

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ .
“Apabila masuk malam pertama bulan Ramadhan, setan-setan dan jin pembangkang dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada yang dibuka, pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup. Seorang penyeru memanggil; ‘Hai pencari kebaikan, kemarilah! Dan hai pencari kemaksiatan, berhentilah!’ Dan Allah selalu membebaskan sejumlah orang dari neraka setiap malam.”

Takhrij
Hadits ini diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Abu Kuraib Muhammad bin Al-Ala` dari Abu Bakr bin Ayyasy dari Sulaiman bin Mihran Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. [1]

Jumat, 20 Agustus 2010

Tidak Ada Dua Witir dalam Semalam


Oleh : Abduh Zulfidar Akaha
              Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ .
            “Tidak ada dua witir dalam semalam.”
Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi rahimahullah  (w. 279 H) dari Hannad bin As-Sariy dari Mulazim bin Amr dari Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalaq dari Thalaq bin Ali Radhiyallahu 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (1227), An-Nasa`i (1661), Ahmad (15704), Ibnu Abi Syaibah (116/17), Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (8168), Ibnu Hibban (2492), Ibnu Khuzaimah (1037), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (4622), Adh-Dhiya` dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarah (3/167)dan Ath-Thayalisi (1178); juga dari Thalaq bin Ali.
Derajat Hadits: Hasan
            Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan gharib.”[2]
            Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Ia adalah hadits hasan, dikeluarkan oleh An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, dan selain mereka berdua dari hadits Thalaq bin Ali.”[3]
            Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (470), Shahih Sunan Abi Dawud (1439), Shahih Sunan An-Nasa`i (1679), dan dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (1535).
Hikmah dan Ibrah
-          Sebetulnya shalat witir tidak mesti bulan Ramadhan saja. Ia bisa dilakukan malam kapan pun. Tetapi kami tampilkan dalam bab ini, karena ia berkaitan erat dengan shalat tarawih, dimana biasanya langsung diakhiri dengan witir.
-          Secara zhahir nash (tekstual), hadits ini adalah larangan shalat witir dua kali (atau lebih) dalam semalam.
-          Bagi orang yang sudah witir pada awal malam, lalu dia bangun di tengah malam atau sepertiga malam terakhir dan hendak shalat malam atau tahajjud atau tarawih; dia bisa menggenapi witirnya dengan menambah satu rakaat, lalu shalat malam. Kemudian, dia akhiri shalat malamnya dengan witir.
-          Bisa juga dia shalat malam sebagaimana biasa, namun tidak ditutup dengan witir, karena dia telah melakukan witir pada awal malam.
-          Meskipun sudah witir, dia bisa shalat malam seperti biasa dan tetap menutupnya dengan witir. Jadi, dia membatalkan witirnya yang pertama. Hal ini kurang lebih sama dengan musafir yang shalat di dalam kendaraan dengan bertayamum dan gerakan isyarat. Pada saat berhenti atau tiba di tujuan, sementara waktu shalat masih ada, dia bisa mengulangi shalatnya dengan berwudhu dan shalat dengan berdiri. Namun jika tidak mengulang juga tidak mengapa.
-          Yang asal (asli, dasar) dalam masalah ini adalah tidak boleh witir dua kali dalam semalam, dan bahwasanya witir adalah penutup shalat malam.

*   *   *

[1] Sunan At-Tirmidzi/Kitab Ash-Shalah/Bab Ma Ja`a La Witrani fi Lailah/hadits nomor 432.
[2] Ibid.
[3] Fath Al-Bari/Ibnu Hajar/Jilid 3/Hlm 420. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Kamis, 19 Agustus 2010

Kaum Muslimin Pada Masa Umar Shalat Tarawih 23 Raka’at

Oleh : Abduh Zulfidar Akaha

            As-Sa`ib bin Yazid Radhiyallahu 'Anhu berkata,   
كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
            “Mereka shalat pada masa Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat.”

Takhrij
            Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Bakr Ahmad bin Ali Al-Baihaqi Al-Khurasani rahimahullah (w. 458 H) dari Al-Husain bin Muhammad Ad-Dainuri dari Ahmad bin Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi dari Ali bin Al-Ja’ad dari Ibnu Abi Dzu`aib dari Yazid bin Khushaifah dari As-Sa`ib bin Yazid.[1]
            Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Al-Marwazi[2] dalam Qiyam Ramadhan, bab ‘Adad Raka’at Allati Yaqumu Biha Al-Imam Linnas fi Ramadhan,[3] dan Ibnul Ja’ad (2387).
            Imam Abdurrazaq Ash-Shan’ani meriwayatkan perkataan As-Sa`ib bin Yazid ini dengan redaksi sedikit berbeda,
كُنَّا نَنْصَرِفُ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَقَدْ دَنَا فُرُوْعُ الْفَجْرِ ، وَكَانَ الْقِيَامُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ ثَلَاثَةً وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً .
            “Kami beranjak dari qiyamullail pada masa Umar ketika waktu fajar sudah dekat. Qiyamullail pada masa Umar adalah 23 rakaat.”[4]

Derajat Hadits: Shahih
            Imam An-Nawawi berkata tentang hadits ini, “Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.”[5]
            Ibnul Mulaqqin berkata, “Dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad shahih dari Umar, bahwa orang-orang pada masa Umar melaksanakan qiyamullail dengan dua puluh rakaat.”[6]
            Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid[7] hafizhahullah berkata, “Ini adalah riwayat yang shahih dari para perawi yang tsiqah dari As-Sa`ib bin Yazid. Di dalamnya ada disebutkan 20 rakaat pada masa Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu. Adapun tambahan 21 rakaat atau 23 rakaat, adalah termasuk shalat witir.”[8]

Tentang Hadits Shalat Tarawih 23 Rakaat
            Dari beberapa hadits yang menyebutkan shalat tarawih 23 rakaat, hanya inilah yang kami dapatkan ada ulama besar yang menshahihkannya. Itu pun, Imam An-Nawawi mendha’ifkan hadits lain tentang shalat tarawih 23 rakaat.
            Hadits lain yang sering disebutkan tentang hal ini, di antaranya yaitu perkataan Yazid bin Ruman,
كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً .
            “Pada zaman Umar bin Al-Khathab dulu, orang-orang qiyamullail pada bulan Ramadhan dengan 23 rakaat.”
            Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik (233), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (3123), dan Al-Firyabi dalam Ash-Shiyam (160).
            Tentang hadits Yazid bin Ruman ini,[9] Ibnu Hajar berkata, “Dan sanadnya dha’if.”[10]
            Imam An-Nawawi[11] dan Az-Zaila’i[12] menukil dari Al-Baihaqi, “Dan Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar.”
            Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani juga mendha’ifkan hadits ini dalam Irwa` Al-Ghalil (445). Al-Albani berkata, “Hadits ini dha’if karena terputus (munqathi’).”
            Hadits lain, Imam Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ .
        “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam shalat malam pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat ditambah witir.”[13]
            Hadits ini didha’ifkan oleh Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (5018), Ibnu Hajar dalam Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah (257), Az-Zaila’i dalam Nashbu Ar-Rayah,[14] Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil (445).
            Dalam Qiyam Ramadhan, Imam Al-Marwazi meriwayatkan dari seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (w. 118 H),[15]
        كَانَ النَّاسُ يُصَلُّوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً يُطِيْلُوْنَ فِيْهَا الْقِرَاءَةَ وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلَاثٍ .
            “Orang-orang pada zaman Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu shalat malam pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat. Mereka memanjangkan bacaannya, dan witir dengan tiga rakaat.”[16]
            Tetapi, ini hadits munqathi’ alias lemah. Sebab, Muhammad bin Ka’ab tidak berjumpa dengan Umar bin Al-Khathab. Dia dilahirkan pada masa kekhalifahan Ali bin Thalib.
            Ada juga hadits lain yang diriwayatkan Imam Ibnu Abi Syaibah dari Abdul Aziz bin Rafi’,
كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِيْنَةِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلَاثٍ .
            “Ubay bin Ka’ab shalat (tarawih) mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat.”[17]
            Hadits ini juga lemah, karena Abdul Aziz bin Rafi’ yang meninggal pada tahun 130 H dalam usia 90 tahun ini tidak mengalami masa Ubay maupun Umar.
            Dari sejumlah hadits yang kami tampilkan ini, hampir semuanya bermasalah. Tidak ada satu pun hadits tentang shalat tarawih 23 rakaat ini yang posisinya betul-betul kuat. Dalam arti kata, diriwayatkan dalam kutubus sittah (kitab hadits yang enam), dengan sanad dan matan yang shahih, serta dishahihkan oleh para ulama hadits.[18] Wallahu a’lam.

Shalat Tarawih 23 Rakaat dalam Tinjauan Fiqih
            Imam As-Sarakhsi Al-Hanafi (w. 483) berkata, “Bilangan rakaatnya adalah 20 rakaat selain witir. Menurut Imam Malik rahimahullah, sunnah tarawih adalah 36 rakaat.  Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa yang hendak mengikuti pendapat Malik, sebaiknya dia melakukan apa yang dikatakan Imam Abu Hanifah rahimahullah, dia shalat dulu 20 rakaat sebagaimana sunnahnya. Adapun rakaat sisanya, dia kerjakan sendiri, setiap empat rakaat dua kali salam. Ini adalah madzhab kami.”[19]
            Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki (w. 595 H) berkata, “Mereka berselisih pendapat dalam masalah bilangan rakaat shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Malik memilih dalam salah satu pendapatnya, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad, dan Dawud (Azh-Zhahiri), bahwa bilangannya adalah 20 rakaat di luar witir.”[20]
            Imam Abu Bakr Al-Hishni Asy-Syafi’i (w. 829 H) berkata, “Adapun shalat tarawih, maka tidak diragukan lagi kesunnahannya. Bukan hanya seorang yang mengatakan bahwa ini adalah ijma’. … Ketika menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu 'Anhu melihat orang-orang shalat malam di masjid sendiri-sendiri, dua orang-dua orang, dan tiga orang-tiga orang. Maka, Umar pun mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu 'Anhu, dimana dia shalat 20 rakaat. Para sahabat sepakat dengan apa yang dilakukan Umar. Shalat  ini dinamakan tarawih karena mereka istirahat setiap dua kali salam, membaca niat setiap dua rakaat tarawih atau qiyam Ramadhan.”[21]
            Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali (w. 620 H) berkata, “Qiyam pada bulan Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah. Yang pertama kali menyunnahkannya adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Pendapat yang dipilih Abu Abdillah (Imam Ahmad) rahimahullah dalam hal ini adalah 20 rakaat. Pendapat ini pula yang dikatakan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i. Malik berkata; 36 rakaat.”[22]
            Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan qiyamullail dan witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan sebanyak sebelas rakaat atau tiga belas rakaat. Namun, shalat beliau ini panjang sekali. Tatkala hal ini memberatkan orang-orang, Ubay bin Ka’ab shalat tarawih dengan mereka pada masa Umar sebanyak 20 rakaat dan ditutup dengan witir. Dia meringankan shalatnya. Jadi, penambahan jumlah rakaat adalah ganti dari berdiri yang lama.”[23]
            Syaikh Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili hafizhahullah berkata, “Dalil yang ada menunjukkan, bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami orang-orang dalam qiyam Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat. … Demikian, dan para ulama mempunyai tiga pendapat dalam masalah jumlah rakaat tarawih ini: Yang pertama, pendapat mayoritas ulama, bahwa ia adalah 20 rakaat, dan ini adalah sunnah. Hal ini berdasarkan praktik sahabat muhajirin dan anshar. Kedua; 36 rakaat tifak termasuk syafa’ dan witir. Ini terjadi pada zaman Umar bin Abdil Aziz, dan praktik penduduk Madinah masa lalu. Dan ketiga; Yang benar sesuai yang terdapat dalam hadits shahih dari Aisyah adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah shalat malam lebih dari tiga belas rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan yang lain. Ibnu Taimiyah mengatakan, yang benar adalah bahwa semuanya itu baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah.[24]
            Wallahu a’lam.

*   *   *
 

[1] Lihat As-Sunan Al-Kubra/Kitab Al-Haidh/Bab Ma Ruwiya fi ‘Adad Raka’at Al-Qiyam fi Syahri Ramadhan/hadits nomor 4393.
[2] Imam Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al-Hajjaj Al-Marwazi, wafat tahun 294 H.
[3] Qiyam Ramadhan, hlm 21, program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[4] Lihat Mushannaf Abdirrazzaq, hadits nomor 7733.
[5] Khulashatu Al-Ahkam fi Muhimmat As-Sunan wa Qawa’id Al-Islam/Imam An-Nawawi/hadits nomor 1961.
[6] Al-Badru Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsar fi Asy-Syarhi Al-Kabir/Imam Ibnul Mulaqqin Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi’i Al-Mishri (w. 804 H)/Jilid 4/Hlm 30/Penerbit Dar Al-Hijrah, Riyadh/Cetakan pertama/tahun 1425 H – 2004 M. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[7] Demikian cara membaca nama beliau: Al-Munjid. Bukan Al-Munajjid.
[8] Fatawa Al-Islam Su`al wa Jawab/Syaikh Muhammad Shalih Al-Munjid,jawaban dari pertanyaan nomor 82152. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[9] Yazid bin Ruman sendiri adalah seorang yang tsiqah. Imam Al-Bukhari dan Muslim serta hampir seluruh imam lain meriwayatkan dari Yazid bin Ruman dalam kitabnya. Ia adalah seorang tabi’in yunior, wafat tahun 130 H.
[10] Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah/Ibnu Hajar Al-Asqalani/Jilid 1/Hlm 203/hadits nomor 257/Penerbit Dar Al-Ma’rifah, Beirut. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[11] Khulashatu Al-Ahkam (1962 & 1964).
[12] Nashbu Ar-Rayah/Imam Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Az-Zaila’i (w. 762 H)/Jilid 2/Hlm 154/Penerbit Muassasah Ar-Rayyan, Beirut. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[13] Al-Mu’jam Al-Kabir (11934), Al-Mu’jam Al-Wasith (810 & 5598), dan Al-Mushannaf (227/13).
[14] Nashbu Ar-Rayah/Jilid 2/Hlm 153.
[15] Ada yang mengatakan 117 H dan 120 H, dalam usia 78 tahun.
[16] Qiyam Ramadhan/Bab ‘Adad Raka’at Allati Yaqumu Biha Al-Imam Linnas fi Ramadhan/hlm 21.
[17] Al-Mushannaf/Bab Kam Yushalli fi Ramadhan Min Rak’ah (227/5).
[18] Jika melihat pembahasan shalat tarawih dalam kitab-kitab fiqih, sesungguhnya pelaksanaan shalat tarawih 23 rakaat adalah sesuatu  yang faktual. Ia benar-benar ada dan terjadi. Masalahnya, sejumlah perawi yang meriwayatkan hadits tentang shalat tarawih Umar yang 23 rakaat, mereka tidak bertemu langsung dengan Umar dan tidak mengalami shalat tarawih bersama Umar. Namun, menurut kami, bisa jadi para perawi ini tidak menyebutkan dari siapa mereka mendengar atau mengetahui shalat tarawih 23 rakaat Umar, karena teramat banyaknya mereka menjumpai orang-orang yang turut menyaksikan atau mengalami langsung shalat tarawih ini, dimana mereka mendengar hal ini dari banyak orang yang tidak mungkin disebut satu persatu. Contoh sederhana adalah perkataan Imam Asy-Syafi’i dalam hal ini, “Aku melihat orang-orang shalat tarawih di Madinah sebanyak 39 rakaat. Tetapi aku lebih menyukai 20 rakaat (tidak termasuk witir). Demikianlah yang dilakukan orang-orang di Makkah.” (Qiyam Ramadhan/Imam Al-Marwazi/Hlm 21, pembahasan hadits nomor 16. Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
[19] Al-Mabsuth fi Syarhi Al-Kafi/Imam Syamsuddin As-Sarakhsi Muhammad bin Ahmad bin Sahl Al-Hanafi/Jilid  3/Hlm 170. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[20] Bidayatu Al-Mujtahid/Imam Al-Qadhi Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (Ibnu Rusyd)Jilid 1/Hlm 167. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[21] Kifayatu Al-Akhyar fi Halli Ghayati Al-Ikhtishar/Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni Asy-Syafi’i/Jilid 1/Hlm 88. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[22] Al-Mughni/Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali/Jilid 3/Hlm 387. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[23] Majmu’ Al-Fatawa/Ibnu Taimiyah/Jilid 5/Hlm 282. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)
[24] Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh/DR. Wahbah Az-Zuhaili/Jilid 2/Hlm 251. (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah)

(hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Hikmah jelang siang: (hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jik a berlebihan tidak baik ' ada yg bertanya via WA ttg ha...